Malam itu, hujan turun dengan cara yang sunyi. Seperti percakapan yang tak pernah selesai, seperti detak yang berhenti di tengah jeda. Aku duduk di sudut cafe yang sudah tak asing lagi, ditemani secangkir kopi yang mengepul, menunggu. Waktu seperti berhenti, tapi aku tahu, malam ini segalanya akan berbeda.
Di luar, lampu-lampu kota berkilauan di permukaan jalan basah, menggambar siluet bayang-bayang yang samar. Seperti saat aku mencoba mengingat setiap detail tentang kamu, setiap senyummu yang selalu terasa begitu jauh, meski kita berada dalam ruang yang sama.
Aku ingat bagaimana kita dulu memulai. Setiap pertemuan terasa seperti petualangan, seperti menemukan pintu baru yang tak pernah kujamah sebelumnya. Ada kebahagiaan yang begitu ringan di dalam percakapan kita, kata-kata yang mengalir begitu lancar, bahkan lebih lancar dari hujan yang kini menari di kaca jendela.
Namun, seiring waktu, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Seperti bayangan yang datang perlahan-lahan, tanpa suara. Kamu menjadi semakin jauh, meski kita masih berbicara. Tawa yang dulu terasa hangat kini terasa hampa. Kata-kata yang kita ucapkan mulai kehilangan makna, seperti awan yang menggantung di langit tak jelas arah.
Aku menyadari, kita hanya menunggu hujan untuk berhenti. Kita menunggu, tanpa tahu kalau saat itu tiba, kita akan tetap berpisah, meski masih ada secangkir kopi di meja yang sama. Aku menatap ponselku, mengharap ada pesan darimu, tapi tidak ada. Kamu sudah tidak ada dalam kehidupan sehari-hariku, meski kita masih berbagi ruang yang sama di beberapa sudut kota ini.
Aku teringat lagi pada kamu—waktu itu, saat pertama kali kamu memberiku pelukan. Pelukan yang terasa seperti janji, seperti dunia yang membentang luas untuk kita jelajahi bersama. Tetapi kini, pelukan itu hanya tinggal kenangan, kenangan yang terasa berat di bahu, seperti rindu yang tak kunjung hilang.
Aku menyadari, kita tidak akan pernah benar-benar bersama. Kita hanya dua jiwa yang saling berusaha mengisi ruang kosong, yang seharusnya tidak pernah ada. Mungkin kita memang tidak ditakdirkan untuk saling memiliki. Mungkin kita hanya ditakdirkan untuk merasakan rasa yang menyakitkan ini, merasakan bagaimana hati kita saling memudar di antara waktu dan jarak.
Hujan kini semakin deras, dan aku tahu, malam ini kita akan berpisah. Kamu akan kembali ke dunia yang lebih jauh dari pandanganku. Dan aku? Aku hanya bisa menyimpan kenangan kita di dalam hati yang mulai rapuh.
Di ujung senja, aku menggenggam rindu, rindu yang tak tahu harus ku arahkan kemana. Tapi, entah kenapa, meski hati ini terasa patah, aku masih merasa ada sesuatu yang tersisa—seperti jejakmu yang tak bisa hilang meski hujan turun.
Di luar sana, hujan terus mengalir, seperti kisah kita yang mengalir begitu saja, tanpa arah yang pasti.
Tapi aku tahu, di balik rindu yang patah ini, ada sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang kita tak mampu pahami. Mungkin cinta itu memang seperti hujan. Ia datang, membasahi, dan akhirnya pergi. Tapi meski basah, kita tetap merasa hangat di dalamnya.
Dan aku? Aku akan terus menggenggam rindu ini, sampai hujan berhenti.