(Cerpen by Buku Tabungan)
"Malam Minggu lo ada acara nggak?"
"Nggak. Kenapa, Mey?"
"Nonton lagi, yuk."
"Lagi?”
Kamu mengangguk mantap. "Jemput gue, ya. Jam biasa."
"Ya, oke."
Lalu aku tak bisa mencegahmu keluar dari apartemenku secepat kamu tadi datang. Cuma kamu yang bisa membuatku kayak gini, takluk pada setiap tingkahmu yang kusebut abnormal.
Tak pernah ada satu pun cewek yang pernah aku izinkan keluar-masuk apartemenku kecuali kamu, yang dengan senang hati kuberi kunci pintu gandanya. Tak pernah ada cewek sebelumnya yang bisa meruntuhkan dinding dingin yang sudah mengerak lama di sudut hatiku. Tak pernah sebelumnya ada cewek yang bisa seenak udel mempora-porandakan siklus 24 jam yang sudah kususun sesuai jadwal dari Senin hingga Senin lagi, dari bangun tidur hingga tidur lagi. Dan belum pernah ada cewek yang kuajak nonton opera hingga kecanduan.
Hari itu kamu resmi putus dengan Maxime. Tak kusangka, untuk ukuran cewek yang sering gonta ganti pacar, putus dengan dia membuatmu menjadi makhluk yang berbeda. Segala tingkahmu yang konyol menguap. Senyummu yang ceria untuk siapa saja menghilang. Berganti jadi kegalauan yang membuat pipimu basah. Diajak bicara jarang tak nyambung. Bagiku keanehan itu abnormal untuk ukuran cewek super cuek seperti kamu. Padahal dari 21 pacarmu sebelumnya, 21 yang ku tahu, kamu yang putusin mereka. Dan tak ada sedikit pun ada rasa galau tampak di wajah manismu.
Lalu iseng aku mengajak kamu.
"Mau nggak lo ikut nonton?"
"Filmnya apa?"
"Nggak film, kok. Tapi opera."
"Dimana?"
"Mall."
"Yaudah gue ikut."
Opera kulit kacang show setiap malam minggu jam tujuh sampai sembilan malam. Ceritanya simpel saja, tentang kulit kacang yang merana ditinggal pergi isi kacang setelah semua yang disebut perjuangan cinta telah ia lakukan. Opera itu hadir dalam sekuel-sekuel dengan cerita berbeda setiap minggunya, namun tetap dengan tema yang sama : patah hati karena ditinggalkan.
Aku tidak sengaja menoton opera itu. Awalnya, aku hanya pergi seperti di malam-malam Minggu sebelumnya. Membeli satu tiket di pojok bioskop, sekotak pop corn rasa karamel dan menikmati film dari awal hingga selesai. Namun, malam itu aku kehabisan tiket. Sebagai gantinya aku terusik oleh keramaian yang ada di tengah-tengah mall.
Iseng saja, aku ikut duduk pada kursi yang disediakan. Dan ternyata, meski simpel, namun pertunjukan itu membuatku betah menyaksikan sampai akhir. Opera itu mempertontonkan cara membalut patah hati dengan humor. Mengobati luka dengan tawa.
Lalu aku mengajak Meylsa ikut nonton saat ia sedang benar-benar lagi patah hati karena putus dari pacarnya yang ke 22 itu. Tak pernah kulihat Meylsa serapuh itu.
"Apa sih hebatnya cowok itu sampai bikin lo melankonis gini?"
"Gue baru ngerasain benar-benar jatuh cinta waktu sama dia, Sam."
"Cowok itu harusnya dapat rekor muri bisa naklukin lo, Mey."
Dan aku menyesal telah bilang begitu. Meylsa tak lagi mau menangis di pundakku. Padahal, aku tahu ia sedang berada pada titik terendahnya. Dan pundakku selalu menjadi tempat yang nyaman untuknya.
"Gue minta maaf, Mey. Lo boleh kok nangis di pundak gue. Atau di dada gue. Gue nggak bakal ngeledek lo lagi. Gue akan ngertiin lo, Mey."
"Lo gak akan ngerti, Sam. Lo gak pernah ngerasain rasa kayak gini."
Glekkk. Aku menelan ludah. Mungkin selama ini kamu mengira aku tak pernah merasakan essensi cinta karena sampai sekarang aku selalu menyabet gelar jomblo. Kemana-mana sendiri. Bahkan cuma kamu satu-satunya teman wanitaku paling dekat. Kamu tak mengerti kalau selama ini aku sayang sekali sama kamu. Sayang yang telah bertransformasi jadi cinta yang menggebu. Rindu yang hanya kutautkan pada ritual hari-hariku yang berjalan sesuai jadwal.
"Gue akan berusaha ngerti lo, Mey. Jangan lagi kita kayak orang asing. Gue pengen jadi sahabat yang terbaik buat lo."
Dan aku bahagia saat kamu kembali menangis di pundakku. Dan aku selalu ada saat kamu hubungi. Namun, di satu sisi aku sedih juga melihat kamu menghamburkan air mata buat cowok lain.
"Tahu nggak, Sam? Kenapa gue jadi seneng banget ikut lo nonton opera kulit kacang?"
Karena lucu? Tapi aku lebih milih diam dan mendengarkan.
"Soalnya saat nonton opera itu, gue punya waktu dua jam untuk tertawa. Pikiran gue cuma terfokus sama lelucon opera. Gue nggak kepikiran apa pun. Gue bisa bebas dari dia selama dua jam."
Aku juga suka nonton opera itu, Mey. Karena selama dua jam kamu ada di sampingku dengan sosokmu yang seperti dulu, yang tak dirundung pilu seperti sekarang. Yang menggenapiku dari bilangan ganjilku. Yang mewarnai hari-hariku yang buram.
***
Aku hanya seorang lelaki biasa yang bekerja di sebuah perusahaan konsultasi keuangan. Aku tinggal di sebuah apartemen yang jauh dari kampung halaman. Kehidupanku berjalan normal.
Bekerja sampai magrib, kadang sampai larut malam. Setelah kerja, aku biasanya hanya istirahat di apartemen dengan menonton film atau membaca buku sampai tidur. Kadang aku ikut ke club malam sekadar untuk menghormati rekan-rekan kerjaku yang notabenenya masih berjiwa muda dan suka hura-hura. Dengan gaji yang lebih dari cukup ini, aku bisa saja membiayai kehidupan hedon seperti rekan-rekanku. Entah kenapa aku tak tertarik. Aku lebih suka menyendiri. Aku lebih suka nonton film di bioskop, duduk paling pojok sambil ngemil pop corn rasa karamel kalau weekend tiba.
Memang kehidupanku tampak datar. Aku pun menjalaninya dengan datar.
Sampai Meylsa Putri Wibowo datang dengan beribu pesonanya. Bagiku, ia abnormal untuk ukuran cewek yang bekerja di perusahaanku.
Kebayakan rekan-rekan wanitaku heboh dengan dandanan mereka, bedak, lipstik, eyeliner, bulu mata badai topan (entah lesus, entah beliung) dan menghamburkan uang mereka dengan shopping barang-barang bermerk yang harganya bisa bikin kejang-kejang. Tapi, Meylsa abnormal (kusebut begitu).
Ia tak suka dandan berlebihan namun tetap saja tampak manis menawan. Ia tak suka shopping. Kalau pun jalan-jalan ke mall yang dituju bukan toko tas ber-branded, melainkan duduk manis di food court, memanjakan perutnya. Toh, ia tak jadi gendut. Ia tetap langsing, tinggi dan sekali lagi, menawan!
Hanya satu yang tak aku suka dari ia. Mey, suka gonta-ganti pacar. Seperti calon pembeli mobil yang mencoba satu persatu demi mendapatkan mobil yang pas untuknya. Dan mobil itu berhenti pada cowok bule bernama Maxime. Jujur, aku cemburu.
Aku dan Mey dengan mudah menjadi akrab. Mungkin kita yang sama-sama ganjil saling menggenapi. Aku yang suka menunggu cinta datang. Mey yang suka mencari cinta terbaiknya.
Kami menjadi sahabat dekat. Jika Mey ada masalah tentang cowoknya, atau masalah apa pun, aku selalu ada sekadar menjadi pendengar atau pemberi solusi. Aku yang selalu sedia menjadi tembok untuk ia bersandar. Aku yang rela menjadi perahu untuk ia gunakan berlayar menemukan kebahagiannya.
***
"Mey, boleh jujur?" suatu hari akhirnya aku memberanikan diri untuk berkata. Balon jika diisi angin terus menerus pun meledak. Hati yang berlayar terbawa samudra pun ingin bermuara. Dan pulau yang aku ingin tuju ternyata ada pada, Mey.
"Apa? Ngomong aja?"
Gue narik napas dalam-dalam. Kukerahkan semua kekuatan.
"Gue sayang sama lo. Gue siap gantiin dia. Gue nggak bisa janji untuk jadi cowok yang terbaik buat lo, tapi gue akan berusaha," kata-kata itu akhirnya meluncur keluar. Lancar.
Meylsa bungkam. Aku bungkam.
Menunggu.Terkutuklah keadaan yang seperti ini, namun aku memilih untuk maju.
"Pengharapan apa lagi yang lo ingin dari dia? Kekuatan macam apa yang sanggup menahan lo begitu lama? Buat apa lo pelihara luka hati yang bikin mata berair? Kapan lo akan bangun, Mey?"
Meylsa mundur, menjauh.
"Lo tahu perasaan gue, Sam. Gue nggak mau bahas ini lagi. Sorry, gue balik dulu."
"Mey... Jang... an."
Pintu apartemenku sudah terbuka, lalu tertutup lagi.
***
Sudah genap tiga bulan tidak ada Meylsa dalam hidupku. Tidak ada lagi warna dalam hari-hariku yang buram. Tidak ada lagi yang keluar-masuk apartemenku sesuka hati untuk menggangu hibernasiku di hari Minggu. Seolah semua kembali sesuai teks. Aku bekerja sampai malam. Jika weekend, aku membeli tiket di bioskop paling pojok, dan menikmati film sambil makan pop corn rasa karamel dari awal pemutaran hingga selesai.
Opera kulit kacang sudah lama berakhir. Kabarnya mereka sudah pindah ke mall lain di provinsi lain. Sudah tidak ada lagi acara menghumorkan sebuah luka hati. Kadang aku berpikir untuk terbang dan pergi mencari mall yang disinggahi opera kulit kacang itu. Namun ternyata toh bukan sekadar terbang. Menontonnya sama saja membuka ruang kenangan tentang Meylsa.
"Tok.. Tok... Tok..."
Pagi-pagi benar pintu apartemenku berteriak. Ini hari Minggu, jadwalku tidur sampai jam sepuluh siang. Dengan malas aku beranjak untuk membukakan pintu. Seketika kantukku hilang saat mengetahui siapa di balik pintu.
"Mey..."
"Gue rindu lo, Sam."
Kata pertama yang muncul dari mulutnya seketika membuatku ingin memeluknya. Aku menahan.
"Lo nggak rindu gue?" kata-katanya itu menyadarkanku.
Betapa aku sangat merindukanmu, Mey. Betapa aku berusaha menafikan rinduku padamu. Itu sangat sulit, Mey. Bahkan untuk ukuran cowok seperti diriku.
Aku berkata lirih. "Tanpa lo hidup gue kayak TV jadul, buram gak berwarna. Tapi gue gak bisa apa-apa, gue gak bisa maksa lo, Mey. Gue tetep Sam yang datar, yang nggak suka keramaian, yang realistis, yang kalkulatif, yang lebih suka menunggu..."
Hening.
"Ada banyak hal yang nggak bisa di paksakan namun layak diberi kesempatan. Dan harusnya gue dan lo bisa saling memberi kesempatan. Sam, selama ini gue selalu sibuk mencari sampai buta. Gue nggak sadar kalau di depan gue ada yang menunggu. Tiga bulan ini gue jauh dari lo, gue merasa ganjil. Bisakah kita saling memberi kesempatan untuk saling menggenapi? kita coba jalani pelan-pelan."
Seakan aku tak percaya dengan apa yang aku dengar. Aku mengangguk. Dua bilangan ganjil akan mencoba saling menggenapi. Meylsa merapatkan tubuhnya padaku. Aku merengkuhnya, memeluknya. Ia membenamkan kepalanya di dadaku.
"Mau nemenin gue nggak?" tanyanya lirih.
"Sudah gak ada opera itu, Mey."
"Kata siapa mau nonton opera?"
"Terus?"
"Kita beli dua tiket paling pojok, nonton film sambil ngemil pop corn rasa karamel."
Aku tersenyum lebar. "Kalau gitu gue mandi dulu, ya."