Maya duduk di tepi tempat tidur, menatap foto Revan yang tersenyum lebar. Semua kenangan itu berputar di pikirannya, seperti film yang tak ingin berakhir. Suara tawanya masih menggema di telinganya, mengingatkan pada malam-malam penuh harapan dan impian.
Dia ingat saat mereka merencanakan masa depan, membahas tanggal pernikahan, dan membayangkan kehidupan yang akan dijalani bersama. Tapi semua itu hancur dalam sekejap. Kematian Revan terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
Maya berusaha menghibur diri, meyakinkan bahwa ini semua adalah bagian dari hidup. Namun, rasa sakit itu terlalu dalam, seperti jurang yang tak berujung. Teman-temannya menyarankan untuk melanjutkan hidup, tetapi hatinya menolak untuk melepaskan. Bagaimana bisa melanjutkan ketika separuh jiwanya telah pergi?
Setiap hari, Maya berusaha menemukan cara untuk mengingat Revan dengan cara yang baik. Dia menulis surat-surat yang tak akan pernah dikirim, bercerita tentang harapan-harapan yang kini hanya tinggal angan. Dia berharap, suatu saat, dia bisa mengikhlaskan dan menemukan kedamaian di tengah kesedihan ini.
Maya menghabiskan waktu berjam-jam di sudut kamarnya, menuliskan kata-kata yang tak terucapkan. Setiap surat adalah ungkapan perasaannya, membahas kenangan manis dan harapan yang kini samar. Dia berharap, melalui tulisan-tulisan ini, dia bisa merangkul rasa kehilangan dan belajar mengikhlaskan Revan. Meski sulit, Maya percaya bahwa suatu saat, dia akan menemukan kedamaian dalam kesedihan yang menyelimutinya.
Hidupnya masih panjang dan perjalanannya pun bukan hanya tentang kesedihan. Masih banyak lagi lika-liku yang harus dijalaninya. Yang terpenting adalah bagaimana dia menerima takdir dengan lapang dada dan penuh keikhlasan.
Tamat