Hujan itu tak pernah benar-benar berhenti. Setiap kali, seperti ada sesuatu di langit yang belum usai diungkapkan. Begitu pula perasaanku, yang menggumpal seperti mendung, tak pernah menemukan ujung ceritanya.
Aku duduk di sebuah bangku kayu di depan rumah, memperhatikan air yang mengalir deras di jalan setapak. Suara rintik hujan memecah keheningan, tapi di dalam dadaku, keheningan itu lebih terasa mencekam. Semua orang mungkin melihat ini hanya sebagai hujan biasa, tapi bagiku, hujan ini adalah tanda perpisahan.
Dua bulan lalu, dunia di sekelilingku berubah. Aku kehilangan "Dia", Orang paling spesial di hidupku. Kepergiannya begitu mendadak, seperti potongan mimpi buruk yang terus menghantui. Kanker ganas merenggutnya, pelan tapi pasti, hingga satu hari, "Dia" tak lagi membuka matanya.
"Dia" adalah segala-galanya bagiku. "Dia" yang selalu mengisi hidupku dengan tawa dan cerita. Saat aku merasa kehilangan arah, "Dia" yang menarikku kembali, mengingatkanku bahwa dunia ini, meskipun penuh luka, masih bisa menjadi tempat yang indah. Tapi, setelah kepergiannya, segalanya terasa kosong. Bahkan tawa yang dulu kami bagi, kini hanya terdengar samar, seolah terjebak di balik kabut tebal yang tak mau pergi.
Hari sebelum "Dia" pergi adalah hari yang tak bisa kulupakan. Di rumah sakit, dengan tubuhnya yang kurus dan wajah pucat, "Dia" masih berusaha tersenyum. "Hidup ini seperti hujan," katanya sambil menatap jendela yang berembun. "Kadang deras, kadang rintik. Tapi pada akhirnya, hujan selalu berhenti, kan? Dan setelah itu, biasanya ada pelangi."
Aku hanya tersenyum kecil kala itu, meski hatiku tercekat. "Dia" selalu mencoba menguatkanku, padahal aku tahu, "D" juga tengah berjuang melawan sakitnya. Namun, entah mengapa, aku tidak pernah benar-benar siap untuk perpisahan ini.
Kini, setiap hujan turun, aku hanya bisa terdiam. Setiap tetesnya mengingatkanku pada kata-katanya, pada janji pelangi yang tak pernah muncul di cakrawala hidupku. Mungkin benar, hujan suatu saat akan berhenti. Tapi perasaanku? Entah kapan akan reda.
Suatu sore, setelah seminggu hujan tak kunjung mereda, aku memutuskan untuk pergi ke tempat di mana kami sering duduk bersama. Di taman kecil di tepi kota, tempat favoritnya. "Dia" selalu bilang, "Di sini, kita bisa berbicara dengan angin."
Aku duduk di bangku itu, memejamkan mata, mencoba merasakan kehadirannya. Namun, yang kudapatkan hanya angin dingin yang menyapa wajahku, dan rintik hujan yang mulai merayapi pipiku.
"Hei," bisikku perlahan, "aku merindukanmu."
Tak ada jawaban, hanya hening. Tapi di dalam hening itu, tiba-tiba terlintas dalam benakku potongan-potongan kenangan. Tawa kami yang menggema di taman ini, cerita-cerita bodoh yang sering kami bicarakan. Aku mencoba mengingat kembali wajahnya, senyum manisnya, dan matanya yang selalu menyiratkan kekuatan.
"kamu tahu?" "Dia" pernah berkata sambil menatap langit yang mendung, "Kalau suatu hari aku pergi duluan, jangan terlalu lama bersedih. Karena aku akan selalu ada di sini, di mana pun kamu butuh aku."
Air mata yang tak bisa kubendung lagi akhirnya jatuh. Aku tidak pernah ingin percaya bahwa Dia sudah pergi. Aku tidak pernah ingin menerima kenyataan bahwa "Dia" telah meninggalkanku, sendirian dengan semua kenangan.
Namun, di balik kesedihan yang mengungkungku, aku tahu, aku tidak bisa terus-terusan hidup di dalam bayangan kehilangan. "Dia" tidak akan pernah kembali, tapi kenangan tentangnya akan selalu menjadi bagian dari diriku. "Dia" mungkin sudah tidak ada di sampingku, tapi aku percaya, di suatu tempat, "Dia" tengah tersenyum, melihatku mencoba bangkit dari kesedihanku.
Hujan masih turun deras ketika aku memutuskan untuk berdiri. Meski belum ada pelangi di langit, aku yakin suatu saat akan ada. Karena "Dia" benar, hidup ini seperti hujan. Dan meski hujan tak selalu berhenti dengan cepat, aku percaya, suatu hari aku akan melihat pelangi yang dijanjikan.
Dengan langkah perlahan, aku meninggalkan taman itu. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Hujan yang dulu terasa menyesakkan, kini terasa seperti ucapan selamat tinggal yang lembut—ucapan selamat tinggal dari seseorang yang akan selalu hidup dalam kenangan.
Aku tidak tahu kapan kesedihan ini akan benar-benar hilang. Tapi satu hal yang pasti, aku akan mencoba hidup kembali, seperti yang "Dia" inginkan.
Dan saat hujan akhirnya benar-benar berhenti, aku akan menatap langit dengan senyum, menunggu pelangi yang ia janjikan.