Di atas meja makan yang sama, Rina dan Arman duduk berhadapan, seperti biasa setiap malam. Piring-piring tertata rapi, makanan tersaji sempurna—nasi putih, ikan bakar, sambal terasi, dan lalapan yang masih segar. Namun, ada yang berbeda malam ini, keheningan menggantikan percakapan hangat yang biasanya menemani makan malam mereka. Tatapan mereka jarang bertemu, dan ketika bertemu, hanya sekilas.
Rina menggigit bibirnya, meremas-remas serbet di pangkuannya. Sementara Arman hanya menunduk, fokus pada piring di depannya. Sendok di tangannya bergerak pelan, seolah kehilangan semangat.
“Apa kita harus terus begini, Mas?” tanya Rina akhirnya, suaranya serak.
Arman mengangkat kepalanya. “Maksudmu?”
“Kita... diam-diaman, pura-pura semuanya baik-baik saja. Aku tidak bisa terus seperti ini.”
Arman meletakkan sendoknya. Dia menghela napas panjang. “Apa yang mau kamu bicarakan, Rin? Aku capek. Setiap kali kita bicara, malah jadi bertengkar.”
Rina menahan tangisnya, tapi matanya mulai berkaca-kaca. “Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kita. Kita dulu tidak begini, Mas. Kita dulu selalu tertawa, berbagi cerita, tapi sekarang...” Suaranya terputus oleh isakan kecil. “Kenapa semuanya terasa begitu jauh?”
Arman terdiam, pandangannya tertuju pada retakan kecil di meja makan kayu di depannya. Retakan itu sudah ada sejak lama, mungkin lebih dari setahun, tapi baru malam ini dia benar-benar memperhatikannya. Seperti retakan kecil di rumah tangga mereka, yang awalnya nyaris tak terlihat, namun kini semakin lebar dan sulit diabaikan.
“Aku juga tidak tahu, Rin,” gumam Arman. “Mungkin kita terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Kamu dengan pekerjaanmu, aku dengan bisnisku. Mungkin kita... kehilangan arah.”
Rina menggeleng. “Ini bukan cuma soal sibuk, Mas. Aku merasa ada yang hilang dari kita. Seperti ada dinding yang memisahkan kita. Dulu kita saling mendukung, saling peduli, tapi sekarang... kita hidup di dunia yang berbeda.”
Arman menatapnya, matanya tampak lelah. “Apa kamu berpikir kita sudah tidak bisa diselamatkan?”
Rina menghapus air mata yang jatuh di pipinya. “Aku tidak tahu. Tapi aku ingin kita mencoba. Aku tidak ingin menyerah begitu saja.”
Arman menggenggam tangan Rina di atas meja. Sentuhan itu terasa asing, seperti sentuhan dari seseorang yang pernah dikenalnya lama tapi kini terasa jauh. “Aku juga tidak mau menyerah, Rin. Tapi aku bingung harus mulai dari mana.”
Rina menarik napas dalam-dalam. “Mungkin kita bisa mulai dari hal kecil. Berbicara lebih banyak, mendengarkan satu sama lain. Kita bisa coba lagi, Mas.”
Arman mengangguk pelan. “Kita coba lagi, ya.”
Malam itu, mereka tidak berbicara banyak lagi. Tapi ada harapan kecil yang mulai tumbuh di antara keheningan mereka. Mungkin, seperti retakan di atas meja makan itu, hubungan mereka juga bisa diperbaiki. Tidak sempurna, tapi cukup kuat untuk menahan beban hidup bersama.
Namun, di balik harapan itu, keduanya tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Dibutuhkan lebih dari sekadar janji untuk menyelamatkan apa yang telah mulai runtuh. Tapi setidaknya, mereka telah mengambil langkah pertama—untuk tidak menyerah.
Dan di tengah keheningan, ada secercah kemungkinan bahwa cinta mereka masih bisa diperbaiki.
---
Malam itu, mereka tidak berbicara banyak lagi. Tapi ada harapan kecil yang mulai tumbuh di antara keheningan mereka. Mungkin, seperti retakan di atas meja makan itu, hubungan mereka juga bisa diperbaiki. Tidak sempurna, tapi cukup kuat untuk menahan beban hidup bersama.
Namun, di balik harapan itu, keduanya tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Dibutuhkan lebih dari sekadar janji untuk menyelamatkan apa yang telah mulai runtuh. Tapi setidaknya, mereka telah mengambil langkah pertama—untuk tidak menyerah.
Dan di tengah keheningan, ada secercah kemungkinan bahwa cinta mereka masih bisa diperbaiki.
Tamat.