Di ujung desa yang tak terjamah, berdiri rumah tua yang menantang waktu. Dindingnya rapuh, tertutup lumut seperti luka yang telah lama membusuk, menyimpan kisah kelam yang enggan diungkap. Setiap malam, kabut tebal turun, merayap pelan dari kaki bukit, menyelimuti rumah itu dengan bisikan-bisikan yang merayap di telinga, memanggil siapa saja yang berani mendekat.
Langkahku terhenti di depan pintu kayu yang hampir terlepas, berderit seperti rintihan jiwa yang terperangkap. Dingin menyusup hingga ke tulang, bukan hanya karena angin malam, tapi karena kehadiran yang tak terlihat, namun begitu terasa. Hawa itu, seperti tatapan mata yang mengawasi, tajam namun tak kasat mata, menyelinap di sela-sela nafasku yang semakin berat.
Saat aku melangkah masuk, lantai kayu di bawahku merintih pelan, seolah memberi isyarat untuk berbalik dan pergi. Tapi sesuatu di sana—entah apa—menahanku, seperti benang tipis yang tak terlihat, namun begitu kuat menjerat.
Di ruang tengah, tergantung sebuah cermin tua, retak di setiap sudutnya. Debu yang menempel pada bingkainya seperti abu dari cerita lama yang tak kunjung hilang. Ketika kutatap pantulan di cermin itu, bukan hanya wajahku yang terlihat. Ada bayangan lain, samar, tersenyum tipis, seperti mimpi buruk yang mewujud dalam bentuk nyata. Wajah pucat itu berbisik, suaranya seperti desah angin yang menyayat malam.
"Selamat datang...," suara itu menyeruak dari bayangan di cermin. Seperti angin yang datang tiba-tiba, mengiris pelan sanubari.
Jantungku berdegup, keras, hampir seirama dengan desau angin yang mengelilingi rumah itu. Di sudut ruangan, tampak pintu lain, lebih tua, lebih suram, dan di belakangnya terdengar suara-suara yang menggigilkan bulu kuduk—suara tangis yang tenggelam dalam luka lama, bercampur dengan tawa kecil yang tidak semestinya.
Aku melangkah, entah kenapa, seolah di setiap langkahku, ada kekuatan tak kasat mata yang mendorong, memaksaku menuju pintu itu. Ketika kupegang gagangnya yang dingin, bau anyir menyeruak, seperti darah yang belum kering dari masa lalu.
Saat pintu itu terbuka, aku melihat mereka. Bayangan-bayangan yang duduk di lantai, kepala tertunduk, dengan wajah yang tak lagi dikenali sebagai manusia. Mereka, sosok-sosok yang terperangkap dalam rumah ini, terkubur dalam waktu dan dosa, menatapku dengan mata kosong, mata yang pernah hidup namun kini hanya kenangan dalam gelap.
Salah satu dari mereka mengangkat kepala, wajahnya seperti kain lusuh yang pernah menangis. Bibirnya bergerak tanpa suara, tapi di kepalaku, terdengar jelas, dingin dan menakutkan, "Selamat datang, kau akan tinggal di sini... selamanya."
Aku mundur, mencoba berlari, namun langkahku tersangkut, seolah terikat pada rumah ini. Kabut semakin tebal, menyusup ke setiap sudut, menelan cahaya dan harapan. Rumah itu, yang dahulu hanya bayangan, kini menjadi kenyataan yang tak bisa kuhindari.
Di sinilah aku terjebak, di antara kabut dan bayangan, menjadi bagian dari cerita yang tak pernah selesai. Dan setiap malam, suara-suara itu bergema, menyambut siapa pun yang berani datang, memberi mereka peringatan terakhir sebelum mereka terperangkap dalam sunyi yang abadi.