"Bagaimana kalau nanti sore kita ke mall?" Tanya seorang anak pada orang yang disampingnya. Anak-anak SMP Cendana putih baru saja pulang sekolah. Mereka berhamburan dari gerbang sekolah menuju halte didekat zebra Cros didepan.
"Ini dipertengahan bulan. Walaupun kita kesana tidak ada banyak diskon." Kata seorang yang lain.
"Bagaimana kalau kerestauran didekat sini? Aku punya beberapa brosur, yang 'All you can eat' juga ada. Bagaimana?"
"Kedengarannya itu lebih baik." Fahara begitu terburu-buru hingga menabrak seseorang.
"Ma'af." Katanya lirih. Dia telah menyenggol bahu seseorang dan membuat jus yang dipegang orang itu tumpah.
"Aaaa...h, Aduh, bajuku jadi kotor. Kamu jalan mata kemana, sih!" Fahara terdiam. Dia memang tidak memperhatikan jalan.
"Pergi sana!" Kata Fahara kemudian. Anak itu segera menunggu dihalte. Sepanjang perjalanan dia menatap jendela dengan pandangan kosong. Rumah, ruko, toko, pohon dan bunga-bunga semuanya berlalu begitu saja dari kaca jendela.
Setengah jam kemudian dia telah berada di didapur sebuah toko kue.
"Ambilkan gula!" Perintah seseorang.
"Tekan yang benar. Pastikan semuanya Kalis."
Dua jam kemudia Fahara mengunjungi sebuah cafe.
"Kamu agak terlambat, tapi sudahlah cepat kebelakang." Fahara melihat segunung piring dan peralatan lain yang memenuhi bak cuci. Dia juga harus mengantarkan beberapa pesanan karna mereka kekurangan waiters.
"Ma'af." katanya.
Dia baru pulang kerumah saat hari hampir magrib.
"Assalamualaikum." Salam Fahara.
"Wa'alaikum salam!" Ibu Fahara membuka pintu. Dia menatap putrinya, dengan perasaan sedih. Tidak seharusnya anak SMP bekerja. Apa lagi sampai harus pulau menjelang maghrib.
Fahara hanya tinggal bertiga, ibunya dan seorang adik laki-laki kelas tiga SD.
"Jangan tidur dulu, kerjakan prmu. Bangun-bangun."
"Aku ngantuk, Bu." Katanya pelan. Ibunya kembali sedih. Pasti tadi siang dia capek sekali. Terkadang ibunya berpikir, seandainya saja suaminya masih hidup.
Ayah Fahara adalah seorang TNI yang meninggal saat ditugaskan menuntaskan pemberontakan. Kini begitulah kehidupan mereka. Ibu Fahara berjualan dan dia pun harus bekerja keras membiayai sekolahnya.
Setiap pagi tiba, Fahara merasa berat. Dia membuka mata dan membayangkan apa yang akan dia lakukan hari ini.
"Fahara cepat mandi, jangan melongo terus. Itu jam tak pernah berhenti." Kata Ibunya.
Dia melangkah dengan berat.
"Baiklah." Setengah jam kemudian,
"Ibu, aku pergi."
"Ya. Hati-hati. Ingat jangan menganggu siapapun."
"Baik!" Katanya dari kejauhan.
"Ya Allah, Aku tidak bisa melindungi dan menafkahinya. Berkenalan kiranya kau menuntunya untuk selalu berada dijalan yang benar. Dan membiarkan semua keinginannya terkabul." Dia sang ibu sambil menggoreng mendoan.
Hari ini, Tidak semudah hari yang biasanya.
Anak kelas sebelah mengganggunya. Dia dipaksa mengerjakan pr mereka. Fahara berwajah lembut dan sendu, tapi tidak begitu baik dalam kesabaran.
"Baik. Akanku siapkan." Katanya.
Dari pada mereka terus-terusan menarik rambut dan pakaianku.
"Akan aku kerjakan." Dia bergumam pelan. Setelah mereka pergi ke kantin. Fahara meninggalkan buku buku mereka dan melemparnya kebalik pagar.
"Jangan mencariku. Lebih baik cari bukumu." Kata Fahara pada buku-buku itu.
Rupanya kejadian itu membuat mereka kesal.
Saat keluar dari aula dan menuju halaman, dia hampir dijatuhi pot bunga. Dia menghindar. Tapi guru mereka yang kebetulan akan masuk terkena hantaman keras yang membuat kepalanya harus diobati.
Karna kejadian itu, anak-anak itu diskors.
Seperti biasanya Fahara harus bekerja sepulang sekolah. Dia segera menuju toko roti dan menyelsaikan bagianya. Mencampur adonan hingga kalis.
Hari ini, Fahara merasa sangat letih. Semalam dia kurang tidur. Dan cuaca sangat panas.
Matanya berkunang-kunang saat dia melewati trotoar. Nyaris membuatnya tertabrak.
Malam itu, Fahara tidur lebih dulu bahkan sebelum sempat makan malam.
"Aku akan bangun nanti malam." Katanya.
Dia menghitung berapa pr yang harus dikerjakanya malam itu sambil menunggu mimpinya datang. Dia teringat ayahnya saat membelikannya kue ulang tahun, pemakaman, dan adiknya yang masih digendong hari itu.
Dia juga ingat buku yang dia buang dan pot bunga yang menimpa gurunya. Bukan itu saja, dia juga memikirkan bagaimana dia akan menghadapi ulangan besok. Kepalanya tak bisa berhenti berpikir.
Akhirnya dia terbangun.
"Baru jam sepuluh malam. Apa aku tidur terlalu cepat."
Dia memijit kepalanya dan mencari-cari buku dimeja belajarnya. Gerakannya terhenti. Dia mendengar suara lirih dari seberang.
Itu suara ibunya.
"Ibu menangis."
"Tidak mungkin." Pikirnya dalam hati.
"Setauku biasanya dia merepet terus." Dia mendekati kamar ibunya. Tidak dikunci. Tak sopan jika langsung masuk. Jadi dia menunggu dibalik pintu.
Dia terkejut. Ibunya benar-benar menangis. Ini mungkin karena adiknya. Dia bergegas kekamar adiknya. Namun, ibunya kembali terdengar.
"Ibunya semakin meringis.
Aku tidak bisa melindunginya. Karna itu lindungilah dia, ya Allah. Sertakanlah do'aku disetiap langkahnya. Fahara terlalu baik pada kami berdua."
Fahara terduduk. Dia menangis mendengar suara lirih ibunya. Dia berlari kekamarnya begitu namanya disebut. Buku tulisnya basah oleh air mata.
Dia bertekad agar suatu hari kelak bisa melakukan semua kesibukanya untuk menolong orang-orang seperti dirinya. Tidak untuk menghasilkan uang atau untuk bertahan hidup.