Persahabatan itu seperti tangan dan mata. Disaat tangan terluka, mata menanggis. Disaat mata menanggis, tangan yang menghapuskanya.
"Kita mendapat surat dari Lusi." Cihaya melihat mereka begitu senang menerima surat itu.
Apa semua orang memang sedekat itu disini? Pikir Cihaya.
"Ayo kita baca." Hera yang mengambil buku itu segera saja berlari kearah mereka.
Yuka yang tadi menanggis menghentikan begitu saja tangisnya, mereka segera membuka amplop berwarna putih.
Untuk teman-temanku semuanya.
Sudah seminggu aku meninggalkan kalian.
Rasanya seperti sudah lama sekali. Aku berharap kalian semua baik-baik saja.
Saat Fich diadopsi dan dikembalikan aku merasa heran. Aku ingin sekali diadopsi. Karna itu saat diberi tau ada yang ingin mengadopsiku, aku sangat senang.
Surat ini sangat singkat, aku akan menceritakannya lain kali. Aku ingin sekali mengunjungi 'Rumah kita' lagi. Tapi, sekarang aku sedang sibuk mendaftar disekolah baru.
Teman-teman, tak ada rumah yang sehangat itu. Dan tak ada keluarga senyaman itu.
Aku ingin bertemu kalian semua.
Lusi Deriana.
"Sepertinya dia sangat senang, mendapat keluarga baru." Kata Hera.
"Diadopsi terkadang sangat menyenangkan bagi semua orang." Kata Arana.
"Bukankah, kau yang dipilih untuk diadopsi minggu lalu." Arana mengangguk.
"Aku ingin tinggal disini, ini adalah rumahku." Arana menjelaskan.
"Aku iri. Entah mengapa orang-orang bisa akur dengan keluarganya. Tapi tidak dengan keluargaku." Kata Hera. Mereka menikmati senja dengan menikmati pemandangan matahari terbenam.
Keheningan berlangsung lama. Mereka menatap nampan kue dipiring.
"Aku lebih senang disini. Dirumahku sepi. Kedua orang tuaku pergi mengurusi bisnis mereka." Kata Alita.
"Sama! Orang dewasa punya dunianya masing-masing." Begitu kata Hera.
"Arana, apa kau ingin menyimpan suratnya?" Tanya mereka.
"Boleh, akan kuletakan dibuku catatan kita." Arana mengambil Amplop dan melipat surat tersebut.
Hari itu ibu asrama menyajikan banyak sekali makanan penutup.
"Kita dapat kiriman bahan makanan. Ibu koki tidak belanja. Karna itu harap makan apa yang beliau masak."
"Baik." Fich datang mendekat. Hari ini giliran kamar 20 yang membereskan meja makan.
"Arana, apa kau membawa surat dari Lusi?" Dia menarik kursi mendekat. Fich adalah anak laki-laki kecil yang berusia delapan tahun. Dia baik dan penurut, menurut Arana dia anak yang cukup cerdas dibandingkan anak seusianya.
"Apa kabar Fich? Aku membawanya. Ada apa?"
"Aku punya jus jeruk. Ayo, kita lihat apa ada sesuatu disana." Fich menumpahkan jusnya keatas surat. Arana hampir berteriak karna kertas itu basah.
"Tak masalah." Kata Fich.
"Ini kertas khusus yang digunakan orang-orang jaman dahulu untuk menyimpan sesuatu."
"Sesuatu."
"Ya. Lihat, sudah diserap, kan?" Fich mendekatkan kertas itu kekompor yang menyala.
"Hati-hati, jangan sampai terbakar." Perlahan tampaklah tulisan-tulisan disana. Teman-temannya yang lain juga mendekat.
Aku dalam bahaya.
Kalimat itu tertulis dikertas yang hangat.
"Apa maksudnya?" Kata Arana menatap Fich.
"Kau sudah seharusnya cerita." Rivan datang dan duduk dikursi tak jauh dari mereka.
"Ada apa Fich?" Semua mata tertuju pada Fich. Murf datang dan mengatakan,
"Sudah kuduga!"
"Sebaiknya Lusi dikembalikan kesini." Kata Fich. Mereka terdiam menunggu Fich melanjutkan ceritanya.
"Saat pertama kali diadopsi, aku diadopsi oleh keluarga Filsen, Itu adalah keluarga semi Eropa. Si suami berasal dari Belgia, sedangkan istrinya berasal dari Indonesia. Mereka telah lama menikah, tapi tidak dikaruniai seorang anakpun. Begitu yang diwartakan." Fich menatap kertas itu.
"Mereka sangat memanjakanku disana. Hingga suatu saat aku menemukan kertas ini. Aku melihat bu Filsen membacanya menggunakan lilin. Dari situlah aku tau kalau beliau punya seorang anak cacat. Bukan itu saja, ternyata dia sedang mencari donor untuk anaknya" Dia menghirup napas panjang dan menghembuskanya begitu saja.
Fich meneruskan,
"Dia sudah mencari donor yang tepat. Dan sialnya, donor yang dia maksud adalah aku. Itu sebabnya aku memilih pulang kesini dari pada didonorkan seperti itu." Mereka bergidik mendengar hal itu.
"Jadi, Lusi kemungkinan akan dijadikan donor. Penganti donor yang hilang?"
"Tepat sekali. Mungkin itu sebabnya dia mengirim surat dengan mengunakan cara ini. Dia pasti sudah tau sekarang, jika akulah donor pertama yang diadopsinya."
"Apa yang harus kita lakukan?" Kata mereka Alita dengan nada cemas.
"Kita harus menolongnya sebelum ketahuan!" Tegas Yuka.
"Ayo, kita undang dia diacara ulang tahun Kiwil." Arana memberi ide. Rasanya tidak mungkin dia tidak diijinkan datang. Hari beranjak gelap saat mereka masuk ke ruang aula.
"Lusi pasti sedang sedih dan ketakutan sekarang." Kata Fara sambil menatap matahari senja dikejauhan.
"Sedih, ya punya keluarga yang menyayangi kita demi sesuatu." Cihaya akhirnya bicara. Dia mengambil beberapa pemandangan matahari senja sore itu.
"Kau benar!" Fara merapikan buku yang akan dibawanya besok kesekolah.
"Aku ingat saat masih kecil, nenek selalu menemaniku dengan ayat-ayat Al-Qur'an sebagai pengantar tidur. Ayah mengajak kami kepantai saat malam tiba. Dan ibu sangat lembut dan pintar memasak." Kata Fara.
"Dimana mereka?" Tanya Cihaya.
"Disapu ombak. Benar kata orang-orang, yang bermain diair akan tenggelam. Yang bermain diapi akan terbakar. Padahal laut adalah satu-satunya sumber kehidupan kami. Teganya dia marah seperti itu." Fara tiba-tiba menanggis.
"Aku merasa bersalah hidup lebih lama dan bahagia." Cihaya mendekat dan menghampiri temanya itu.
"Aku bahkan tidak melihat wajah mereka, ataupun kuburan mereka." Kata Fara. Arana keluar dari kamar mandi dan menggeser kursi kesamping kursi Fara.
"Bukankah kau hidup sekarang karna keinginan dan cinta mereka?" Kata Arana.
"Aku pernah dipinjami Murf buku Harry poter seri 'Batu bertuah'. Aku masih ingat sampai sekarang bagaimana ibu Harry melindungi Harry yang masih kecil dari kutukan Avada kedavra." Arana melepaskan pandanganya dan mengingat-ingat.
"Ternyata ada yang tak bisa ditembus oleh apapun. Dengan rasa,raga, atau jiwa. Pertahanan yang paling kuat. Kasih sayang orang tua." Arana menatap senja yang semakin gelap. Cihaya menyodorkan sebuah sapu tangan pada Fara.
"Ini, jangan menanggis. Mereka tak menyayangimu agar kau sedih." Fara menerimanya dan memperhatikan nama Cihaya yang tersiram disana.
"Itu karya tangan ibuku. Jika aku rindu padanya aku melihat saputangan itu." Kata Cihaya.
Mereka semakin akrab sementara Arana hanya bisa memendam keinginanya. Siapa orang tuanya, atau bagaimana hidup dalam sebuah keluarga sesungguhnya dia tidak pernah tau.
Seseorang mengetuk pintu.
Yuka dan Hera berdiri disana.
"Ayo, kita selamatkan Lusi, aku sudah memiliki beberapa rencana. Kata Yuka.