Alma duduk di bangku halte tua yang sudah berkarat, menatap kosong ke arah jalanan yang semakin sepi. Matahari yang semula bersinar mulai tenggelam di balik awan kelabu, menyisakan langit yang gelap dengan semburat ungu. Angin dingin mulai berhembus, menggoyangkan ranting-ranting pohon di sekitar halte, seolah ingin menggusur Alma dari penantiannya yang tiada akhir.
Namun Alma tidak bergerak sedikit pun. Setiap sore menjelang, dia akan kembali ke tempat ini. Halte yang sudah menjadi saksi bisu dari keteguhan hatinya, tempat di mana dia meyakini Willy , lelaki yang pernah mengisi seluruh dunianya, akan kembali.
Alma yang panjang dan hitam kini acak-acakan ditiup angin, sebagian menutupi wajahnya yang semakin tirus dan pucat. Jaket tipis yang dikenakannya sama sekali tak mampu menahan dingin yang mulai menusuk tulang, namun Alma tak peduli. Baginya, rasa dingin itu tak sebanding dengan rasa rindu yang terus menghantui setiap langkahnya.
.
.
Sudah hampir empat tahun berlalu, namun bayangan Willy masih memenuhi benaknya setiap saat. Dalam pikirannya, ia membayangkan sosok Willy yang datang menghampirinya di halte ini, tersenyum hangat seperti dulu, memeluknya erat, dan membisikkan kata-kata lembut di telinganya.
Alma tahu betul betapa bodohnya dia berharap seperti ini. Berharap pada sesuatu yang tak pasti, pada seseorang yang mungkin tak akan pernah kembali.
"Dia pasti datang," gumam Alma lirih, matanya masih terpaku pada jalanan di depannya.
“Dia pasti kasihan melihatku seperti ini.”
Tapi kenyataannya, Willy tak pernah datang. Sudah ribuan sore Alma habiskan di halte ini, menanti dalam keheningan yang menyakitkan. Hujan yang mulai turun malam ini bukanlah hal baru baginya.
Hujan sudah menjadi teman setianya dalam penantian panjang ini, seolah langit turut merasakan kepedihannya.
Orang-orang yang melewati halte kadang memandang Alma dengan tatapan kasihan, sebagian menganggapnya gila. Mereka sudah terbiasa melihatnya duduk di sana, dengan mata kosong dan ekspresi yang tak pernah berubah.
Beberapa bahkan pernah mencoba mengajaknya berbicara, menyarankannya untuk pulang, beristirahat, dan melanjutkan hidup. Tapi Alma tak pernah menanggapi.
Bagaimana mungkin dia melanjutkan hidup tanpa Willy?
Malam itu, kilat mulai menyambar dari kejauhan, diiringi gemuruh yang menakutkan. Tapi Alma tetap di sana, memeluk tubuhnya yang mulai menggigil. Hujan semakin deras, membasahi seluruh tubuhnya. Dia tak peduli.
Baginya, rasa dingin dan basah adalah harga kecil yang harus dibayar demi rasa cinta yang begitu dalam. Setiap tetes hujan yang jatuh mengingatkannya pada malam-malam penuh kebahagiaan bersama Willy, malam-malam di mana mereka tertawa di bawah langit yang sama, berbagi impian dan harapan untuk masa depan yang kini terasa mustahil.
Alma tahu, di dalam hatinya harapan untuk melihatnya lagi hanyalah ilusi. Namun cinta dan rindunya yang begitu besar tak memberinya pilihan lain. Setiap kali dia mencoba melupakan, wajah Willy muncul dalam mimpinya, membuatnya terbangun dengan rasa kehilangan yang semakin menyesakkan.
"Mungkin jika aku menunggu lebih lama lagi..."
Alma selalu mengulangi kalimat itu dalam pikirannya. Dia percaya, entah bagaimana, Willy akan muncul. Mungkin karena rasa kasihan melihat keadaannya sekarang tanpa dirinya atau mungkin karena Willy tak tega melihatnya menderita begitu lama. Pikiran itu adalah satu-satunya yang membuatnya terus bertahan.
Angin malam semakin kencang, dan hujan berubah menjadi badai. Namun Alma tak bergerak sedikit pun. Baginya, penantian ini adalah segalanya. Dan meskipun dia tahu jauh di dalam hati bahwa Willy tak akan pernah kembali, penantian ini adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap hidup, meski jiwanya perlahan-lahan hancur
.
.
.
~FLASHBACK ON~
Pernikahan di gereja itu berlangsung begitu megah dan indah. Langit biru cerah mengintip melalui jendela besar di samping altar, memancarkan sinar lembut yang seolah memberkati momen bahagia itu. Dekorasi bunga putih menghiasi setiap sudut ruangan, memberi kesan suci dan murni.
Para tamu yang hadir adalah orang-orang terdekat, keluarga, sahabat, dan beberapa kerabat yang telah melihat perjalanan panjang cinta Willy dan Almahera.
Namun, di balik kebahagiaan hari itu, tersimpan kisah penuh perjuangan. Willy dan Alma pernah menghadapi ujian besar yang hampir membuat mereka menyerah.
Cinta mereka sempat diabaikan oleh dunia, dianggap tak layak oleh keluarga yang tak merestui. Mereka dicap sebagai pemberontak, dianggap tak tahu diri karena tetap bertahan dalam cinta yang dianggap tak mungkin bersatu. Alma pernah dipaksa menjauh dari Willy, dipisahkan oleh jarak dan waktu, sementara Willy sendiri terus berusaha meyakinkan keluarganya bahwa Alma adalah orang yang tepat untuknya. Namun, mereka tak pernah menyerah.
Seperti sepasang burung yang terus mencari jalan pulang, Willy dan Alma tetap berpegangan, melalui badai demi badai dengan hati yang teguh.
Hari ini, semua rasa sakit itu seakan sirna. Di hadapan altar, mereka berdiri dengan penuh keyakinan. Mata Willy tak lepas dari wajah Alma, seolah dunia di sekeliling mereka lenyap, yang ada hanya dia dan wanita yang kini akan menjadi istrinya.
“Apa kau bahagia, Princess?” bisik Willy lembut. Suaranya penuh kehangatan, dan ada sinar cinta yang tak bisa disembunyikan di matanya.
Alma tersipu malu, pipinya memerah mendengar sapaan manis dari Willy.
“Ya, aku selalu bahagia bersamamu, Prince,” jawab Alma dengan suara yang hampir berbisik, tapi penuh dengan ketulusan.
Senyum Willy melebar mendengar jawaban itu, ia tak bisa menahan diri untuk mencium dahi Alma, ciuman yang begitu lembut namun penuh makna. Ciuman itu seolah mengukuhkan segala janji dan perjuangan yang telah mereka lewati. Detik-detik itu seolah waktu berhenti, hanya mereka berdua yang ada, di tengah segala kesibukan dunia.
Bahkan sorakan kecil dari para tamu yang melihat kemesraan mereka tak mengganggu momen sakral tersebut, hingga suara pastor berdehem mengingatkan mereka bahwa upacara pernikahan akan segera dimulai.
Pastor itu lalu membuka Alkitab dan dengan suara penuh wibawa memulai janji suci mereka,
“Willy Adam, apakah kau akan menerima Almahera sebagai istrimu, dalam suka maupun duka, dalam kaya maupun miskin, untuk mencintainya, menghormatinya, dan setia padanya hingga maut memisahkan?”
Tanpa ragu sedikit pun, Willy menjawab dengan mantap,
“Ya, aku bersedia,” suaranya penuh keyakinan, matanya tetap terpaku pada Alma, seolah berbicara kepada hati wanita itu bahwa tak ada yang lebih berharga dari cinta mereka.
Kemudian, sang pastor melanjutkan,
“Dan Almahera, apakah kau akan menerima Willy Adam sebagai suamimu, dalam suka maupun duka, dalam kaya maupun miskin, untuk mencintainya, menghormatinya, dan setia padanya hingga maut memisahkan?”
Alma, yang selama ini dikenal sebagai wanita yang lembut namun di hari membahagiakan ini dia akan menjawab pertanyaan pastor dengan tegas dan pasti,
“Ya, aku bersedia,” suaranya terdengar jelas di seluruh ruangan, memberi kesan bahwa dia benar-benar yakin dengan keputusan yang dia ambil.
Para tamu yang hadir menahan napas, seolah menunggu momen yang paling dinanti-nantikan dalam pernikahan itu. Pastor itu tersenyum, lalu mengucapkan,
“Sekarang, cium pasangan kalian sebagai tanda cinta dan janji sehidup semati.”
Willy perlahan mendekatkan wajahnya ke Alma. Alma, dengan mata yang penuh air mata kebahagiaan, membalas tatapan suaminya. Mereka saling tersenyum sebelum akhirnya bibir mereka bertemu dalam ciuman yang penuh kehangatan, disaksikan oleh seluruh tamu undangan yang tersentuh oleh momen tersebut.
Ciuman itu bukan sekadar simbol dari pernikahan mereka, tetapi juga simbol dari segala kesulitan yang telah mereka lalui bersama, dan janji bahwa mereka akan terus bersama, apapun yang terjadi.
Di antara para tamu, orang tua Willy dan Alma duduk terdiam. Mereka yang dulunya menentang hubungan ini, kini akhirnya menyerah pada cinta yang begitu kuat.
Ada sedikit rasa malu di hati mereka, tetapi pada saat yang sama, mereka merasakan kebahagiaan melihat anak-anak mereka bersatu dengan penuh cinta. Mereka akhirnya sadar bahwa kebahagiaan Willy dan Alma jauh lebih penting dari pada ego dan pandangan mereka sendiri.
Acara pernikahan itu dilanjutkan dengan meriah. Tawa dan senyum memenuhi ruangan, seakan seluruh dunia ikut merayakan cinta dua insan ini. Tepuk tangan dan sorakan menggema, membuat suasana di dalam gereja menjadi penuh dengan kebahagiaan. Willy dan Alma berdiri bersama di altar kebahagiaan mereka, siap untuk memulai kehidupan baru sebagai suami istri, meninggalkan segala masa lalu yang penuh dengan kesulitan, dan melangkah menuju masa depan yang penuh harapan.
Hari itu adalah hari yang akan selalu mereka ingat sebagai momen di mana cinta mereka akhirnya mendapatkan restu, tidak hanya dari keluarga, tetapi juga dari Tuhan dan seluruh dunia.
.
.
.
Di bawah langit cerah yang seolah tidak memberi isyarat akan malapetaka, Alma dan Willy melaju di sepanjang jalan tol, meninggalkan hiruk-pikuk kota di belakang mereka. Mereka baru saja menikah dua hari yang lalu, dan perjalanan bulan madu mereka menuju Paris seharusnya menjadi petualangan pertama mereka sebagai pasangan suami istri.
Namun, sejak pagi itu, ada perasaan yang tak enak bergelayut di hati Alma. Gelisah yang tak bisa ia jelaskan. Berkali-kali ia melirik Willy yang dengan senyum lebar menyetir di sampingnya, namun setiap kali Alma mencoba mengungkapkan kegelisahan hatinya, ia menahan diri.
“Ada apa, princess?” tanya Willy tiba-tiba sambil tersenyum, matanya tetap terpaku ke jalan.
Alma tersentak, ragu sejenak sebelum menjawab, “Tidak, aku hanya haus, prince,” jawabnya cepat. Alma berbohong, tidak ingin membuat suaminya khawatir.
Lagipula, ini hanyalah firasat yang tak berdasar, pikirnya. Mereka sedang dalam perjalanan bulan madu yang telah lama mereka impikan, seharusnya ia bahagia, bukan gelisah.
Willy tersenyum lagi, kali ini lebih lebar.
“Kita parkir saja di sana, aku akan membeli minuman untukmu. Atau, kita bisa makan siang dulu?” katanya sambil melihat sebuah area peristirahatan di depan. Tanpa menunggu jawaban, Willy mengarahkan mobilnya ke tepi jalan, menuju halte kecil yang cukup ramai oleh para pejalan kaki.
Mobil berhenti perlahan. Willy segera membuka pintu dan keluar tanpa melihat ke belakang.
BRAAAAKKK!!!
Alma terdiam, tubuhnya seolah membeku di tempat duduk. Di depan matanya, suaminya terpental jauh setelah tertabrak mobil yang melaju kencang dari arah lain. Tubuh Willy melayang sesaat di udara sebelum jatuh ke aspal dengan suara mengerikan. Jantung Alma serasa berhenti berdetak. Tangannya gemetar, matanya tak bisa berpaling dari tubuh Willy yang kini terbaring tak bergerak.
Semua terjadi begitu cepat. Hanya beberapa detik yang lalu mereka tertawa, dan sekarang... sekarang semuanya berubah menjadi mimpi buruk.
Orang-orang di sekitar halte mulai berlarian menuju tubuh Willy, tetapi Alma masih terjebak dalam kebisuan. Tubuhnya kaku, seolah tak mampu memproses apa yang baru saja terjadi. Dia hanya bisa melihat dari balik kaca jendela mobil, napasnya tersengal, hatinya mulai berteriak panik.
Air mata pertama jatuh dari pipinya.
Tanpa sadar, Alma membuka pintu mobil dengan tangan gemetar dan berlari ke arah tubuh Willy. Lututnya lemas ketika sampai di samping suaminya, dan ia jatuh berlutut di sampingnya. Darah mengalir dari kepala dan tubuh Willy, membasahi aspal yang panas.
"Tidak... TIDAK!" teriak Alma, suaranya pecah di tengah keramaian. Ia merengkuh tubuh Willy yang penuh luka dan darah, mengguncang-guncangkannya dengan harapan suaminya akan membuka mata.
"Jika kau bercanda, ini tidak lucu, Willy... Cepat bangun... hiks." Air mata Alma mengalir deras, membasahi wajah suaminya yang pucat.
“Kita masih punya banyak rencana, Willy... kita masih mau bulan madu ke Paris. Prince, jangan tinggalkan aku...” suaranya parau, bergema di antara suara kendaraan yang melintas di jalan.
Orang-orang di sekitar mereka hanya berdiri, menonton, beberapa dari mereka sibuk merekam kejadian itu dengan ponsel mereka, tetapi tak ada satu pun yang langsung membantu. Alma histeris, matanya liar mencari pertolongan.
"WILLY BANGUN... PRINCE!" teriaknya, memeluk tubuh Willy erat-erat.
Akhirnya, salah satu dari kerumunan mendekat. “Hubungi ambulans, cepat!” teriak seorang pria paruh baya, memecah kebisuan di antara para saksi mata. Perlahan, orang-orang mulai bergerak, ada yang menelepon ambulans, sementara yang lain mencoba mendekat dan membantu Alma mengangkat tubuh Willy.
Tak lama kemudian, suara sirene ambulans terdengar dari kejauhan. Petugas medis bergegas turun dan memeriksa kondisi Willy. Mereka dengan hati-hati mengangkat tubuhnya ke tandu, Alma berlari ke dalam ambulans, duduk di samping suaminya yang masih tak sadarkan diri.
Selama perjalanan ke rumah sakit, Alma terus menggenggam tangan Willy yang dingin, berdoa dalam hati agar suaminya selamat.
Setibanya di rumah sakit, Willy segera dilarikan ke ruang gawat darurat. Alma menunggu di luar ruangan, jantungnya berdegup kencang, tangannya terus gemetar. Setiap menit terasa seperti jam.
Waktu seolah berhenti sementara dunia di sekitarnya berjalan seperti biasa. Orang-orang berlalu lalang, suara langkah kaki dan percakapan terdengar samar-samar, tetapi Alma hanya bisa fokus pada satu hal—suaminya.
Setelah menunggu satu jam yang terasa seperti berjam-jam, pintu ruang gawat darurat terbuka. Seorang dokter keluar, menampakkan wajah yang serius, langkahnya berat. Alma berlari ke arahnya, hatinya dipenuhi harapan, meski kecil.
“Bagaimana keadaan suami saya, Dok? Apakah dia baik-baik saja?” tanyanya, suaranya penuh harap, meski matanya basah oleh air mata.
Dokter itu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Kami sudah berusaha sekuat tenaga... tapi takdir berkata lain.” Kalimat itu seperti pukulan keras di dada Alma. Ia terdiam, merasa seolah-olah dunianya runtuh dalam sekejap.
"Maafkan kami," lanjut sang dokter sambil menepuk lembut pundak Alma pelan, mencoba memberikan dukungan.
"TIDAK MUNGKIN!" Alma berteriak histeris, air mata mengalir deras di wajahnya.
"Tidak... tidak... dia tidak bisa meninggalkanku... kami baru saja menikah dan akan pergi berbulan madu!" Tubuhnya terasa lemas, dan ia jatuh berlutut di lantai rumah sakit. Pikiran bahwa Willy, suaminya, pria yang baru saja menikahinya dua hari yang lalu, telah pergi selamanya, terlalu sulit untuk diterima.
Di pikirannya, berputar semua momen yang mereka rencanakan bersama, bulan madu ke Paris, rumah yang ingin mereka bangun bersama, anak-anak yang mereka impikan. Semua itu kini terasa hancur. Willy telah pergi, dan Alma tidak tahu bagaimana caranya melanjutkan hidup tanpa dia, Alma selama ini terlalu bergantung kepada Willy.
Orang-orang di sekitar Alma hanya bisa menyaksikan dalam kebisuan.
Beberapa perawat mencoba membantunya berdiri, tetapi Alma tetap berlutut di depan pintu ruangan dimana Willy berada, hatinya dipenuhi kesedihan yang begitu dalam. Hanya ada satu hal yang memenuhi pikirannya… kehilangan Willy untuk selama nya.
Alma hanya bisa merasakan kehampaan saat ini. Paris, bulan madu mereka, semua impian itu kini hanya tinggal kenangan yang takkan pernah terwujud. Willy, suami yang ia cintai, telah pergi untuk selamanya, meninggalkan Alma dengan luka yang mungkin takkan pernah sembuh.
~Flashback end~
.
.
Alma duduk sendirian di halte, menatap kosong ke depan, membiarkan pikirannya tenggelam dalam penyesalan yang terus-menerus menghantui. Tetesan air matanya tak henti-hentinya jatuh, sementara hatinya berulang kali mengutuk kebodohannya.
“Seandainya saja aku tidak berbohong,” bisiknya, suaranya serak oleh tangisan.
"Seandainya saja aku tak memaksakan bulan madu, kejarian itu tidak akan terjadi. Seandainya aku tidak egois." Bisik nya lagi. Semua itu hanya menambah luka di hatinya, luka yang tak akan pernah sembuh.
Sejenak ia terdiam, membayangkan kehadiran Willy di sampingnya.
“Andai dia masih di sini,” gumamnya lirih, matanya menerawang jauh. "Andai semua bisa kuperbaiki."
Tiba-tiba, hujan deras kembali turun. Rintik-rintik hujan dan angin sepoi-sepoi yang dingin menusuk tulang seolah berbicara padanya, menyampaikan pesan yang hanya bisa dipahami oleh Alma.
Ia tersenyum pahit, teringat kebiasaan Willy yang selalu ceria setiap kali hujan datang.
"Kau tahu, sayang? Kau selalu bilang, hujan bisa mencuci segala kesedihan. Kau bilang, bila hujan datang, semua emosi yang kita pendam akan terbawa alirannya, hanyut bersama air hujan."
Alma menengadah ke langit, membiarkan air hujan membasahi wajahnya. Tapi tak ada yang terlarut, hanya ada rasa sakit yang makin dalam.
"Tunggu aku, Willy. Aku mencintaimu," bisiknya di antara isakan.
“Semoga saja di kehidupan selanjutnya, kita bisa bersama lagi. Sambut aku di sana.” Kalimat itu seperti mantra, berulang kali ia ucapkan di dalam hati. Ada kerinduan yang mendalam di balik kata-katanya, kerinduan yang tak pernah bisa dia lepaskan sejak kepergian Willy.
Setelah beberapa saat berlalu, Alma berdiri dengan langkah gontai, meninggalkan halte yang telah menjadi tempatnya merenung nya selama ini.
Ia berniat pulang ke rumahnya, rumah yang dibeli Willy sebagai hadiah pernikahan mereka. Rumah itu penuh kenangan, tapi tanpa Willy, hanya terasa seperti ruang kosong yang menjeratnya dalam kesendirian.
Langkahnya sedikit tergesa saat menyeberang jalan, pikirannya masih terperangkap dalam kenangan bersama Willy. Dia tak memperhatikan sekelilingnya, tak melihat lampu lalu lintas yang telah berubah menjadi merah. Di saat bersamaan, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, pengemudinya tampak panik, berusaha mengendalikan kendaraan yang meluncur tak terkendali di atas jalanan basah.
Ckiiitttt!
Suara decitan ban terdengar memekakkan telinga, diikuti oleh suara benturan keras.
Brakkk!
Tubuh Alma terpental ke udara, terhempas ke aspal basah. Dunia seolah berhenti sejenak. Orang-orang di sekitar terkejut, beberapa di antaranya menjerit, sementara pengemudi mobil keluar dengan wajah pucat pasi, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Di atas jalanan, tubuh Alma terbaring tak bergerak, hujan terus mengguyur tanpa henti, menyapu sebagian darah yang kluar dari beberapa bagian tubuh Alma. Pandangannya mulai kabur, tapi ia masih bisa merasakan dinginnya hujan di seluruh tubuhnya , seakan-akan Willy yang sedang menyambutnya dengan belaian lembut.
“Willy… aku akan menyusulmu,” gumamnya dengan napas yang tersisa, sebelum kesadarannya perlahan memudar. Baginya, semua penyesalan, semua rasa sakit, akhirnya akan berakhir. Hujan yang selalu dicintai Willy kini menjadi saksi terakhir perjalanan hidup Alma.
Alma menutup matanya, tersenyum, membayangkan dirinya dan Willy bersatu kembali di dunia yang lain.
Orang-orang mulai banyak yang berdatangan, melihat apa yang terjadi.
“Apa yang terjadi” tanya salah satu pejalan kaki kepada pedagang di sekitar tempat kejadian.
“Dia sudah cukup lama menunggu suami nya datang, kurasa suami nya kasihan padanya dan akhirnya menjemput nya” ujar pedagang itu, dan mendapat tatapan tidak mengerti dan bingung dari pejalan kaki tadi.
“Bahagialah kamu disana nak, kau sudah terlalu lama bersedih. Selamat jalan, aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk mu” ucap pedagang itu lirih.
Pedagang itu sudah melihat betapa gigih nya Alma menunggu suami nya, dan mungkin sudah saat nya sang suami menjemputnya.
Penduduk setempat meyakini bahwa halte ini sekarang bukan hanya sekadar tempat menunggu bus, tetapi juga menjadi saksi bisu dimana perjuangan Alma untuk menunggu suami nya pulang, dan halte ini sekarang di percaya setiap kali ada sepasang kekasih yang sedang dilanda masalah, jika salah satu dari mereka melewati atau duduk halte itu, secara ajaib masalah cinta mereka akan terselesaikan. Halte ini menjadi semacam tempat penuh harapan bagi mereka yang hatinya sedang kacau. Beberapa orang mengatakan bahwa mereka hanya perlu duduk di bangku halte itu, menunggu dengan sabar sambil memikirkan pasangannya. Ada juga yang percaya bahwa momen-momen kesendirian di halte itu membantu mereka merenungkan hubungan mereka, hingga akhirnya menemukan solusi.
.
.
.
…(Side story)…
Alma dan Willy duduk di balkon rumah mereka, ditemani angin sepoi-sepoi yang membawa aroma bunga dari taman. Malam itu, langit dihiasi bintang-bintang yang berkilauan, menciptakan suasana yang tenang dan intim di antara mereka. Alma bersandar di dada Willy, merasakan detak jantungnya yang stabil, seolah menjadi irama yang menenangkan hatinya. Obrolan ringan mereka tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam ketika Alma tiba-tiba bertanya dengan suara lembut,
"Hey, apa jika aku tak ada, kau akan sedih?"
Willy menghela napas dalam-dalam, menatap Alma dengan pandangan lembut namun penuh arti.
"Bicara apa kau?"jawabnya sambil mengelus rambut Alma lembut.
"Aku malah berharap aku saja yang pergi terlebih dahulu, karena aku tak akan sanggup hidup tanpamu." Perlahan, Willy menunduk dan mencium kening Alma, sebuah gestur kecil yang membuat Alma tertawa pelan, merasakan kehangatan dan cinta yang Willy pancarkan.
"Berarti kau akan meninggalkan aku sendiri di dunia ini?" tanya Alma, kali ini suaranya lebih serius, seolah ingin memastikan perasaannya.
Willy terdiam sejenak, lalu menundukkan wajahnya untuk menatap mata Alma dalam. Ia tersenyum lembut, senyuman yang selalu berhasil menenangkan hati Alma selama ini.
"Aku akan selalu menunggumu disana, dan kita akan bahagia kembali seperti disini" ujarnya penuh keyakinan. Suaranya tenang, namun ada rasa kesedihan yang tersirat di balik kata-katanya.
Alma menatap Willy dengan mata berkaca-kaca, bukan karena kesedihan, tapi karena cinta yang begitu besar.
"Baiklah,"katanya mantap.
"Setelah kau pergi, tak lama kemudian aku akan menyusulmu." Lanjut Alma yakin.
Willy terdiam mendengar jawaban Alma, merasa terharu dengan ketulusan cinta yang Alma ungkapkan. Ia meraih wajah Alma dengan kedua tangannya, mengusap lembut pipinya.
"Ya, aku akan menunggumu di sana, princess," ujarnya lembut sebelum mendekatkan bibirnya ke bibir Alma, mencium nya dengan penuh kasih sayang.
Setelah ciuman itu, Alma menyandarkan kepalanya di bahu Willy, dan mereka berdua terdiam dalam keheningan malam. Tidak ada kata yang perlu diucapkan lagi, karena mereka tahu bahwa cinta mereka lebih kuat dari apa pun, bahkan lebih kuat dari kematian.
"Kau tahu," ujar Alma perlahan, memecah keheningan.
"Aku selalu membayangkan, di sana nanti, kita akan memiliki sebuah taman yang lebih indah dari yang ada di sini. Kita akan berjalan berdua, tanpa khawatir tentang apa pun, hanya menikmati waktu yang tak terbatas."
Willy tersenyum, membayangkan gambaran yang Alma ciptakan.
"Ya, kita akan duduk di bawah pohon besar, memandang bintang-bintang, dan tidak ada lagi yang perlu kita khawatirkan," katanya.
alma mengangguk pelan, seolah setuju dengan khayalan mereka.
"Janji ya?" tanya Alma sambil menatap Willy, seolah butuh kepastian bahwa apa yang mereka bayangkan akan menjadi kenyataan.
"Janji," jawab Willy tegas, namun tetap lembut.
"Aku akan selalu menunggumu di sana, apapun yang terjadi."
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya, bukan karena waktu yang melambat, tetapi karena setiap momen yang mereka lalui bersama terasa begitu berharga. Di bawah langit malam, di tengah keheningan yang hanya diisi oleh suara alam, mereka berdua merasakan betapa kuatnya cinta yang mereka miliki—cinta yang tak terikat oleh waktu, tempat, atau bahkan kehidupan itu sendiri.
———————————————————————————
Note:
hallo semua, ini cerita pendek pertama ku, awalnya cerita ini akan ku buat menjadi sebuah novel tapi aku ingin tau bagaimana antusias kalian dengan cerita ini, jika ingin cerpen ini di jadikan cerita panjang komen yah, semoga kalian suka dengan cerita ini.
❤️~Happy reading guys~❤️