"Jadi anda benar-benar ingin mengakhiri pernikahan anda, Saudari Yuli Amalia?"
"Benar Yang mulia...."
"Bisa jelaskan alasan anda mengapa anda mengajukan perceraian ini? Saya ingin mendengar sendiri dari mulut anda."
*
*
*
1 tahun sebelumnya
Kryuukkk
Kryuukkk
Terdengar suara menyakitkan dari sebuah lambung yang belum terisi dari kemarin. Seorang ibu muda menatap kosong halaman rumahnya yang tidak begitu aesthetic.
"Bu ... Bagas lapar."
"Ibu juga, Gas."
Kembali wanita itu hanya melamun diam. Tidak lama kemudian seorang gadis kecil memasuki teras rumah dan menatap ibu dan kakaknya.
"Mas Agas ... lapar tidak?" bisik gadis kecil itu sambil menarik Bagas kedalam kamar mereka.
Anak lelaki itu menganggukan kepalanya. Menandakan ia juga merasakan apa yang adiknya rasakan. Kembali mereka berdua memilih bermain di dalam kamar untuk membunuh rasa lapar mereka.
Bagas dan adiknya -- Naura, memiliki selisih empat tahun. Jika Bagas saat ini duduk di bangku SD kelas 6, adiknya duduk di bangku kelas 2.
Kedua anak itu pintar dan cerdas. Hanya saja, faktor ekonomi orang tua mereka membuat mereka memiliki keterbatasan untuk mengikuti setiap kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.
Padahal Bagas ingin sekali ikut taekwondo, tapi untuk membeli seragamnya sangat mahal baginya. Ingin ikut Bola, Bagas tidak bisa selalu ikut untuk bayar uang kehadiran atau sewa lapangan.
Begitupun dengan Yuni. Ia ingin sekali membeli pensil warna dengan warna yang lengkap. Namun hal itu harus ia urungkan. Bisa berangkat sekolah dengan perut kenyang saja sudah bersyukur untuk mereka.
Orang tua mereka bekerja serabutan. Ibunya hanya ibu rumah tangga biasa pada umumnya yang tidak memiliki banyak kemampuan bahkan bersosialisasi saja Yuli -- ibu mereka, tidak bisa.
*
*
*
"Kamu tidak masak, Yuli?"
"Aku hanya punya nasi, bawang dan cabai. Kau mau aku buatkan nasi goreng?"
Ari mendesah kasar. "Uang yang aku kasih habis?"
Yuli terdiam. Entah mengapa jika menerima uang dari sang suami, bukannya senang, Yuli merasa ia akan menjadi penjahat apalagi jika uang itu habis.
Padahal di jaman sekarang, uang seratus ribu mana cukup untuk seminggu. Oh ... Mungkin saja cukup bagi istri yang tepat macam konten-konten sialan yang tidak jelas latar belakang perekonomiannya seperti apa.
Seolah-olah mengatakan, jika tidak bisa mengelola uang. Berarti bukanlah istri yang tepat. Konten sialan ... Kata-kata itu terus terngiang di otak Yuli jika ia sedang merasakan ketidakberdayaan menjadi seorang istri yang bisa membantu suami mencari nafkah.
'Bukan istri yang tepat ... Lalu istri yang tepat seperti apa? Apa aku istri pembawa sial? Apa aku tidak bisa membawa keberuntungan untuk suamiku? Apakah jika aku menghilang, hidupnya akan menjadi lebih baik?'
Itulah yang selalu Yuli batinkan dan rapalkan setiap malam, setiap melamun bahkan saat menatap putra putrinya.
"Yul ... Aku tanya. Uang yang aku kasih ke kamu sudah habis?" Ari -- sang suami mengulang pertanyaannya.
"Sudah, Mas."
"Untuk apa?"
Yuli menatap sang suami dengan tatapan bingung. "Kamu ikut aku belanja keperluan rumah, kan? Tanpa aku jabarkan, Mas tau apa saja yang aku beli."
Yuli bingung. Suaminya tidak tolol, goblog pun tidak. Hanya dulu pernah mengkonsumsi marijuana dan pil-pil penenang. Mungkin dari sana penyebab suaminya tidak bisa berpikir logis dan memiliki empati.
Tidak menjawab ucapan Yuli, Ari berdecak dan meninggalkan Yuli. Kembali sang suami bermain game battle royale.
Yuli yang melihat itu dari arah dapur hanya bisa terdiam. Ia ingat ucapan sang suami. Saat dirinya mengajukan pertanyaan.
"Kalau mantan aku kembali dan dia memberikan aku 1 milyar. Apakah kamu memperbolehkan aku menerimanya?"
"Ambil saja, Yul. Tapi jangan cintanya."
"Kamu nggak malu? Kamu mau aku ngasih makan kamu pakai uang mantan aku?"
Tidak ada jawaban, sepertinya Ari memang benar-benar memilih uang dari pada dirinya. Mungkin jika ada yang menawari Ari uang dengan syarat harus meninggalkan Yuli, Ari akan memilih untuk meninggalkan dirinya tanpa ragu dan menyesal.
*
*
*
"Lo yakin sama keputusan lo bercerai dengan Ari? Tapi kenapa?" tanya Ayu dengan serius.
"Ingin memberikan Ari kesempatan hidup lebih baik, Yu. Gue kasian sama dia. Dia tulang punggung. Gue cuma jadi penambah beban dia aja."
"Bohong! Lo mau balik sama Eka? Karena Eka nawarin lo duit asal lo melepaskan Ari, kan?"
Yuli menatap sahabatnya yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabat baiknya dengan tatapan kecewa, entah sudah berapa lama mereka bersahabat, Ayu masih saja tidak bisa memahaminya.
"Gue mau jadi TKW, Yu. Eka bukan alasan gue menceraikan Ari. Lo bisa suruh penyidik untuk cek seluruh bank atas nama gue. Apakah gue menerima uang sebanyak itu di rekening gue atau enggak."
"Apa Ari melakukan KDRT sama lo?"
"Wajar lah KDRT ringan. Namanya manusia punya emosi. Gue nggak permasalahkan selama gak nusuk gue atau nembak gue pake air softgun." Yuli terkekeh. Ia ingin mencairkan suasana.
"Lalu anak lo? Bagas? Naura?" Ayu tidak terpengaruh dengan candaan garing yang Yuli lontarkan.
"Diurus Mas Ari dan keluarganya. Keluarga mereka lengkap dan besar. Mereka pasti bisa bantu menghidupi Naura dan Bagas."
"Kenapa lo nggak bawa Bagas?"
"Bagas mau ujian kelulusan. Gue nggak mau mengacaukan akademiknya setelah gue mengacaukan hidupnya. Hidup sama gue, gue takut bisa membuat hidupnya menjadi anak broken life."
"Kalau begitu, bagaimana dengan Naura?"
"Naura akan mencari Mas Ari ketika gadis itu akan menikah nanti. Figure gue nggak penting-penting amat di hidup mereka. Gue loser. Sedangkan Mas Ari multitalenta."
Ya ... Meskipun Ari pengangguran serabutan. Tapi Ari serba bisa. Tak heran, teman-teman Ari sering menghubungi lelaki itu dan memberikan beberapa pekerjaan untuk lelaki yang sekarang sudah menginjak usia 34 tahun itu.
Mulai dari mengecat Cafe, Kantor, Motor, Mobil bahkan tembok under pass pun pernah Ari lakukan.
Itu juga yang membuat Yuli merasa bersalah karena hanya Ari yang berjuang sendiri di dalam rumah tangga mereka.
"Lo mediasi aja dulu. Ari setuju melakukan gugatan perceraian ini?"
Yuli terdiam. Ia tidak pernah sekalipun menyalahkan perceraian ini pada Ari. Sekali lagi, Tidak. Ini murni karena ia ingin memberikan Ari dan anak-anak nafas segar ketidak hadiran dirinya ditengah-tengah mereka.
Yuli merasa jika ia beban bagi suaminya, ia merasa tidak bisa menjadi ibu yang diharapkan kedua anaknya, ia merasa jika dirinya bukan istri yang tepat. Ia ingin Bu dir jika saja ia tidak mengingat dosa dan hilangnya keimanan dalam dirinya.
Apa sebenarnya yang Yuli alami? Mengapa dia bisa merasakan demikian dan mengambil keputusan ekstrem untuk bercerai?
(。•́︿•̀。) Bersambung (。•́︿•̀。)