Di sebuah kota kecil yang tenang, hiduplah seorang pemuda bernama Darto. Darto adalah seorang penjual kerupuk udang keliling. Setiap pagi, dia mengayuh sepedanya yang tua berderit, melewati gang-gang sempit, menebar aroma kerupuk yang digoreng garing di udara. Sejak kecil, Darto sudah terobsesi dengan kerupuk udang. Bagi Darto, kerupuk udang bukan sekadar camilan, tapi seni.
Namun, ada satu hal yang membuat hidup Darto menjadi rumit: ibu kosnya, Bu Asih. Wanita paruh baya itu selalu murung ketika Darto membawa pulang kerupuk ke rumah kosnya. Bau udang yang menyengat membuatnya mual, apalagi ketika kerupuk itu di goreng di dapur umum. Bu Asih sering menggerutu, “Darto, kalau kamu bawa kerupuk lagi, aku bakal sewa satu kipas angin gede buat ngusir baunya!”
Darto cuma bisa meringis. Meski begitu, kerupuk udang adalah sumber nafkahnya. Dia tak bisa begitu saja melepaskan hidupnya yang sudah bergantung pada renyahnya camilan itu.
Suatu hari, nasib Darto berubah ketika ia mendapat kabar bahwa di kampung sebelah akan diadakan Festival Kerupuk Udang Nasional. Hadiah utamanya tak main-main: uang tunai sepuluh juta rupiah dan kontrak eksklusif untuk memasok kerupuk ke beberapa restoran terkenal di Jakarta. Darto pun memutuskan untuk ikut serta. Dengan penuh semangat, ia mulai mempersiapkan resep kerupuk udang rahasianya yang sudah diwariskan turun-temurun.
Namun, masalah muncul ketika Darto menyadari bahwa stok udang di pasar sangat menipis. Ia berkeliling dari satu lapak ke lapak lainnya, tapi udang yang tersedia tak cukup segar untuk dijadikan bahan kerupuk berkualitas tinggi.
"Kalau udangnya aja udah jelek, gimana kerupuknya?" gerutu Darto dalam hati.
Saat ia duduk termenung di sebuah warung kopi, tiba-tiba seorang pria misterius duduk di sampingnya. Pria itu mengenakan jaket kulit hitam dan kacamata gelap, padahal cuaca sedang mendung.
"Dengar-dengar, kamu lagi butuh udang segar, ya?" tanya pria itu sambil menyesap kopi.
Darto mengernyit, heran dari mana orang ini tahu urusannya. “Iya, tapi kamu siapa?” tanya Darto dengan waspada.
Pria itu mengeluarkan kartu nama bertuliskan: Udang Segar Pak Tarjo – Langsung dari Laut, Dijamin Renyah!
Darto melotot. Bagaimana mungkin ada yang menjamin "renyah" dari udang yang belum jadi kerupuk?
"Udang ini bukan udang biasa," bisik Pak Tarjo, seolah-olah sedang membocorkan rahasia negara. "Udang ini bisa membuat kerupukmu meledak di pasaran. Aku bisa kasih kamu satu kilonya dengan harga khusus. Tapi, ada syaratnya.”
“Syarat apa?” tanya Darto, mulai tertarik.
“Setelah kamu menang di festival nanti, kamu harus selalu beli udang dari aku. Gimana, setuju?” Pak Tarjo tersenyum licik.
Darto berpikir sejenak. Udangnya memang terlihat segar dan menggiurkan, tapi pria ini terlihat agak mencurigakan. Namun, impian Darto terlalu besar untuk diabaikan. Akhirnya, dengan sedikit ragu, ia mengangguk.
“Setuju!”
Keesokan harinya, Darto mulai memproses udang yang didapatnya dari Pak Tarjo. Anehnya, udang itu begitu mudah diolah, bahkan terasa seperti menggoreng kerupuk udang buatan dewa. Darto tidak pernah melihat kerupuk udang sekeren ini. Warnanya emas keemasan, ukurannya besar, dan ketika digoreng, suara kriuknya terdengar hingga ke ujung gang.
Festival pun tiba. Darto dengan penuh percaya diri membawa kerupuk udangnya ke meja juri. Di sana sudah ada banyak peserta lain, tapi kerupuk Darto mencuri perhatian. Setiap juri yang menggigit kerupuk itu langsung terperangah.
"Ini kerupuk paling renyah dan enak yang pernah saya cicipi!" seru salah satu juri dengan mata berbinar.
Darto hampir yakin dia akan memenangkan kompetisi itu, sampai tiba-tiba seorang peserta lain datang terlambat. Ia adalah Susi, penjual kerupuk saingan Darto dari desa sebelah. Dengan anggun, Susi membawa sekotak besar kerupuk udang yang terlihat tak kalah menakjubkan.
Darto merasa cemas. Apakah kerupuk Susi akan mengalahkan kerupuknya?
Ketika giliran Susi tiba, para juri mencicipi kerupuknya. Reaksi mereka hampir sama: kagum, terkejut, dan terpesona. Darto mulai berkeringat dingin. Namun, ia masih yakin bahwa kerupuknya memiliki keunggulan.
Saat juri mengumumkan pemenangnya, suara detak jantung Darto terasa seperti genderang perang. “Dan pemenangnya adalah… Susi!”
Dunia Darto runtuh. Ia tidak percaya bahwa usahanya berbulan-bulan hancur begitu saja. Dengan hati hancur, ia pulang ke rumah kosnya. Sesampainya di sana, Bu Asih menyambutnya dengan senyuman kemenangan.
"Aku bilang kan, kerupuk udangmu itu nggak bakal bawa hoki!" kata Bu Asih sambil menggoreng tempe di dapur.
Namun, seminggu kemudian, Darto mendapat kabar mengejutkan. Ternyata Susi didiskualifikasi karena terbukti menggunakan zat pengawet ilegal pada kerupuknya. Darto yang berada di posisi kedua otomatis naik menjadi pemenang!
Darto pun akhirnya mendapatkan hadiah uang tunai dan kontrak eksklusif yang diimpikannya. Namun, masalah baru muncul. Sejak ia menang, Pak Tarjo terus mendatanginya, meminta Darto memenuhi janjinya untuk selalu membeli udang darinya. Darto mulai curiga, karena setiap kali ia menggoreng udang dari Pak Tarjo, kerupuknya memang luar biasa, tapi ada efek samping aneh: tetangganya mulai mengeluh, bukan soal bau, melainkan karena suara kerupuk yang terlalu keras!
"Kerupukmu itu bikin gendang telinga tetangga pecah!" keluh Bu Asih.
Akhirnya, setelah beberapa minggu penuh tekanan, Darto memutuskan untuk berhenti membeli udang dari Pak Tarjo. Ia kembali ke pasar biasa, meski kerupuknya tak lagi se-"heboh" dulu, setidaknya hidupnya kembali tenang. Festival berikutnya pun sudah menanti, dan kali ini, Darto siap dengan kerupuk udang buatan tangan sendiri—tanpa campur tangan pria misterius.
Dan begitulah, meski renyah dan lezat, kerupuk udang ternyata bisa membawa drama hidup yang tak terduga. Tapi bagi Darto, yang terpenting adalah menikmati setiap kriuk kehidupan, tanpa perlu terbebani oleh janji-janji renyah yang membingungkan.