Malam itu, langit kelabu memeluk kota, namun di tengah gemuruh hujan dan desau angin, mereka menemukan kehangatan dalam pelukan satu sama lain. Eunjin dan Cheolsoo telah berteman sejak kecil, tumbuh bersama di lingkungan yang sama, melewati suka dan duka. Namun, malam itu, semuanya berubah.
Mereka duduk di tepi jendela apartemen Eunjin, menatap hujan yang terus mengguyur tanpa henti. Obrolan ringan mereka mulai mengalir menjadi percakapan yang lebih dalam, seolah-olah hujan membuka tabir perasaan yang telah lama terkubur. Tanpa rencana, tanpa kata-kata, jarak di antara mereka perlahan menghilang. Eunjin merasakan detak jantungnya berpacu saat Cheolsoo mendekat, dan tanpa berpikir panjang, bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman.
Ciuman itu lembut, hangat, namun penuh keraguan. Eunjin terkejut oleh perasaan yang mengalir melalui tubuhnya. Cheolsoo pun tampak sama. Ketika mereka melepaskan diri, Eunjin tersenyum canggung. "Itu hanya ciuman," katanya pelan, berusaha menenangkan hatinya sendiri. Cheolsoo mengangguk, meskipun dalam hatinya, dia tahu itu lebih dari sekadar ciuman.
Hari-hari berlalu, dan Eunjin mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Semuanya terasa canggung. Setiap tatapan, setiap percakapan, bahkan keheningan di antara mereka seolah berbicara lebih banyak daripada kata-kata. *Bagaimana bisa berakhir seperti ini?* pikir Eunjin. Mereka yang dulu selalu bisa tertawa dan bercanda, kini hanya tersisa rasa hampa yang tak dapat dijelaskan.
Suatu malam, Cheolsoo mengetuk pintu apartemen Eunjin. "Kita perlu bicara," katanya tanpa basa-basi. Eunjin tahu ini akan datang, tetapi hatinya belum siap. Mereka duduk di ruang tamu, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka saling menatap dalam-dalam.
"Eunjin, aku tidak bisa berpura-pura kalau ini tidak mengubah segalanya. Ciuman itu...," Cheolsoo berhenti, mencari kata-kata yang tepat. "Itu lebih dari sekadar ciuman bagiku."
Eunjin menarik napas panjang, menahan air matanya. "Aku tahu," bisiknya. "Tapi aku takut, Cheolsoo. Kita berteman begitu lama, dan aku tidak ingin merusaknya."
"Begitu juga aku," jawab Cheolsoo. "Tapi kita tidak bisa kembali seperti dulu, kan? Sesuatu telah berubah."
Mereka duduk dalam keheningan, merasa tertahan oleh kerumitan perasaan mereka. Mungkin memang benar, terkadang hubungan berubah tanpa bisa dihindari. Sebuah ciuman sederhana bisa membuka pintu pada sesuatu yang lebih dalam—perasaan yang selama ini terpendam, namun kini mengharuskan mereka memilih antara melangkah maju atau membiarkan semuanya hancur.