"Kau memang tak tahu diri, Gahuri!" Bentakan keras itu memecah keheningan pagi yang tenang, menggelegar di ruang tamu yang lantainya baru saja disapu. Gayatri tertegun, berdiri kaku di tengah ruangan. Gahuri menggenggam tangannya erat, seakan menggenggam harapan terakhir mereka.
"Aku datang dengan niat baik, Paman," suara Gahuri bergetar, namun nadanya tetap teguh. "Aku hanya ingin meminang Gayatri. Salahkah aku mencintainya?"
"Cinta? Cinta macam apa? Cinta tanpa restu itu hanya akan jadi petaka! Kau kira hidup hanya soal cinta? Aku tak akan biarkan anakku masuk ke dalam bara api!" Ayah Gayatri, Datuk Somad, menunjuk dengan ujung tongkatnya, seolah menghunjamkan kebencian ke dada Gahuri.
"Ayah, tolong dengarkan kami dulu," potong Gayatri, suaranya parau menahan air mata. Tapi tatapan dingin ayahnya seakan menutup setiap pintu pengertian. "Kami sudah lama bersama. Gahuri adalah lelaki yang baik, yang mau berjuang demi aku. Apa salahnya memberi kesempatan?"
"Cukup, Gayatri! Kau tak usah membela dia!" bentak Datuk Somad, matanya menyala-nyala. "Aku takkan menyerahkan darah keturunan kita pada keluarga tak jelas asal usulnya! Kau tahu, keluarga ini harus menikah dengan yang sepadan, bukan dengan lelaki tak punya harta dan kehormatan!"
Gahuri menggigit bibirnya. Harga dirinya terkoyak, tapi ia tak mundur.
"Aku datang bukan membawa kekayaan, Paman, tapi aku membawa niat baik dan ketulusan. Bukankah itu lebih penting?"
"Kau tidak akan mengerti, anak muda. Dunia tak dibangun dengan cinta dan ketulusan saja. Cinta tanpa restu hanyalah badai yang akan menghancurkan kapal kalian di tengah lautan," suara Datuk Somad merendah, tapi dinginnya menusuk seperti embun beku.
🌿🌿🌿
"Apa kau menyesal?" tanya Gayatri pelan, menatap aliran air yang tak henti mengalir.
Setelah perdebatan panas pagi itu, Gayatri dan Gahuri duduk di tepi sungai, tempat mereka biasa menghabiskan waktu bersama. Senja mulai turun, memerah di langit barat, seperti luka yang tak kunjung sembuh.
Gahuri menggeleng, lalu meraih tangan Gayatri. "Aku tak akan pernah menyesal mencintaimu. Tapi aku tak ingin kau terjepit antara aku dan keluargamu. Jika memang aku harus pergi, aku akan pergi. Tapi bukan karena aku berhenti mencintaimu."
Air mata Gayatri akhirnya jatuh, membasahi pipinya. "Aku tak peduli apa kata orang. Aku hanya ingin bersamamu, Gahuri. Apakah itu terlalu banyak untuk diminta?"
Gahuri terdiam. Ia tahu cinta mereka seperti burung yang terperangkap dalam sangkar emas—indah, tapi tanpa kebebasan. Namun, menyerah bukanlah pilihan yang mudah.
Di malam yang sunyi, Gahuri berdoa di bawah bulan purnama. Ia memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa. Dalam hatinya, ia percaya bahwa cinta yang tulus pasti akan menemukan jalannya, meski harus melalui rintangan yang tak terhitung.
Esok paginya, ia menemui Pak Taufik, seorang tetua kampung yang bijak dan dihormati. Gahuri menceritakan segala kegelisahannya, tentang cinta yang terhalang restu, dan tentang harapannya untuk bisa menikahi Gayatri.
Pak Taufik hanya tersenyum tipis. "Restu itu seperti air di daun talas, Gahuri. Kau tak bisa memaksanya menetap, tapi kau bisa menuntunnya perlahan agar menyerap ke dalam."
Gahuri tertegun mendengar kata-kata itu. "Apa maksud Paman?"
Pak Taufik menatapnya dalam-dalam. "Datuk Somad itu keras, tapi bukan berarti tak bisa dilunakkan. Kau harus sabar. Tunjukkan bahwa kau bisa menjadi menantu yang layak. Restu itu bukan sesuatu yang datang dalam semalam."
Beberapa hari kemudian, Gahuri kembali mendatangi rumah Gayatri. Ia datang seorang diri, tanpa membawa bunga atau hadiah, hanya membawa keberanian dan niat baik. Datuk Somad menatapnya dengan dingin, tapi Gahuri tak gentar.
"Aku tak akan menyerah, Paman. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan bahwa aku pantas menjadi bagian dari keluarga ini," ucap Gahuri dengan suara tegas.
Datuk Somad terdiam sejenak. Ada kilatan kagum di matanya, meski ia tak menunjukkannya secara terang-terangan. "Lihat saja nanti, Gahuri. Waktu yang akan membuktikan apakah kau sungguh pantas atau tidak."
🌿🌿🌿
Suatu pagi, ketika angin dingin bertiup dari pegunungan, Datuk Somad memanggil Gayatri dan Gahuri ke rumahnya. Wajahnya masih dingin, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya.
"Aku telah melihat usahamu, Gahuri. Kau bukanlah lelaki yang mudah menyerah," ucap Datuk Somad dengan nada datar. "Jika kau memang mencintai anakku, buktikan bahwa kau bisa menjaganya dengan baik. Aku tak bisa memberikan restu sepenuhnya, tapi aku juga tak akan menghalangimu lagi."
Mata Gayatri dan Gahuri berbinar. Meski restu itu datang dengan setengah hati, tapi itu sudah cukup bagi mereka untuk memulai kehidupan baru bersama.
Cinta Gayatri dan Gahuri akhirnya berlabuh pada sebuah pernikahan yang sederhana, tapi penuh makna. Mereka tahu, perjalanan hidup tak akan selalu mudah. Tapi mereka percaya bahwa cinta yang diperjuangkan dengan sabar dan tulus akan selalu menemukan jalannya.
Di balik kabut restu yang setengah hati, mereka belajar bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang datang dari luar, melainkan dari hati yang bersedia menerima dan memberi dengan ikhlas. Dan di sanalah cinta mereka bersemi—tenang, seperti air yang mengalir perlahan di sungai, menuju samudra harapan.
Tamat ~