Di bawah pohon kenanga tua di pinggir desa, aku duduk termenung. Angin semilir mengelus pipiku pelan, seperti sapaan lembut dari masa lalu yang tak pernah benar-benar usai. Harum kenanga menguar, mengingatkanku pada setiap kenangan yang tertinggal di antara daun-daun yang berguguran. Pohon ini adalah saksi, menyimpan rahasia setiap bisik yang pernah kuucap, setiap senyum yang pernah tertawa.
Aku dan dia, dahulu sering datang ke sini. Duduk berdua tanpa perlu banyak kata, menikmati sunyi yang terasa manis dan menenangkan. Dia, lelaki yang datang seperti senja, mengubah segala warna dalam hidupku, sebelum akhirnya tenggelam, hilang tanpa pernah kembali.
Hari itu adalah pertemuan terakhir kami. Senja berwarna jingga keemasan, dan angin berdesir pelan, seolah ingin menyampaikan pesan yang tak sempat terucap. Kami duduk berdua di bawah pohon kenanga ini, tanpa banyak bicara. Matanya berbicara lebih banyak daripada bibirnya, penuh arti yang tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Hanya senyum yang tipis, namun begitu menenangkan.
“Aku harus pergi,” katanya, suaranya hampir tenggelam dalam deru angin.
Aku diam, tak mampu menjawab. Mencoba menyerap setiap detik terakhir bersamanya, menyimpan bayangan senyumnya, nada suaranya, bahkan aroma tubuhnya yang selalu membuatku merasa pulang.
“Aku tidak akan pergi jauh. Pohon kenanga ini akan tetap menjadi rumah kita, di mana pun aku berada,” lanjutnya dengan senyum yang menenangkan, seolah perpisahan hanyalah persinggahan singkat. Namun aku tahu, ada kepergian yang tak pernah kembali. Seperti senja yang tak pernah sama setiap harinya.
Setelah dia pergi, aku datang ke sini setiap hari. Menghitung daun yang jatuh, seolah setiap daun menyimpan jejak langkahnya. Hujan datang, angin berlalu, dan pohon kenanga tetap tegak berdiri, menyimpan cerita kami yang tertinggal dalam sunyi.
Hari ini, aku kembali. Menyentuh batang pohon kenanga yang kokoh, mencoba merasakan detak yang pernah ada. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang bercampur dengan harum kenanga. Setiap tetes yang jatuh dari daun terasa seperti bisikan lembut, membawa kembali suaranya yang perlahan pudar dalam ingatanku.
Malam hampir tiba. Angin berhembus, membuat daun kenanga berguguran perlahan, seolah merayakan perpisahan yang tak pernah kuterima sepenuhnya. Aku menutup mata, membiarkan aroma kenanga membawa semua kenangan yang pernah ada.
Dalam hatiku, dia tetap hidup, terukir di bawah bayangan pohon kenanga. Pohon tua ini, yang kini hanya ditemani bisikan angin dan guguran daun, menjadi tempat di mana aku bisa selalu pulang, meski ia tak pernah benar-benar ada di sisiku lagi.
Di bawah bayang pohon kenanga, aku dan dia akan selalu ada, terjebak dalam waktu yang diam, dalam pertemuan yang tak pernah benar-benar berakhir.