Buliran air mata jatuh dari pelupuk mata seorang gadis yang baru saja selesai melaksanakan sholat isya' nya. Ia berusaha menghalau buliran air yang jatuh itu dengan telapak tangannya.
Bahu yang nampak bergetar samar dengan suara tangis yang teredam di balik tangan itu membuat Febi yang baru saja kembali dari tempat kerjanya langsung mendekati temannya.
Ia menepuk pundak temannya itu pelan.
"Din, astagfirullah kamu kenapa?" Febi merengkuh bahu Dinda yang tampak bergetar menahan tangis.
Adinda Salsabila sahabat kecilnya yang bahkan sudah ia anggap sebagai saudaranya itu memang mempunyai banyak cerita. Mulai dari keluarganya bahkan tentang pertemanan dan lingkungannya.
Perempuan yang kerap di panggil Dinda itu kurang beruntung tentang masalah keluarga. Orang tuanya sudah lama berpisah dan tak lama juga ia mendapat kabar bahwa sang ayah telah tiada.
Febi menarik perlahan tangan Dinda yang masih menutup wajahnya yang sembab itu. Ia tersenyum teduh berusaha menenangkan sahabatnya itu.
"Kamu kenapa?" Tanya nya pelan, Dinda hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
"Lagi ada masalah? mau cerita?" lagi-lagi Dinda hanya menggelengkan kepalanya.
Melihat respon sang teman yang nampaknya belum mau bercerita membuat Febi hanya bisa menghela nafas pelan. Ia juga tidak bisa memaksa, bagaimanapun temannya pasti punya privasi.
Ia beranjak dari duduknya untuk mengambilkan segelas air, mungkin dengan segelas air hangat Dinda bisa merasa lebih tenang.
"Ini, bismillah dulu" Ia menyodorkan segelas air hangat dan langsung di terima Dinda.
"Terimakasih" Febi mengangguk dan menuntun temannya untuk duduk di ranjang.
Ia mengelus telapak tangan Dinda pelan
"Sudah mau cerita?"
Hanya keheningan yang menjawab pertanyaan Febi.
"Din, cerita sama aku, kamu kenapa?"
"Aku ngga mau bebanin kamu Feb, udah cukup selama ini aku bebanin kamu sama keluarga kamu" tangis Dinda kembali pecah setelah mengatakan itu.
"Ya Allah Din, ngga sama sekali, aku ngga ngerasa terbebani, aku sama keluargaku bantu kamu itu ikhlas karna Allah, jangan merasa kalau kamu cuma bebanin kita"
"Ibu Feb, ibu di rawat lagi di rumah sakit.."
"Astagfirullah tante Ira kenapa?"
"Kemarin kata Bu Diah ibu drop karna ngga kemo, dia lebih milih nurutin Dito yang mendadak minta handphone baru sama ibu, kamu juga tau gimana sifat nya Dito kan Feb"
Febi yang mendengarkan cerita Dinda hanya mampu menahan geram. Bisa-bisanya tante Ira lebih mementingkan keinginan Dito daripada kesehatannya sendiri.
"Innalillahi.. Terus sekarang keadaan tante Ira gimana?"
"Sudah lebih baik, kemarin Bu Diah sendiri yang menemani kemo"
"Sabar ya Din, ini cobaan dari allah buat kamu" Febi memeluk tubuh temannya itu dengan erat. Berusaha menyalurkan semangat.
"Aku takut kalau ibu pergi seperti ayah Feb... aku belum siap" tangis Dinda kembali terdengar di balik punggung Febi.
Mungkin Febi juga akan melakukan hal yang sama bila ada di posisi Dinda, jadi ia berusaha untuk menenangkan temannya itu dengan tulus hati.
"Laa tahzan inaallaha ma'ana... Allah selalu ada di samping kita, ada aku dan yang lain juga, jangan berfikiran kemana-mana yaa" Febi menepuk punggung yang masih bergetar itu.
Febi tau betul bagaimana Dinda mencintai dan menyayangi ibunya, meski mereka tidak tinggal serumah setidaknya sang ibu lah yang sering memberi kabar dan mengabari Dinda selama ini.
Dinda melepaskan pelukan nya dan menatap Febi yang masih menatapnya, ia menghapus sisa air mata yang ada di sudut matanya.
"Laa haula wala quwwata illa billah... percaya dan banyak berdoa sama Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, tante Ira pasti bakal sembuh" Febi mengenggam tangan temannya yang masih terasa dingin itu.
"Astaghfirullahaladzim..." Dinda mengucap istighfar beberapa kali mencoba menennagkan diri.
Tidak seharusnya ia seperti ini, seharusnya iya banyak berdoa akan kesembuhan sang ibu, bukan menangis seperti ini. Ia jadi merasa bersalah.
"Tenang Din, aku pasti bantu kamu, ada Allah yang selalu bareng sama kamu, kamu ngga sendiri okey"
"Makasih Feb, makasihh banget karna selama ini kamu udah nyemangatin aku dan ada di sampingku saat duka maupun suka" Dinda memeluk Febi dengan erat. Selama ini hanya Febi dan keluarganya yang ada di sampingnya dan mendukungnya.
°•°•°•°•°•°
Suara lalu lalang orang dan derit roda yang bergesekan dengan dinginnya lantai rumah sakit membuat Dinda semakin cemas.
"Biaya ibu kamu sudah tante urus Din, jangan khawatir yaa, kamu banyak-banyak berdoa saja supaya penyakit ibu kamu di angkat sama Allah" Latih mengelus pucuk kepala Dinda dengan pelan.
Sebagai seorang ibu Latih juga pernah berada di posisi Dinda, sang ibu juga meninggalkannya karna penyakit yang di deritanya. Sebisa mungkin ia mendukung Dinda agar tak terpuruk seperti dirinya dulu.
"Maaf tante, Dinda sudah banyak ngerepotin tante"
Latih menarik tangan Dinda perlahan dan menaruh sebuah amplop berwarna coklat di tanggan halus Dinda. "Kamu nggak pernah ngerepotin tante, jangan bilang kaya gitu, dan ini kasih Ira ya"
"Tap..tapi tan ini..."
"Tante sudah anggap kamu seperti anak tante sendiri, jadi jangan sungkan, sudah.. sana masuk pasti ibu kamu sudah menunggu, tante titip salam aja ya" Dinda mengangguk perlahan dan setelahnya Latih pergi, tersisalah ia dan Febi di sana.
"Ayo masuk, pasti tante Ira sudah menunggu"
Dinda merasa sangat bersyukur sekarang, setidaknya masih banyak orang yang menyayanginya dan menuntunnya dengan sabar ke jalan yang baik.
Di dalam ruangan terlihat seorang wanita yang sedang terbaring dengan wajah pucatnya. Wanita itu mengembangkan senyumnya saat menyadari keberadaan Dinda.
"Assalamualaikum Ibu" Dinda menyalami tangan Ira bergantian dengan Febi.
"Waalaikum sallam"
"Gimana keadaan ibu? masih lemas ya pasti?" tanya Dinda sembari mengenggam tangan Ira yang terbebas dari infus.
"Ibu sudah baikan hanya dengan melihat wajah cantik kamu" ucapan itu membuat Dinda refleks memeluk tubuh sang ibu.
"Jangan sakit lagi, Dinda takut ibu kenapa napa" ucap Dinda di ceruk leher sang ibu.
"Iya sayang, owh iya Dito kemana? belum pulang sekolah ya?" Ira mengusap kepala Dinda yang terbalut hijab hitamnya.
Senyum pedih terukir di wajah Febi. Bahkan Tante Ira masih sempat memikirkan keadaan Dito yang jelas-jelas mebuatnya harus di rawat di rumah sakit, bahkan anak gadisnya yang sudah berada di sini seperti tak di anggap.
Padahal sebelum kemari Dinda sudah mengajak sang adik untuk bersama menjenguk sang ibu, tapi bahkan dengan lantang sang adik menolak.
Ingin rasanya Dinda menyeret paksa adiknya itu agar bersujud di kaki sang ibu dan memohon ampun.
"Dito ada perlu sama temannya bu, nanti pasti dia kesini" Dinda berusaha menmpilkan senyumnya agar sang ibu tetap percaya dan merasa senang.
Ketiga perempuan itu saling bercakap cakap riang, Dinda melepas rindu dengan sang ibu sedangkan Febi sesekali menyaut bila percakapan mereka menyangkut tentang umum.
"Dinda pulang ya bu, maaf ngga bisa nemenin ibu"
"Nggak papa, ayah mu juga pasti sebentar lagi datang"
Dinda dan Febi menyalami tangan Ira bergantian lalu berpamitan pergi.
°•°•°•°•°•°
Semilir angin sore yang menerbangkan daun-daun memecah lamunan Dinda. Entah sudah beberapa kali gadis itu menghela nafas gusar. Pikirannya sedang berkecamuk sekarang.
Ia merasa sangat tidak enak pada keluarga Febi yang sudah banyak membantunya selama ini, entah dengan apa ia bisa mengembalikan apa yang sudah ia dapatkan dari mereka.
Sudah banyak surat lamaran pekerjaan yang ia kirimkan ke berbagai perusahaan, tapi tidak ada hasil yang ia dapat. Hanya ada rasa lelah dan ingin menyerah.
Tapi Dinda masih mengingat bagaimana ibunya menunggunya untuk kembali hidup bersama, hidup dengan tenang meski sederhana. Hanya ia dan ibunya.
Waktunya di pacu dengan kesehatan sang ibu yang kian mudah jatuh sakit. Hal itu membuat dirinya seperti tidak bisa menikmati waktunya dengan hanya berdiam diri seperti ini.
"Ya Allah Dinda harus gimana?" gumamnya pelan.
Banyak cerita yang ingin ia ceritakan pada sang ibu, tapi melihat kondisi sang ibu ia seperti tak tega. Ia tak mau menambah beban sang ibu yang sudah mulai renta.
Buliran air mata perlahan membasahi pipinya, pikirannya menerawang jauh kedepan dimana saat-saat ia berada di sini tanpa sang ibu di sisihnya.
"Nak apa ada susuatu yang mengganggumu?" seorang laki-laki yang sudah berumur mendekati Dinda dan menghalau air mata nya.
"Ah... silahkan duduk kek" Dinda menggeser duduknya.
"Apa ada yang mengganggu pikiran mu?" Dinda hanya menjawab dengan gelengan kepala di sertai denga senyuman kecilnya.
"Ingat ya laa tahzan inallaaha ma'ana sesungguhnya Allah itu selalu bersama kita, mungkin sekarang kamu sedang merasa tidak baik-baik saja, tapi jangan pernah lupa bahwa Allah selalu ada dan akan membantu mu" Dinda menatap pria yang sudah renta itu takjub.
Seseorang yang sudah berumur memang di kenal dengan banyaknya pengalaman yang sudah ia dapatkan dan rasakan. Dinda percaya hal itu sekarang.
"Sesorang yang sedang di uji kesabarannya itu pasti salah satu orang yang di anggap kuat oleh Allah, jadi kamu beruntung karna Allah menciptakan bahumu kuat untuk memikul apa yang seharusnya belum kamu pikul"
Dinda hanya diam, diam karna merasa sedikit tersentuh pada ucapan sang kakek. Ia tak mengenalnya tapi ia merasa tenang di sisinya.
"Owh iya melihat kamu kakek jadi teringat cucu kakek yang sudah terlebih dulu pulang" senyuman sendu tercetak di wajah yang Dinda pandang sekarang.
"Innalillahi... semoga cucu kakek di beri tempat yang layak di sisi Allah ya kek"
"Aamiin terimakasih doanya yaa, semoga kamu juga selalu berada di dalam lindungan Allah ya Nak"
"Aamiin"
"Ingat ya nak, jangan pernah merasa sendiri, kalau begitu saya pamit" kakek itu beranjak dari duduknya.
"Terimakasih ya kek"
Dinda menatap kepergian sang kakek dengan seksama. Cara jalan beliau saja sudah tidak tegap tapi cara berfikir beliau masih sangat baik.
Dinda kembali membalikkan tubuhnya menatap taman yang sepi di hadapannya. Mungkin emang tak seharusnya ia menangisi apa yang terjadi.
"Kakak cantikkk"
Dinda menatap seorang anak kecil yang sedang menyodorkan sebuah bunga mawar yang sudah di bungkus apik di sebuah plastik berwarna.
"Ini buat kakakk, di terima ya kak" Dinda masih menatap anak yang masih menyodorinya bunga itu. Senyum manis yang memaparkan senyum cerita meski penampilannya jauh dari kata baik-baik saja.
"Buat kakak?"
"Iyaa, di terima ya kakak cantikk"
Dinda melihat penampilan anak itu lamat-lamat, ia sempat trenyuh melihat bagaimana berantakannya anak di hadapannya ini. Baju yang robek dan kotor, bahkan alas kaki yang dikenakan anak ini berbeda kanan dan kirinya.
"Tapi kakak lagi ngga megang uang dek" Dinda menatap anak itu dengan tatapan bersalah.
"Tidak kak, ini untuk kakak, tidak usah di bayar, asalkan kakak tidak sedih aku sudah senang" senyum yang ceria tapi terasa teduh itu membuat Dinda tertegun.
Apa ini kebetulan?
Ia jongkok di hadapan anak manis itu dan tersenyum "Makasih ya"
Anak itu mengangguk dan kembali berucap "laa tahzan innallaha ma'ana... jangan sedih ya kaka cantik"
"Makasih yaa sekali lagi" Anak itu tersenyum lalu berlari pergi bergabung bersama sekumpulan anak yang tak jauh dari tempat Dinda duduk.
Ia kembali duduk seperti semula dan perlahan memejamkan matanya.
"Terima kasih ya Allah, masih ada engkau yang akan selalu ada bersama hamba meski seseorang yang berada di samping hamba satu persatu menghilang, maaf atas semua keluhan yang hamba ceritakan ya allah" Dinda kembali membuka matanya.
Srekkk....
"Yah habis" Bela menutup buku yang baru saja ia baca.
"Sekarang aku percaya bahwa laa tahzan innallaaha ma'ana"