Arana tinggal disebuah panti asuhan pinggiran kota. Hampir setiap bulan ada pendatang baru disana. Mereka adalah anak terlantar, korban bencana, kerusuhan, KDRT, bahkan perang.
Mereka datang dari berbagai penjuru dan tempat di berbagai belahan dunia. Setiap mereka membawa kisah yang berbeda. Kisah yang tak dapat dihapus oleh waktu dan terlupa oleh masa.
Cerita-cerita itu berpendar dan saling menghargai satu sama lain. Dirumah itu mereka mengenang, menguatkan, dan bersama melangkah menuju harapan.
"Tak peduli apa yang telah hilang. Apa yang kita miliki lebih dari cukup untuk membuat kita bahagia."
Hari itu seorang anak dikirim kesana.
"Selamat datang." Sambut mereka serempak. Anak baru itu terlihat tidak peduli. Dia langsung menyuruh ibu asrama, menunjukan jalan menuju kamarnya. Tapi ibu asrama menyempatkanya memperkenalkan diri.
"Ini Cihaya Widianto. Keluarga baru kita. Dia menderita sakit, untuk sementara dia akan dirawat disini."
"Anak-anak berangkatlah kesekolah, kalian bisa berkenalan lebih jauh nanti." Kata ibu pengasuh mereka.
"Baik!" Kata mereka. Mereka berhamburan keluar pagar. Tinggallah Cihaya sendirian diaula.
"Ayo, ibu antarkan keruang makan." Mereka memasuki ruang makan luas dengan dua meja makan panjang. Disana ada bangku yang disusun dikanan kiri meja.
"Ibu akan ambilkan sarapan." Kata beliau. Ibu asrama membawakan sebuah nampan yang berisi segelas susu dan roti selai.
Seperti biasa setiap hari Arana menulis apa yang mereka lakukan. Panti asuhan juga punya buku tebal, tempat mereka biasa menuliskan Cerita-cerita mereka.
Dia membuka lembar demi lembar.
Lembaran pertama berisi kisahnya saat masih bayi. Kisah itu tak lebih dari apa yang diceritakan ibu asrama.
Dilembaran itu, dia menulis apa yang ingin dia lakukan. Satu-satunya yang Arana ingin adalah menemukan kedua orang tuanya. Walaupun dia yakin apa mereka masih hidup atau sudah mati. Atau apa mereka menginginkanya atau tidak.
Suatu saat nanti, dia akan mencarinya dimanapun mereka berada.
Dia ingin bertemu mereka.
Saat dia mendengarkan orang lain bercerita tentang keluarga mereka. Saat mereka melihat teman-temanya memiliki orang tua. Saat dia menuliskan kisah-kisah mereka, dia merasa iri.
Tapi meskipun begitu, dia bersyukur. Punya teman yang menyayanginya layaknya saudara.
10 Februari,
Hari ini Murf menanggis. Dia diejek karna berkaca mata tebal. Padahal hampir semua orang memakai kacamata dikelas.
Aku heran, mengapa orang tega mengejek Murf. Entah karna dia tinggal dipanti asuhan, entah karna kutu buku, dan masih banyak hal lain.
Padahal mereka mengandalkan tugas-tugas mereka pada Murf. Tulis Arana.
Fara masuk dan melihat tempat tidur untuk Lusi telah diisi Cihaya.
"Apa enak, ya, diadopsi?" Tanyanya pada Alita. Alita mengangkat bahu.
"Aku sudah memintanya mengirim surat. Jadi kita tunggu saja." Jawabnya.
"Seandainya aku punya kartu dewasa, aku lebih memilih hidup bebas dari pada diadopsi." Kata Alita. Ayah dan ibunya sering sekali bertengkar, dia kabur dari rumah dan menolak saat orang tuanya datang menjemputnya.
"Padahal aku ingin mereka damai." Katanya sambil menanggis. Itu yang dia katakan saat pertama kali tiba disini.
Kiwil kecil dan Yuka datang.
"Selamat siang"
"Selamat siang."
"Ini makan siang Cihaya. Ibu koki
meminta kami mengantarkanya. Iya kan, Kiwil?"
"Iya." Katanya.
"Begitu, ya? Terimakasih." Jawab mereka. Dulu Yuka memiliki seorang adik. Dia berasal dari Vietnam. Saat perang antara liberal dan komunis berlangsung. Negara mereka hampir terpecah menjadi dua bagian.
Ayahnya dipaksa ikut wajib militer. Sedangkan dia dan ibunya mengungsi menjauh kepedalaman. Saat mendekati perbatasan, ibu dan adiknya meninggal. Karna itulah, dia sangat dekat dengan Kiwil.
Sore hari setelah mereka selsai menyiram bunga Cihaya datang dengan malu-malu. Dia sepertinya enggan bertemu dengan yang lain.
"Assalamualaikum"
"Waalaikum salam." Cihaya membawa sebuah nampan yang berisi pai lemon dan teh.
"Aku disuruh ibu asrama untuk membawa cemilan sore untuk kalian." Dia meletakan nampan itu dan kembali kedalam.
"Cihaya, tunggu! Ayo, duduk dan makan bersama." Cihaya tampak enggan tapi dia menurut.
"Apa cemilan kita sore ini?" Tanya Hera.
"Pai lemon!" Kata Fara.
"Aku suka sekali Pai lemon." Yuka membersihkan tanganya dan mengambil bagianya pertama kali.
"Aku ingat, aku pernah bertengkar dengan adikku karna Pai lemon. Entah mengapa aku ingin bertengkar lagi." Kata Yuka. Semua orang diasrama tau, adik Yuka sudah meninggal.
Semua yang menggigit kue itu merasa tidak nyaman. Mereka turut merasakan kesedihan Yuka.
Cihaya memandang mereka satu persatu. Ternyata tidak semua orang mengingat kenangan indah meskipun saat mereka memakan kue yang dia suka.
"Mungkin adikmu sekarang tersenyum karna senang kau tetap mengingatnya." Arana menatap ke langit, memperhatikan awan-awan yang tertiup angin.
Arana bahkan tidak ingat kenangannya sebelum dia berada dilantai asuhan. Tapi, meskipun begitu, dia merasa cukup bahagia dengan hidupnya yang sekarang.
Dia tidak punya ayah dan ibu, saudara, kerabat dan sanak keluarga. Satu-satunya keluarga yang dia punya adalah mereka yang ada diasrama itu.
"Kau benar. Aku bahkan ingin punya adik." Kata Hera. Mereka mencoba menenangkan Yuka yang sesenggukan.
"Dia selalu mengambil pai lemonku, dan ibu marah jika kami tidak saling berbagi." Yuka melanjutkan. Berpikir apapun yang dialami Yuka pasti berat sekali.
Murf datang dengan kacama dan buku ditangannya.
"Ceritalah terus, dan aku akan ambil kue kalian." Dia mendekati nampan dan mengambil kue itu
"Bukanya kau juga punya?" Murf mengangguk.
"Tapi, sudah habis."
"Padahal Yuka masih makan satu potong."
"Ma'af. Aku akan membacakan cerita untukmu. Tenanglah. Ini cerita yang bagus."
Dia membuka bukunya dan mencari cerita-cerita disana. Hari itu dia membacakan kisah seseorang yang diajarkan cara untuk memuji orang lain.
Tiba-tiba bel berdenging, sebuah surat baru saja memasuki kotak surat disana.
Mereka berlari mendekat, itu surat dari Lusi. Ini adalah hari tepat seminggu sejak dia diadopsi. Anak-anak asrama tidak sabar untuk membaca suratnya.