Sejak kecelakaan yang merenggut nyawa Ayah, Hekka bagaikan duri dalam dagingku. Setiap kata yang keluar dari mulutnya, setiap cerita yang ia umbar terasa seperti kebohongan besar. Bunga merah di pinggir jalan, gadis misterius yang melintas tiba-tiba di depan mobil kami, semua itu, bagiku adalah bagian dari permainan imajinasi nya semata. Aku yakin, imajinasinya yang liar itulah penyebab dari kecelakaan maut ini.
***
Ruang ICU
Menggenggam erat sapu tangan di sofa, kuku-kuku jariku memutih menahan kecemasan. Bau obat-obatan menyengat, monitor detak jantung yang berkedip-kedip tak beraturan, dan sosok yang terbaring lemah diatas ranjang dingin disana, atmosfer diruangan ini hampir menghilangkan kewarasan ku jika langkah dokter tidak terdengar memasuki ruang.
"Tuan Gekka?"
"Dokter!" Aku bergegas menghampiri sosok wanita ber-alamamater putih itu dengan suara serak. "Bagaimana hasil pemeriksaan kakak saya?" tanyaku. Dia tapi terdiam menatap ku dengan sorot simpatik, "Kami telah melakukan yang terbaik, tapi..." kalimatnya tergantung menepuk pelan bahuku seraya menggeleng lemah.
"Tidak... Dokter, jangan katakan itu!" Tak tertahan, air mata ini kembali mengalir. "Hekka..." Aku berjalan kembali ke ranjang besi itu, dimana saudaraku terbaring tak sadarkan diri, "Dokter, dia masih muda... Aku, aku bahkan belum sempat..." Suara ku terputus oleh isak tangis yang tak lagi terbendung.
Ingatan tentang senyumnya, tawa riangnya, dan semua kenangan indah yang kita buat bersama terputar di kepala ku bagai sebuah kutukan. Aku belum sempat meminta maaf atas semua kesalahan yang telah ku perbuat. Aku belum sempat mengatakan betapa aku menyayanginya.
"Hekka..." Lantas meraih tangan pucatnya, aku mulai berharap Hekka bisa merasakan kehangatanku ini, yang kini memohon memintanya untuk kembali.
"Jangan tinggalkan aku....."
***
Tujuh tahun lalu, tol Distrik 3 menjadi saksi bisu tragedi mengerikan.Pengereman mendadak seorang pengemudi dijalur kanan menjadi keputusan fatal yang merenggut nyawa nya, dan kehidupan dua anak yang dibawa olehnya....
"Gekka!"
"?!"
Mendapati suara lembut memanggil, kepalaku tertoleh menyambut kehadiran sosok bermata sayu di ambang pintu ruang Rawat. Ibu. Wajah yang dahulunya ceria itu, kini tampak pucat. Rambut yang dulu ku ingat sering terurai indah itu, kini terlihat kusut terikat.
"Ibu?" Akupun bangkit dari kursi disebelah ranjang Hekka, untuk menghampiri ibu yang termenung disana.
“Kamu sudah makan nak? Wajahmu tampak letih sekali?” cemas ibu, tampak memaksakan senyumnya. Aku menggeleng pelan.
“Ibu tidak perlu cemas tentang aku. Yang lebih penting adalah, kenapa ibu datang kesini? Ibu sedang kurang sehat, bagaimana jika suasana rumah sakit berpengaruh pada kesehatan ibu?” ucap ku menggapai keranjang buah ditangan ibu.
Namun menanggapinya ibu hanya tersenyum lemah, matanya mulai berkaca-kaca melirik kebelakang badanku. “Maaf. Tapi, setelah dokter mengabari ibu tentang kondisi terakhir Hekka, pikir ibu, setidaknya ibu harus disini..." Ibu berjalan menghampiri ranjang Hekka, menggenggam tangan rapuh itu dan berulang kali menciumnya. "Ibu takut... Ibu takut disaat terakhir kakakmu, ibu tidak berada disisi nya... hiks!” bersatunya tangan ibu dan Hekka, menciptakan lukisan kesedihan memilukan dalam pandangan mataku yang mengabur.
Hatiku hancur berkeping-keping menyaksikannya.
"Gekka... Kakakmu ini sangat nakal, bukan? Selama ini jantungnya mungkin berusaha tetap berdetak hanya untuk kita..., Karena kita selalu memintanya untuk bertahan, dia jadi terus memaksakan diri, hiks... Ta-tapi sudah cukup!" Ibu memutar haluan tubuhnya menghadap ku, air matanya yang mengalir deras dan bahunya yang bergetar hebat, seakan menanggung beban kesedihan yang tak bisa ku ringankan. "Gekka, kali ini ibu hanya berharap kakak mu bisa beristirahat dengan tenang dan terlepas dari semua beban yang ditanggungnya, dia sudah lama tersiksa, Gekka...." tutur Ibu, suaranya parau.
"Aku mengerti, Bu." Bagaikan karma, akupun teringat semua perkataan kasar dan perbuatan jahat yang pernah ku lakukan pada Hekka. Lebih dari seorang adik yang buruk, aku adalah saudara yang hina.
Sungguh. Betapa bodohnya sekuat apa pun diri ini menyangkal, kenyataan bahwa si antagonis yang menyiksa kehidupan Hekka sebelumnya adalah aku, kenyataan itu tidak bisa di ubah. Rasa bersalah ini bak batu besar yang menindih dadaku, menjadi beban dosa yang tak terampuni Tuhan.
“Bu, akan ku minta suster datang kesini. Aku izin keluar sebentar...” aku ingin membawa hati yang hancur berkeping-keping ini pergi sejauh mungkin. Aku ingin menyendiri, merenungkan semua kesalahan yang ku miliki.
***
Tap-tap-tap.
Berhenti di taman rumah sakit, di bawah langit jingga yang mulai memudar. Bau kamboja dan rerumputan basah memenuhi hidungku.
Di sini, di tengah taman yang sunyi ini, aku ingat saat Hekka berusaha meyakinkanku setelah siuman dari operasi.
Matanya berkaca-kaca, suaranya bergetar saat dia menceritakan tentang gadis bergaun merah itu.
"Hiks! Gekka, aku tak berbohong... Aku melihatnya dengan jelas, di bawah pohon di pinggir jalan, dia mendekati mobil kita. Rambutnya hitam panjang terurai, bunga-bunga merah berserakan di kakinya. Aku takut, aku benar-benar takut!" Isak tangisnya pecah. Tangannya meraihku meminta pertolongan, namun aku menepisnya kasar.
"Cukup, Hekka!" suaraku meninggi. "Jangan berpura-pura tidak bersalah! Kau sudah sering berbohong, bagaimana aku bisa percaya padamu kali ini?" Lusinan kebohongan Hekka memenuhi kepala ku. Saat dia menuduh kelinci tetangga mencuri mobil mainannya, saat dia mengaku melihat hantu menari nari di kamar mandi. Aku lelah dengan semua kebohongan itu.
"Kau tidak bisa membedakan kenyataan dan khayalan... Kau membunuh ayah kita karena khayalan mu. kau... Kau bukan kakak ku! Pergi!" Satu doronganku berhasil membuat Hekka tersungkur. Hatiku hancur saat itu dan aku tak bisa memaafkan Hekka.
Yeah. Begitulah sikapku yang keji pada Hekka.
Dan kini. Aku sungguh menyesal telah menghancurkan hidup saudara ku sendiri. Aku terus menyalahkannya tanpa bukti, mengucilkannya dari keluarga, membencinya meski tiap detik kondisinya semakin melemah.
Bagaimana bisa selama ini aku sekejam itu?
Aku ingat saat dia pulang dari rumah sakit dengan bekas luka operasi menghiasi kakinya. Saat itu dokter mengatakan dengan jelas bahwa jantung Hekka juga menjadi lemah. Sementara aku yang selamat tanpa luka, aku malah tetap menyalahkan Hekka, menganggap semua itu adalah hukuman atas kesalahannya.
Oh Hekka... kenapa kau diam saja?
Kenapa kau tidak membela diri?
Apakah kau benar-benar merasa bersalah? Atau... kau hanya terlalu baik untuk membenciku?
Aku ingin meminta maaf, tapi bagaimana?
"Dia mungkin takkan mau memaafkan pendosa seperti ku" Angin sore berhembus membawa serta dedaunan kering yang berputar-putar di sekitar taman. Aku menatap kosong dedaunan itu. Berpikir, seperti inikah hidup yang akan kujalani sekarang? kosong dan hampa tanpa kehadiran Hekka?
"Aku tidak mau... Hiks!"
Aku tidak mau...
"Tolong Tuhan... pasti ada yang bisa ku lakukan!!"
NGING!
Menusuk telinga itu bagai belati menembus gendang telingaku tiba tiba. Dengungan itu membuatku meringis, menutup kedua telinga erat-erat saat dunia terasa berputar hingga pandangan ini mengabur dalam sekejap.
"To-tolong...!" lirihan ku tak berdaya. Apa yang terjadi?? Aku terus meringkuk disana dan ketika akhirnya bisa membuka mata, bahkan dengan logika pemandangan di hadapanku tak bisa ku jelaskan.
"Ini... Apa apaan?" Dunia seolah berubah menjadi lukisan hitam putih.
Warna-warna cerah yang biasa kulihat memudar, langit yang sebelumnya berwarna biru cerah kini hanya berupa hamparan kelabu tanpa batas. Pohon-pohon yang rindang bahkan kini terlihat seperti siluet hitam di atas kertas. Semua berubah menjadi gradasi abu-abu yang suram.
"Apa ini? A-ada apa??" Aku terbata-bata. Rasa panik menguasai ku hingga berlari menyusuri taman memanggil-manggil nama orang lain. Tapi hingga akhir kaki ku terasa letih, hanya keheningan mencekam yang menjawab ku.
"Ibu... Hekka...!" Hatiku berdebar kencang teringat keluargaku yang masih berada dalam gedung rumah sakit. Apa yang terjadi pada mereka? Apakah mereka juga mengalami hal yang sama denganku?
"Kumohon! Semoga tak terjadi sesuatu disana!” aku kembali berlari sekencang mungkin menuju gedung rumah sakit, tapi setiap langkah yang kuambil justru membawa ku semakin jauh ke dalam labirin hitam putih taman ini. Kembali terengah-engah, mataku pun menangkap sesuatu di antara bunga-bunga di pinggir taman, dimana beberapa bunga berwarna merah darah tumbuh disana.
"Bunga itu..." Warnanya sangat mencolok, sama seperti darah segar yang baru saja tumpah. Aku lantas mendekati salah satu bunganya dengan rasa penasaran dan waspada. Bunga yang berbentuk aneh seperti kaki laba-laba yang sedang merangkak itu, mengeluarkan aura misterius yang menghipnotisku, sampai sebuah suara hadir menginterupsi rasa penasaran ku.
“Cantik, bukan?”
Aku tersentak, refleks menoleh ke segala arah. “Apa kamu suka, dengan bunga berbentuk kaki laba-laba itu?” ujar suara itu lagi terdengar semakin dekat.
Aku menelan ludah. “Siapa itu?” tanyaku, tapi tidak ku jumpai siapapun di sana.
“Aku?” Suara itu tertawa pelan. “Aku adalah Wujudnya.”
DEG.
Menepati sosoknya hadir secara misterius dibelakang, sepertinya, aku baru saja disambut oleh sosok aneh mengerikan.
"Siapa?!" Aku memang tak mengenalnya, tapi firasat ku mengatakan sosok bergaun merah darah yang menyeringai di balik helaian rambut panjang bak langit malam itu, adalah dalang dibalik semua kejadian ini. Matanya yang bersinar merah menyala seperti bara api membuatku merinding.
"Siapa kau?" tanyaku berusaha menjaga jarak. Namun menggubris ku, tangannya yang berkuku panjang terulur menyodorkan seikat bunga merah yang tampak begitu segar dengan tetesan darah.
"Akankah kau juga berkorban? Gekka Dentharaz. Terakhir kita bertemu, jantungmu hancur dan hampir kehabisan darah," ujarnya dengan seringai.
"A-Apa yang kau bicarakan?!" kurasakan jantungku berdebar semakin cepat. Tawa mistisnya yang membahana membuat kaki ku lemas. "Bagaimana kau tahu namaku? Dan apa maksudmu dengan jantungku yang hancur?!"
Dia memiringkan kepala hingga rambutnya tersingkap menampilkan wajah pucat mengerikan. "Semua sudah terjadi, Gekka... Kau adalah bagian dari kisah ini. Kisah lama, tentang seorang anak yang membagi kehidupan jantungnya." jawabnya tersenyum lebar. Dia tertawa lepas. "Hihihi, aku yakin kau mengenalnya! Dia adalah Hekka, salah satu anak yang di berkati kemampuan magis, yang telah meminta bantuan ku membagi satu kehidupan di dua tubuh."
"HUH?!" Belum sempat aku mencerna kata-katanya, sekelilingku kembali berubah. Warna-warna memudar seutuhnya menjadi putih, lalu muncul kembali dalam bentuk yang berbeda. Kali ini, aku berada di tempat kejadian kecelakaan tujuh tahun lalu.
"ARGH!" Kepalaku terasa mau pecah. Dengan kesadaran yang semakin terkuras, aku melihat diriku yang lebih muda, bersama Hekka duduk di kursi belakang mobil bernyanyi nyayi. Saat saat yang indah karena Ayah menepati janjinya membawa kami berlibur ke gunung dan kemudian.
"AYAH! AWAS ADA ORANG DI DEPAN!
Kecelakaan itu terjadi.
Mataku seolah dipaksa melihat ulang tragedi yang menyebabkan Ayah terkapar bersimbah darah.
Tidak!
"Kenapa kau melakukan ini padaku?!!!" teriakku histeris pada gadis bergaun merah itu. "Apa tujuanmu sebenarnya?!!" seru ku. Namun alih alih menjawab, dia justru menghilang , meninggalkan hanya suaranya yang menggema di sekitar.
"Semua ini demi kebaikanmu, Gekka. Kau harus mengerti."
"Apa? Apa yang aku harus mengerti?!" Di tengah kebingungan memahami situasi ini, lirih suara lain yang begitu familiar menyapu daun telingaku.
"Gekka! Gekka bangunlah!"
Dan pemandangan mengerikan itu kembali menyambut Indra penglihatanku.
"Kak Hekka?" Aku melihat Hekka kecil tertatih-tatih dengan kaki hampir hancur, menarik ragaku yang bersimbah darah ke pinggir jalan seorang diri. Hekka menangis tersedu-sedu dengan wajah pucat pasi, mengabaikan luka di kakinya memanggil manggil namaku.
"Hiks! GEKKA!! GEKKA BANGUN.... GEKKA!" tangisnya semakin kencang, air mata dan darah yang menggenang disekitar sudah tak terlihat berbeda.
"Kakak, kakak bunga merah! Kumohon..., Hiks!" tak lama, Hekka terlihat bicara dengan seseorang di balik semak hutan, di belakang pembatas jalan tol. "Selamatkan adik ku...hiks, tolong kak...! Hentikan perdarahannya," ucap Hekka.
Bayangan akan sosok yang diajak bicara olehnya pun terlihat, membelalakkan mataku menyadari sosok itu adalah sosok yang sama yang selama ini dia ceritakan.
"Sosok bergaun merah, dengan bunga merah yang menyambut ku."
"Gu-gunakan saja aku untuk menyelamatkan adikku, kak!!"
DEG.
Hatiku hancur berkeping-keping mendengar permintaan Hekk kecil.
Sekarang, semuanya menjadi jelas.
"H-hekka..." suaraku serak mencoba menggapai raga mungilnya disana. Aku tidak pernah menyangka Hekka akan melakukan hal seperti ini. "Ini, bohong kan?" tapi semua itu hanya kilas balik waktu yang dipertunjukkan. Aku takkan pernah bisa menggapai Hekka di dimensi ini.
Gadis bergaun merah itupun tampak menggunakan kekuatan nya untuk membagi nyawa Hekka dan menyelamatkanku. Setelah ritual itu selesai dilakukan, Hekka pingsan dan bunga-bunga merah mulai bertebaran di sepanjang jalan membentuk karpet kematian.
Barisan bunga itu menuju jasad ayah. Memperlihatkan arwahnya bangun, berjalan mengikuti jejeran bunga itu tanpa bisa ku hentikan. "Ayah!" Aku berusaha memanggil nya. Namun hingga akhir, ayah tak menoleh. Sosok nya kembali meninggalkan ku sendirian.
Gadis bergaun merah itupun menghampiri ku. "Higanbana," ujarnya. "Beberapa orang terpilih, bisa melihat bunga Higanbana mekar menyambut seseorang yang meninggal. Hekka, adalah salah satu anak istimewa yang dapat melihatnya, keinginan kuat Hekka juga yang menyelamatkanmu. Dan aku... hanyalah wujud dari bunga ini." ujarnya menunjuk seikat bunga Higanbana ditangannya.
Air mataku sontak mengalir deras. Aku baru menyadari betapa besar pengorbanan Hekka untukku dan selama ini, aku telah begitu egois. "Jadi, selama ini Hekka berkata jujur..."
Gadis itu mengangguk. "Hekka sadar nyawa ayahnya sudah tak terselamatkan. Sementara masih ada kemungkinan dalam jantungku yang berdetak lemah. Maka dari itu, dia memilih menyelamatkanmu. Itu sudah cukup baginya, untuk melihat saudara tetap bernafas." ujar gadis itu.
Tangis penyesalan semakin pecah dari dalam diriku. "Pantas aja...! Pantas setelah kecelakaan itu, dokter bilang jantung Hekka hanya hidup sebagian--hiks!" Lututku melemah, merosot duduk di hadapan gadis Higanbana. "Semua pengobatan, semua cara telah kami lakukan. Tapi sia sia... Dokter mengatakan hidup Hekka bahkan takkan lama... Hiks! Kumohon, kumohon, kumohon! Adakah cara mengembalikan jantung ini pada Hekka??"
Gadis itu terdiam menatap dingin wajahku yang bercucur air mata. Tapi aku tak peduli. Ku raih gaun merahnya sambil berlutut sesenggukan hingga dia terguncang. "Sudah tujuh tahun...hiks! Sudah begitu lama Hekka terbaring sekarat di rumah sakit karena kondisi jantungnya! Jika dia sembuh, maka aku takkan meminta apapun lagi di hidup ini! Aku janji!" pintaku dengan suara bergetar hebat.
"Kembalikan jantung ini padanya...kumohon--hiks! Kembalikan!"
"KU MOHON!!!"
"..."
Menggema menusuk heningnya suasana, tenggorokanku terasa tercekik setelah berteriak sekuat tenaga. Gadis bergaun merah itupun berjongkok meraih tanganku yang menggelayuti gaunnya, tampak, guratan tipis senyum dia berikan sambil berbisik. "Tentu. Tapi itu bergantung pada seberapa kuat keinginanmu, dan niatmu..." Ujarnya membawaku berdiri. "Tidak ada yang menjamin keselamatanmu, termasuk aku." sambungnya lagi.
Aku lantas mengangguk tanpa sedikitpun keraguan.
"Baiklah" gadis itu mulai menyentuh dadaku dengan tangan dingin berkuku panjangnya, wajahnya berubah mengerikan dan atmosfer disekitar semakin mencekam seolah di siap merobek, mengambil jantungku keluar rongga dada. Aku namun menutup mata, tersenyum lega.
Bunga Higanbana.
Bunga yang melambangkan perpisahan dan kematian ini, konon katanya, juga melambangkan sebuah harapan.
"Kau tidak boleh menyesalinya, Gekka."
Tidak...
Tidak apa apa jika aku tidak bisa bertemu Hekka setelah ini. Tidak apa apa jika aku sebenarnya harus menghilang dari dunia ini. Ibu, maafkan aku harus pergi tanpa pamit. Aku...
"Menyayangi kalian berdua, Kak Hekka, ibu..."
Hekka pantas untuk hidup yang lebih lama.
***
Kamis, 28 Mei 2005, pukul 7 pagi, ruang rawat Rumah Sakit Distrik 3. Dunia terasa sunyi ketika mentari menyapa kelopak mataku yang terasa berat.
Entah sejak kapan aku terbaring tak sadarkan diri, tapi pandanganku langsung terpaku pada ujung ranjang, di mana sepasang kaki yang dulu ku kenali kini tak lagi ada pada tubuh ini. Aku hampir terguncang, namun kenyataan pahit itu perlahan meresap, tergantikan euforia saat sorotku menangkap sosok yang sangat kukenal. Hekka, berdiri tegak di samping jendela ruang rawat dengan tubuh yang bugar.
Siluetnya terukir jelas oleh cahaya pagi yang indah.
Apa keadaan sudah berubah? Hekka selamat? Begitu banyak pertanyaan berputar dalam kepalaku yang terasa kosong. Dan...
"Adik?!" Ketika tak sengaja dia menoleh, garis tegas wajah tampannya yang semula tampak putus asa, berubah dramatis hingga membuatku ingin tertawa.
"Jantungmu... Berdetak kan, kak?"
Aku berhasil.
(End)