Di sebuah SMA kecil di pinggiran kota, Aura adalah siswi yang pendiam dan lebih suka menghabiskan waktu dengan buku-buku daripada bergaul dengan teman-temannya. Dia memiliki satu impian besar: menjadi penulis. Namun, semua impiannya terasa jauh ketika dia merasa terasing dari teman-teman sekelasnya.
Suatu hari, saat hujan gerimis mengguyur, Aura terpaksa berlari ke dalam gedung sekolah. Di ruang perpustakaan yang sepi, dia menemukan Raka, seorang siswa populer yang juga merupakan kapten tim basket. Raka duduk di meja pojok dengan buku catatan di depannya, terlihat serius mengerjakan tugas.
Aura tidak ingin mengganggu, tetapi tanpa sengaja, dia menjatuhkan buku catatannya. Buku itu terbuka, memperlihatkan sketsa-sketsa yang telah dia buat. Raka menoleh, melihat gambar-gambar itu, dan tersenyum. “Kamu melukis?” tanyanya. Aura, yang terkejut, hanya bisa mengangguk.
Momen itu menjadi awal pertemanan mereka. Raka menunjukkan ketertarikan pada sketsa-sketsa Aura, dan mereka mulai berbincang. Ternyata, Raka juga menyukai seni, meskipun terlihat sangat berbeda. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, berbagi cerita dan impian, hingga Aura merasakan benih-benih rasa suka tumbuh dalam hatinya.
Waktu berlalu, dan kedekatan mereka semakin erat. Aura yang dulu pendiam kini merasa bersemangat saat bersama Raka. Setiap hari, mereka bertemu di perpustakaan, saling berbagi ide dan inspirasi. Raka sering mengajak Aura menonton pertandingan basketnya, dan Aura tidak pernah absen untuk mendukungnya.
Namun, saat liburan musim panas tiba, Aura merasakan kegelisahan. Raka akan pergi ke kota lain untuk mengikuti kamp basket selama sebulan. Sebelum pergi, Raka mengajak Aura berjalan-jalan di taman dekat sekolah. Di bawah sinar matahari sore, Raka berhenti dan menatap Aura dengan serius.
“Aura, aku akan sangat merindukanmu,” katanya. “Kamu tahu, kamu adalah teman terbaik yang pernah aku miliki.” Aura merasa hatinya bergetar. “Aku juga akan merindukanmu, Raka. Semoga kita bisa tetap berhubungan,” balasnya, dengan suara bergetar.
“Bagaimana kalau kita bertukar nomor telepon?” Raka menawarkan. Aura mengangguk antusias. Mereka saling bertukar nomor dan berjanji untuk tetap berkomunikasi meskipun terpisah oleh jarak.
Selama sebulan, Aura dan Raka saling mengirim pesan. Raka bercerita tentang kegiatannya di kamp, sementara Aura mengirimkan sketsa-sketsa baru yang dia buat. Namun, saat liburan berakhir, Aura merasakan keraguan. Dia khawatir Raka akan kembali ke kehidupannya yang sibuk dan melupakan dia.
Hari pertama sekolah setelah liburan, Aura datang dengan perasaan campur aduk. Ketika dia memasuki kelas, pandangannya langsung tertuju pada Raka yang dikelilingi teman-temannya. Dia merasa jantungnya berdebar, tetapi Raka tidak menyadari kehadirannya.
Saat bel berbunyi, Raka melihat Aura dan tersenyum. Dia melangkah mendekati Aura dan berkata, “Aura! Keren banget sketsa-sketsa yang kamu kirim. Aku sangat suka!” Aura merasakan hatinya berbunga. Raka terus berbicara tentang pengalamannya selama di kamp, tetapi Aura tidak bisa berkonsentrasi. Dia hanya memikirkan satu hal: betapa bahagianya bisa bertemu Raka lagi.
Namun, seiring waktu berlalu, Aura melihat Raka semakin dekat dengan teman-teman barunya. Raka sering terlihat bersama teman-temannya di lapangan basket, dan Aura merasa cemburu. Dia mulai meragukan perasaannya dan merasa takut kehilangan Raka.
Suatu sore, saat Raka berlatih di lapangan, Aura memberanikan diri untuk mendekatinya. “Raka, bolehkah kita bicara?” tanyanya. Raka menatapnya dengan penuh perhatian. “Tentu, ada apa?”
“Aku... aku merasa kita semakin jauh. Apakah kamu masih ingat saat kita pertama kali bertemu di perpustakaan?” Aura mengungkapkan perasaannya dengan bergetar. Raka terdiam sejenak, lalu menjawab, “Tentu saja, itu adalah saat yang sangat berarti bagi aku.”
Mereka berdua saling menatap, dan Raka berkata, “Aura, aku suka kamu. Selama ini, aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Kita bisa lebih dari sekadar teman, kan?” Rasa lega dan bahagia meluap dalam hati Aura. “Aku juga suka kamu, Raka.”
Saat senja tiba, Raka mengambil tangan Aura dan menggenggamnya. “Aku tidak ingin kehilanganmu. Mari kita jalani ini bersama.” Aura mengangguk, merasa seolah semua beban di hatinya menghilang. Mereka berdiri di bawah sinar matahari terbenam, merasakan cinta pertama yang tulus dan indah di ujung musim panas.
Cinta mereka terus tumbuh, mengukir kenangan manis di tahun-tahun SMA. Di antara pelajaran dan tanggung jawab, mereka belajar bahwa cinta sejati tidak hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang saling mendukung dan memahami satu sama lain.
End