Aku menatap pantulan diriku di depan cermin dengan pandangan bingung sekaligus takut. Aku ragu, apakah orang yang berada dipantulan cermin itu memang diriku atau orang lain? Kau tahu apa yang kulihat sekarang seperti bukan diriku yang sebenarnya. Di pantulan cermin yang megah ini terlihat wajahku yang sangat cantik dan imut, padahal diriku yang sebenarnya memiliki wajah yang sangat biasa saja. Selain itu, pakaian yang ku kenakan pun begitu mewah dan berat. Dan jangan lupakan perhiasan mewah yang begitu menyilaukan mata tersemat dibagian titik tertentu di tubuhku.
Hei, lihatlah mahkota yang tersemat di kepalaku ini sangat indah, ditaburi dengan berlian dan permata. Rasanya aku ingin mencongkelnya dan menjualnya ke toko berlian. Dan uang hasil dari penjualannya akan ku gunakan untuk membangun rumah baca di desaku.
Tolong bantu aku untuk menghentikan pikiran jahat ku ini!
Tadi pagi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran seorang perempuan yang usianya sekitar 32 tahun-an. Ia membangunkanku dari mimpi indahku. Yang lebih mengejutkan lagi ia memakai pakain kuno zaman kerajaan Eropa dan ia memanggilku ‘Tuan putri’.
Nama perempuan itu adalah Marry. Ia mengatakan kalau dirinya adalah pelayan pribadiku. Walaupun hanya seorang pelayan, tapi ia tidak terlihat seperti pelayan sama sekali. Bibi Marry itu cantik. Bola matanya sebiru laut, kulitnya putih cerah, hidungnya mancung, rambutnya bergelombang sebatas pinggang dan tinggi badannya kira-kira sekitar 175 cm. Aku iri dengan hidung dan tinggi badannya! Dan bibi Marry terlihat seperti orang pribumi Eropa. Tidak ada terlihat darah Indonesia sama sekali dalam dirinya. Tapi anehnya ia begitu fasih menggunakan bahasa Indonesia saat berbicara kepadaku. Menakjubkan!
Bibi Marry membantuku mandi dan memakaikan pakaianku sekaligus mendandaniku. Saat merias wajahku bibi Marry dibantu oleh tiga pelayan yang usia mereka lebih muda dari bibi Marry.
Huh, memalukan! Aku ini sudah berusia delapan belas tahun! Hanya saja tubuhku ukurunnya tidak sesuai dengan usiaku, badanku tergolong mungil. Bibi Marry dengan santainya memandikanku. Ia memandikanku layaknya seperti memandikan anak kecil.
Aku tadi sempat protes. Dan bibi Marry bilang kalau aku menolak maka ia akan dihukum oleh Raja dan Ratu. Oleh karena itu dengan berat hati aku mempersilakan bibi Marry untuk melakukan tugasnya.
Raja? Ratu? Ayah dan Ibu?
Hei, itu sangat konyol, sekaligus membuat kepalaku pusing. Aku ini hanyalah anak seorang petani yang tengah menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur beasiswa. Lantas, darimana orang tuaku mendapatkan uang sebanyak itu sehingga bisa menyewa jasa ratusan orang? Menyewa orang untuk menjadi pelayan dan kesatria, serta membayar dokter ahli kecantikan untuk membuatku menjadi cantik jelita dalam sekejap mata. Apakah orangtuaku baru saja mendapat sebongkah berlian sebesar kepala adik lelakiku yang selalu membuatku naik darah itu?
Hah! Kepalaku rasanya mau meledak!
“Salam, tuan putri. Sekarang saatnya anda sarapan pagi. Yang mulia Raja dan Ratu sudah menunggu anda.”
Aku tersentak dari lamunanku kala mendengar suara bibi Marry.
“Iya,” jawabku sekenanya. Aku menoleh ke arahnya. Saat netraku dan netra bibi Marry bertemu ia langsung tersenyum lembut menatapku.
“Silakan, tuan Putri.” Bibi Marry membuka pintu seraya membungkuk hormat.
Aku tercengang melihatnya. Ia terlihat seperti seorang kesatria wanita yang gagah berani. Sungguh, bibi Marry terlihat sangat keren.
“Wah! Bibi Marry terlihat keren!” Seruku antusias dengan mata berbinar cerah.
Bibi Marry hanya tersenyum simpul menanggapi seruanku.
Ah, rasanya aku ingin menjadi seorang kesatria wanita di zaman sekarang, yang mana orang-orang akan terkenal karena menampilkan kontroversi dan kebodohannya itu. Aku ingin menjadi seorang wanita tangguh, cerdas dan pemberani, seperti Cut Nyak Dien. Dan seperti sosok Raden Ajeng Kartini yang mengangkat derajat wanita melalui pendidikan. Kau tahu, aku sangat mengagumi kedua pahlawan wanita kita ini. Mereka ber dua adalah wanita yang sangat mengagumkan!
Aku bermimpi, menjadi penerus mereka berdua, untuk memberantas kebodohan tersebut. Tentunya dimulai dari orang terdekatku terlebih dahulu, seperti keluarga dan orang-orang yang berada di sekeliling ku.
Bagaimana Indonesia akan cepat maju jika yang diberi panggung kebanyakan dari mereka yang membuat kontroversi, yang tidak ada manfaatnya sama sekali bagi generasi muda bangsa ini! Apalagi kebanyakan dari pembuat kontroversi itu adalah wanita. Bahkan sampai ada yang merendahkan derajatnya, agar dikenal kalangan masyarakat luas.Miris! Padahal seorang wanita itu layaknya emas, sangat berharga!
Ah, sudahlah!
Sesampainya dimeja makan aku dikejutkan dengan penampakan yang katanya Raja dan Ratu itu. Rupa dan perawakan mereka berdua sama persis seperti kedua orangtua kandungku. Tapi yang ini versi wajah orang Eropa. Mereka berdua tampan dan cantik. Dan lihatlah bola mata mereka bedua sangat indah, persis seperti batu safir yang berwana biru keunguan. Sangat menawan!
Setelah sarapan dan berbincang sejenak, aku dan orangtua baruku pergi ke panti asuhan yang jaraknya lumayan jauh dari istana. Kami berangkat kesana menggunakan kereta kuda. Sepanjang jalan yang kami lewati banyak pepohonan dan bunga yang tumbuh subur, disini hutannya masih sangat asri dan terlindungi. Udaranya bersih dan sejuk. Suasananya menenagkan. Burung-burung berterbangan dengan leluasa dan suara kicauan mereka bagaikan alunan melodi yang menemani perjalanan kami.
Ngomomg-ngomong tentang bibi Marry ia tidak ikut bersama kami. Karena masih banyak pekerjaan yang harus ia urus di istana. Entah apa yang ia urus sampai tidak bisa ikut bersama kami.
Aku menutup mataku, meresapi sejuknya udara disini. Padahal matahari tengah terik, tetapi tidak terasa panas sama sekali. Ah, rasanya sangat menenangkan. Kapan lagi coba aku merasakan sensasi dan suasana seperti ini. Ditempatku? Jangan harap akan mendapatkan udara yang bersih dan sejuk seperti ini.
Ditempatku hutannya sudah banyak yang gundul karena ditanami sawit dan maraknya penambangan. Sampah pun ada dimana-mana. Kesadaran masyarakat semakin menipis tentang pentingnya peran pepohonan hijau dan kebersihan lingkungan bagi kehidupan manusia maupun kehidupan hewan-hewan yang berada disekitarnya.
Sangat miris, bukan?
Kalau kata Pemuda Pecinta Alam, sih, “ngontrak tapi ngerusak”. Paham kan arti dari kata tersebut? Ya, harus paham lah. Kan, kita ini cuma manusia-manusia yang numpang hidup di muka bumi ini!
Apa yang akan tersisa untuk anak cucu nantinya jika masyarakat tidak segara sadar dengan apa yang mereka lakukan? Meninggalkan berbagai bencana? Seperti banjir, rusaknya hutan, tanah longsor dan yang lebih parahnya lagi adalah secara perlahan paru-paru dunia ini akan menghilang. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika paru-paru dunia hilang?
Karena terbawa suasana, tanpa sadar aku tertidur lelap.
“Sayang, bangun.” Sang Ratu membangunkanku, ia mengelus pipiku dengan lembut. “Kita sudah sampai,” lanjutnya.
Aku melenguh pelan. Dengan perlahan aku membuka mataku. Saat mataku terbuka sempurna terlihat Ratu atau bisa ku sebut sebagai ibuku mulai sekarang, ia tersenyum lembut menatapku.
“Kita sudah sampai. Apakah putriku yang manis ini masih mengantuk, hm?”
“Ah, tidak,” sanggahku. “Mataku sudah terasa segar. Aku tidak sabar bertemu dengan anak-anak.” Aku menatap Ibu dengan pandangan berbinar. Aku sungguh tidak sabar bertemu dengan anak kecil. Bagiku mereka itu sangat manis dan imut, apalagi yang usianya masih enam tahun kebawah.
Ugh, mereka sangat menggemaskan.
“Yang mulia Ibu mari kita turun menemui mereka.” Ucapku sembari meunjuk anak-anak yang terlihat antusias dan gembira saat melihat kedatangan kami.
Ratu tersenyum, ia mengangguk. Lalu ia beralih menatap Raja yang sedari tadi diam memperhatikan kami berdua.
“Mari putri kecilku.” Raja turun terlebih dahulu dari kereta. Ia mengulurkan tangannya kepadaku.
Dengan senang hati aku menerima uluran tangannya. “Terima kasih,” ucapku saat aku sudah turun dan berdiri tepat di hadapannya. Aku tersenyum manis. Raja ini sangat perhatian dan lembut, persis seperti ayahku.
Yang mulia Raja dan Ratu pergi terlebih dahulu, menemui ibu panti dan pengurus panti. Jadilah aku tertinggal disini bersama anak-anak yang menggemaskan. Hei, lihatlah anak yang paling kecil ini, ia sangat imut.
“Hei, adik kecil. Namamu siapa?” Tanyaku lembut kepadanya, bahkan suaruku ku buat seimut mungkin saat bertanya kepadanya. Aku berjongkok, mensejajarkan badanku dengan tinggi badannya.
Gadis kecil itu mengerjap lucu. Ia memandangku polos. “Namaku Abelle.” Jawabnya malu-malu. Ia menunduk.
Tanganku refleks mengelus pucuk kepalanya.
“Abelle, kamu imut banget!” pekikku tertahan. Aku mencubit pelan pipi gembulnya.
“Tuan putri.” Sapa anak-anak yang lain dengan nada malu-malu.
Aku menoleh ke arah mereka. Terlihatlah wajah malu-malu mereka sembari tersenyum kepadaku. Argh, mereka sangat menggemaskan. Dan lihatlah rona merah yang terlihat samar dipipi mereka. Imut sekali!
Aku melepaskan cubitan ku dari pipi Abelle. Aku berdiri tegak. “Iya, kenapa adik-adik manis.” Sapaku ceria. Aku melambaikan tangan ke arah mereka.
“Tuan putri dipanggil yang mulia raja. Kata raja, tuan putri harus menemui yang mulia dan membantunya menyusun buku-buku baru di rumah baca yang baru saja dibangun oleh para kesartia dan prajurit kemarin.” Jawab salah satu anak yang paling besar. Ia membungkuk hormat kepadaku.
Aku berjalan mendekatinya. “Hei, angkat kepalamu.” Ucapku lembut, namun terkesan tegas. “Kamu tidak perlu membungkuk seperti itu kepadaku. Bukankah kita teman?”
“Kita memang teman. Tapi derajat yang mulia lebih tinggi dariku.” Balasnya lirih. Ia masih membungkuk hormat.
Aku terkikik geli mendengarnya. “Tetapi, derajat kita dimata tuhan itu sama. Lain kali jika bertemu denganku lagi, kamu maupun yang lainnya tidak usah membungkuk seperti itu lagi. Cukup sapa saja aku dengan tutur kata yang baik dan lembut. Mengerti?”
“Mengerti, tuan putri.” Jawab mereka serempak.
Aku tersenyum lebar mendengarnya. “Bagus!” seruku. Aku mengacungkan dua jempolku ke arah mereka.
“Ayok kita ke rumah baca yang baru.”
Byur!
Byur!
Byur!
“Ibu, tolong, banjir!” Teriakku panik, aku meloncat dari kasurku. Mataku masih terpenjam setengah. Sungguh, mataku masih terasa berat, karena tadi malam aku bergadang, membaca novel yang baru saja kubeli sepulang dari kampus kemarin.
Byur!
Sekali lagi, aku terkena siram. Aku mengerjap pelan. Ini tidak banjir? Bukankah aku tadi berada di panti asuhan? Sekarang, kenapa tiba-tiba berada dikamarku? Aneh sekali!
Aku menoleh kesamping, terlihatlah ibu yang tengah marah kepadaku.
“Bangun, Kila! Lihat jam berapa sekarang? Bukankah kamu hari ini masuk kelas pagi?” Ibu berkacak pinggang, ia melotot melihatku. Ditangannya terdapat gayung yang sudah kosong.
Aku meringis pelan. “Iya, Bu,” jawabku lirih.
“Kamu ini, mimpinya banyak, tapi bangun paginya malas. Kalau banyak mimpi itu bangunnya harus pagi, supaya semangat menjalani hari-harinya. Dan agar mimpi-mimpimu itu cepat menjadi kenyataan, bukan hanya sekedar mimpi saja.” Tutur ibu panjang.
Aku tertegun mendengarnya. Apa yang dikatan ibu itu benar. Sebelum mengubah orang lain, aku harus berubah terlebih dahulu, menjadi orang yang lebih baik dan disiplin waktu. Bukankah perubahan besar itu berawal dari diri sendiri dan diawali dengan perubahan kecil?
Semangat Kila! Kamu pasti bisa.