Aku berlari, napasku tersengal, tubuhku bergerak cepat menembus kerumunan orang di taman itu.
Daun-daun pohon maple yang jatuh berguguran tersapu angin di sekitarku.
Mataku melirik ke belakang, memastikan apakah dia masih mengikutiku.
Dan benar saja, dia masih mengejarku, tetap anggun meski tengah berlari.
Gaun panjang berwarna gading yang dikenakannya berkibar-kibar tertiup angin, sementara tangannya erat memegangi ujung gaun itu agar tidak terinjak.
Satu pria bertubuh kekar juga berusaha mengejarku.
Dia terlihat seperti pengawal—dengan tubuh tinggi tegap dan setelan hitam yang rapi.
Namun, entah bagaimana, aku berhasil lebih cepat.
Kaki mereka berat, tak secepat diriku yang lincah menerobos setiap sudut taman.
Dalam beberapa detik, mereka menghilang dari pandanganku, kalah oleh rute yang aku pilih dengan cerdik.
Tapi dia, gadis itu, tak menyerah.
Dengan wajah sedikit kemerahan karena lelah, matanya tetap tertuju padaku.
Aku terus berlari, meski setengah hatiku ingin berhenti.
Setiap langkahnya terdengar semakin dekat, sementara aku berusaha mengendalikan perasaanku yang perlahan bercampur antara kebingungan dan keakraban.
Aku tak mengerti apa yang terjadi, mengapa aku harus dikejar, atau mengapa aku berlari dari seseorang yang—entah bagaimana—tampak tak asing.
Tiba-tiba, aku berhenti di depan danau kecil di ujung taman.
Permukaan airnya tenang, memantulkan warna jingga dari langit sore yang perlahan berubah ungu.
Aku membalikkan badan, melihat gadis itu berhenti beberapa meter dariku.
Napasnya terengah-engah, namun senyum kecil muncul di sudut bibirnya.
Dia terlihat menahan tawa, meski raut wajahnya menunjukkan rasa lelah.
Kedua tangannya masih memegang gaunnya agar tidak terinjak.
"Hahaha!" Aku tertawa terbahak-bahak, menatap wajahnya yang kini mulai memerah karena kelelahan. "Kamu sih, pakai gaun buat lari-larian!"
Dia berhenti beberapa langkah di depanku, matanya berkilat marah, dan bibirnya membentuk cemberut.
Tampaknya aku telah melukai egonya, meski dalam situasi ini, aku tidak bisa berhenti tertawa.
Perasaan hangat menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku tidak tahu mengapa, tapi aku merasa senang membuatnya kesal.
"Aku tidak punya pilihan!" dia membalas dengan ketus, suaranya terdengar sedikit terengah-engah. "Aku takkan membiarkanmu pergi begitu saja!"
Dia memutar tubuhnya, bersiap pergi.
Namun, tanpa berpikir, aku bergerak cepat.
Tangan-tanganku melingkari pinggangnya dari belakang, menariknya ke dalam pelukanku.
Langkahnya terhenti seketika, tubuhnya terasa hangat di bawah lenganku yang sedikit gemetar.
Aku tertawa lagi, lebih pelan kali ini, dan dia pun mulai tertawa.
Suaranya yang lembut dan ringan menggema di udara yang dingin.
Rasanya aneh, namun sekaligus begitu akrab—seolah kami sudah mengenal satu sama lain sejak lama.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan suara yang lebih lembut, namun tak menghilangkan nada kesal dalam ucapannya.
"Kamu tahu," kataku, sambil tersenyum di telinganya, "Aku hanya ingin membuatmu tertawa."
Dia menoleh sedikit, cukup untuk menatapku dari sudut matanya.
Wajah kami begitu dekat, hanya beberapa inci saja yang memisahkan.
Dalam sekejap, dunia seakan berhenti.
Tidak ada lagi suara langkah kaki penjaga yang mengejar, tidak ada lagi deru kereta kuda di jalan.
Hanya ada kami berdua, di bawah langit kelabu yang mendung, di tengah keramaian yang entah mengapa terasa begitu sunyi.
Aku tidak bisa menjelaskan perasaan yang mengalir di dalam dadaku.
Saat aku memeluknya, semua terasa tepat—seolah itulah yang seharusnya kulakukan.
Seolah, dalam hidup ini, hanya ada satu tujuan yang sebenarnya: untuk berlari dan akhirnya, menemukan dia.
Dia berbalik perlahan dalam pelukanku, melepaskan diri sedikit, hanya untuk menatap wajahku lebih jelas.
Matanya biru jernih, seperti lautan yang tenang di bawah cahaya bulan.
Dia tersenyum kecil, sebuah senyum yang nyaris tidak terlihat, tapi cukup untuk membuatku merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar tawa.
"Aku tidak tahu mengapa kamu lari," katanya pelan, "tapi, aku tidak akan membiarkanmu pergi."
Kata-katanya menggantung di udara, membuat dadaku sesak.
Apa yang dia maksud?
Aku menatap wajahnya lebih dekat, mencoba mencari jawaban di balik matanya yang jernih.
Ada sesuatu di sana, sebuah perasaan yang sulit kujelaskan.
"Aku tidak berlari darimu," kataku akhirnya, meski aku sendiri tidak yakin apakah kata-kata itu benar. "Aku berlari menuju kamu."
Dia mengerutkan kening, lalu tertawa kecil. "Kamu aneh," katanya, tapi kali ini suaranya terdengar hangat, seperti seseorang yang menemukan hal yang lucu dan menyenangkan dalam situasi yang sulit.
Kami tertawa bersama, dalam dekapan singkat di tengah jalan.
Dunia terasa jauh lebih ringan, seolah semua beban hilang begitu saja.
Waktu tidak lagi berarti.
Hanya ada kami berdua, tertawa, seolah tidak ada yang lebih penting daripada momen ini.
Setelah beberapa saat, dia menarik diri dariku, sedikit memutar tubuhnya sambil merapikan gaunnya yang berantakan.
"Lain kali, aku akan mengenakan sesuatu yang lebih nyaman untuk lari," katanya, setengah bercanda.
Matanya berkilat usil, namun ada kehangatan yang tersisa di sana.
"Kamu tidak perlu mengejarku lagi," jawabku dengan senyum yang masih belum hilang. "Aku takkan pergi ke mana-mana."
Namun, sebelum aku bisa mengatakan lebih banyak, penjaga pribadinya tiba, napasnya terengah-engah.
"Nona," katanya, sambil menatapku dengan curiga. "Apakah Anda baik-baik saja?"
Dia hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa, lalu menatapku sekali lagi sebelum berbalik dan mulai berjalan pergi.
Aku berdiri di sana, menyaksikan dia menjauh, sosoknya semakin kecil di antara keramaian yang mulai kembali sibuk.
Sesuatu dalam diriku merasa hampa, seolah-olah ada sesuatu yang hilang ketika dia pergi.
Aku ingin memanggilnya, ingin mengejarnya, tapi tubuhku tidak bergerak.
Ada sesuatu yang menghalangi. Aku hanya bisa berdiri di sana, menatap punggungnya yang semakin jauh.
Rasanya aneh—aku merasa seolah telah mengenalnya, lebih dalam dari apa yang bisa dijelaskan, meskipun pada kenyataannya, aku tidak tahu siapa dia, mengapa dia mengejarku, atau mengapa aku merasa begitu terhubung dengannya.
Dan saat itu juga, segalanya menjadi kabur. Cahaya mulai memudar, dan taman yang tadi dipenuhi suara dan kehidupan terasa seperti tersapu oleh kekosongan. Aku merasa ada sesuatu yang hilang, perasaan kehilangan yang begitu mendalam hingga terasa menyakitkan, meski aku tak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya hilang.
Lalu, sekejap kemudian, aku terbangun.
Aku terbangun dengan keringat dingin membasahi dahiku.
Matahari pagi menembus jendela kamar, memberikan cahaya hangat yang seharusnya membuatku merasa tenang, tapi perasaan hampa yang tiba-tiba menghampiriku tak bisa diabaikan.
Rasa rindu yang tak bisa dijelaskan memenuhi dadaku, membingungkan dan menghantui.
Gadis itu.
Wajahnya, suaranya, bahkan tawa lembutnya—semua masih begitu jelas di pikiranku, seperti bayangan yang tak ingin pergi.
Aku merasa seolah baru saja kehilangannya, padahal aku bahkan tidak tahu siapa dia.
Bagaimana mungkin aku merindukan seseorang yang hanya hadir dalam mimpi?
Aku duduk di atas ranjang, mencoba menenangkan diri, meski pikiranku terus berputar-putar, mencoba mengingat setiap detail dari mimpiku.
Gaunnya yang panjang, senyumnya yang manis, caranya berlari mengejarku di taman itu—semuanya terasa begitu nyata, terlalu nyata untuk sekadar disebut mimpi.
Aku menghela napas, menundukkan kepala, berusaha menghilangkan perasaan aneh ini.
Tapi rindu itu semakin kuat.
Aku merasa seperti... rasa kehilangan yang dalam, seperti ada sesuatu yang penting yang terlepas dariku tanpa aku sadari.
Aku menggenggam erat seprai di bawah tanganku, berharap ini hanyalah sisa-sisa dari mimpiku, bahwa perasaan ini akan memudar seiring waktu.
Namun perasaan itu terlalu kuat, terlalu nyata untuk dilupakan begitu saja.
Dan seiring berjalannya waktu, aku merasa semakin tersesat dalam pikiran-pikiranku sendiri, mencoba mencari tahu siapa gadis itu sebenarnya dan mengapa dia begitu penting bagiku.
Setiap kali aku menutup mata, bayangannya muncul lagi.
Gaun putihnya berkibar dalam angin, tawa lembutnya terngiang di telingaku, dan rasa hangat ketika aku memeluknya dari belakang.
Aku tidak bisa menghilangkan gambaran itu, seakan-akan ada bagian dari diriku yang ingin kembali ke taman itu, ke saat-saat ketika kami tertawa bersama, ketika segalanya terasa begitu sempurna.
Mungkin aku tidak akan pernah tahu siapa dia.
Mungkin dia hanya sekadar mimpi.
Tapi perasaan itu, perasaan yang dia tinggalkan di hatiku, akan selalu ada.
Gadis yang tidak pernah kutemui di dunia nyata, tapi membuatku merindukannya seolah-olah dia adalah bagian dari hidupku yang hilang.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba melepaskan rasa rindu yang perlahan membelenggu diriku.
Tapi itu sulit.
Bahkan saat matahari semakin tinggi, dan hari mulai berjalan seperti biasa, aku masih merasakan kehadirannya.
Rasa rindu itu tetap ada, tak tergantikan, seperti bayang-bayang dari masa lalu yang tidak pernah ada.