Senja sore itu berwarna jingga temaram, merambat pelan menyelimuti langit, menyisakan siluet dedaunan yang berdansa tertiup angin. Di bawah pohon tua di pinggir danau, aku duduk sendiri, menggenggam selembar foto yang kini kusam, foto kita. Ingatan tentangmu datang tanpa diminta, menari-nari dalam kepalaku seperti bayangan yang tak pernah usai.
"Apa kabar kau di sana?" bisikku pada angin yang lewat, berharap ia bisa membawakan pesan ini kepadamu, di tempat yang tak kutahu.
Di danau ini, dahulu kau dan aku sering menghabiskan waktu. Kita berbicara tentang mimpi, menertawakan hal-hal kecil, dan berjanji, janji yang selalu terasa abadi. Namun, siapa sangka, takdir lebih cepat merampas kebersamaan kita daripada yang kita kira.
"Senja adalah waktuku dan waktumu," kau pernah berkata suatu sore, matamu menatap cakrawala, penuh misteri dan keindahan. Kau bilang senja adalah ruang di mana kita bisa membiarkan semua rasa tertumpah, tanpa perlu ditahan. Dan aku, selalu percaya pada kata-katamu, menjadikannya mantra yang kutemukan dalam setiap warna senja.
Kini, ketika senja hadir tanpa dirimu di sini, rasanya seperti ada bagian diriku yang tergores tajam. Mimpi-mimpi kita terasa seperti kepingan kaca yang berserakan, meninggalkan jejak yang tak kasatmata namun menyakitkan. Betapa ingin aku menyentuhmu sekali lagi, menggenggam tanganmu, dan berbicara tanpa kata-kata. Namun aku tahu, semua itu telah menjadi sebuah keinginan yang mustahil.
Aku menarik napas panjang, mencoba mengisi kekosongan ini dengan aroma danau yang menenangkan. Di atas permukaan air, bayanganku terpantul samar-samar, seolah berkata, "Lepaskanlah." Tapi bagaimana mungkin aku bisa melepaskan seseorang yang telah menyatu dalam setiap jengkal ruang hatiku?
Tetes-tetes air mata mulai membasahi pipiku. Aku tak menghapusnya. Biarlah. Ini adalah cara terakhirku untuk menghormati kenangan, cara terakhirku untuk merasakan hadirmu.
Seorang anak kecil tiba-tiba muncul, bermain di dekat danau. Dia memungut kerikil dan melemparkannya ke air, menciptakan riak-riak kecil yang menyebar, hilang perlahan seiring waktu. Aku tersenyum melihatnya, mengenang masa kecil kita yang begitu murni, tak ternodai beban dunia.
Seperti riak di danau ini, kenangan tentangmu mungkin akan pudar perlahan, tapi jejaknya akan selalu ada. Aku tak lagi bisa menggenggammu, tak lagi bisa berbicara denganmu, tapi cinta yang pernah kita bagi akan selalu mengendap di dasar hatiku, seperti riak yang tak pernah benar-benar hilang.
Senja mulai memudar, meninggalkan jejak keemasan di cakrawala. Aku berdiri, melepaskan selembar foto kita ke angin yang berhembus. Dalam hati, aku berbisik, "Pergilah dengan damai. Kau selalu ada di sini, di hatiku, dalam setiap senja yang hadir."
Malam datang menyelimuti, dan aku berjalan pulang, meninggalkan senja di belakang, membawa kenanganmu dalam setiap langkahku.