Langit sore tampak kelabu, seiring dengan suara rintik hujan yang menimpa jendela kamarku. Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah pintu yang sedikit terbuka. Udara terasa dingin, menusuk hingga ke dalam hatiku. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, berlalu tanpa arti.
“Mama,” bisikku pelan, meski aku tahu dia tak akan mendengarku.
Aku teringat kejadian pagi tadi, ketika aku kehilangan kendali dan berkata hal-hal yang tak seharusnya. Emosiku meluap, dan kata-kata tajam terlontar begitu saja. Aku tak berniat menyakitinya, tak pernah. Tapi rasa kecewa dan marah yang menumpuk, akhirnya meledak.
“Mama, ooh, aku tidak bermaksud membuatmu menangis,” gumamku lagi, seolah bisa memutar kembali waktu. Wajahnya masih terlintas jelas di pikiranku, air matanya jatuh pelan saat aku mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Aku menyesal, sangat menyesal.
Setelah pertengkaran itu, Mama pergi ke pasar seperti biasa, tanpa berkata sepatah kata pun. Tidak ada tatapan lembut, tidak ada nasihat bijak yang biasa kudapatkan. Aku tahu, kali ini dia benar-benar terluka.
Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan pelan menuju jendela. Hujan semakin deras. Di luar, jalanan tampak sepi, hanya beberapa orang berlalu-lalang dengan payung mereka. Di balik pemandangan itu, aku merasa kosong.
"Kenapa aku begitu keras kepala?" pikirku. Semua ini terasa tidak berarti. Hidupku seperti terjebak dalam siklus yang sama, penuh kemarahan, penyesalan, dan kebisuan. Aku ingin segalanya berubah, tapi entah mengapa sulit untuk melepaskan rasa kecewa dalam diriku.
"Pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar penting," bisikku lagi, kali ini lebih untuk meyakinkan diriku sendiri. Semua masalah ini, semua pertengkaran yang tidak perlu, terasa sia-sia. Hidup ini seharusnya lebih dari sekadar saling menyakiti.
Aku menunggu Mama pulang, berharap bisa meminta maaf dan memperbaiki semuanya. Tapi waktu berjalan pelan, dan penyesalan terus menghantui.
Ketika akhirnya pintu depan terbuka, suara langkah Mama yang biasa terdengar ringan kini terasa berat. Aku berjalan menuju ruang tamu, berharap bisa bertemu pandang dengannya, berharap dia masih mau mendengarkanku. Tapi yang kutemukan hanyalah wajah yang lelah, dengan jejak air mata yang tersisa.
“Mama…” suaraku bergetar, namun tak ada jawaban. Hanya tatapan kosong yang balas memandangku.
Dalam keheningan itu, aku tahu bahwa kata-kataku telah meninggalkan luka yang dalam. Aku mungkin bisa meminta maaf, tetapi rasa sakit yang kutinggalkan akan tetap ada. Dan kali ini, tidak ada yang benar-benar penting… kecuali cinta yang telah terluka karena keegoisanku.
Aku menunduk, merasakan air mata mulai menggenang. "Maaf, Ma… aku tidak bermaksud membuatmu menangis," bisikku, berharap dia bisa mengerti.