Aku tiba di sebuah rumah tua di pinggir desa, letaknya terpencil di ujung jalan yang berdebu. Rumah itu tak terlalu besar, hanya terdiri dari satu lantai dengan dinding-dinding kayu yang mulai lapuk. Di depan pintunya ada papan kecil bertuliskan "Rumah Singgah". Aku tersenyum samar, meletakkan ransel di punggungku, dan melangkah masuk. Di balik pintu itu, ada keheningan yang menyelimuti, namun juga kehangatan yang terasa meski sekilas.
Rumah Singgah ini adalah tempat yang kudengar dari banyak orang. Di sinilah para pelancong yang tersesat, atau mereka yang sekadar mencari ketenangan sejenak, datang dan tinggal untuk sementara. Tidak ada yang tahu siapa pemiliknya, tapi rumah ini selalu terbuka, seperti sebuah oase di tengah perjalanan yang panjang.
Aku memutuskan untuk bermalam di sini. Perjalanan yang kulakukan selama berminggu-minggu telah membuat tubuhku kelelahan. Kota demi kota telah kulewati, namun tujuan akhirku masih terasa jauh. Aku tak tahu apa yang sebenarnya kucari, hanya saja ada perasaan gelisah yang memaksaku untuk terus melangkah. Seolah-olah ada sesuatu di luar sana yang harus kutemukan.
Saat aku masuk, ruangan itu kosong, hanya ada meja kayu sederhana di tengah dan beberapa kursi yang mengelilinginya. Aroma kayu yang lembap bercampur dengan bau teh hangat yang baru saja diseduh memenuhi udara. Aku melihat secangkir teh di atas meja, mengepul perlahan.
“Silakan diminum,” suara seorang perempuan membuatku menoleh.
Di sudut ruangan, seorang wanita tua dengan senyum ramah berdiri. Rambutnya yang sudah memutih terikat rapi, wajahnya penuh keriput, tapi matanya bersinar penuh kehangatan. Aku tak mendengar langkah kakinya, namun kehadirannya seakan begitu alami di tempat ini.
“Kau pasti lelah,” katanya lagi, menggerakkan tangannya, menyuruhku duduk.
Aku tersenyum dan mengangguk, merasa segan tapi juga tak mampu menolak. “Terima kasih, Bu.”
Ia duduk di kursi yang berseberangan denganku, memperhatikanku dengan penuh perhatian saat aku menyeruput teh hangat itu. Rasanya begitu nikmat, hangat menyusup ke dalam tubuhku yang kelelahan.
“Banyak orang datang ke sini,” katanya perlahan, “mereka datang dan pergi, namun selalu meninggalkan sesuatu.”
Aku meletakkan cangkir teh, tertarik dengan perkataannya. “Meninggalkan sesuatu?”
Wanita tua itu mengangguk. “Setiap orang yang datang ke rumah ini membawa cerita mereka. Beberapa bercerita tentang kegembiraan, beberapa tentang kesedihan. Ada juga yang datang dengan hati yang hancur, mencari kedamaian.”
Aku terdiam, menatap wajahnya yang tampak begitu bijaksana. Entah mengapa, perkataannya terasa sangat relevan denganku. Aku memang datang dengan hati yang penuh beban, meski belum sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya kucari.
“Kau juga datang dengan sesuatu, bukan?” tanyanya lagi, kali ini matanya menatapku lebih dalam.
Aku tersenyum lemah. “Mungkin. Tapi aku belum tahu apa itu.”
Wanita itu mengangguk pelan. “Tak apa. Kadang kita tak tahu apa yang kita cari, tapi perjalanan itulah yang akan menuntun kita menemukan jawabannya.”
Aku terdiam sejenak, merenungkan kata-katanya. Mungkin benar, perjalanan yang kulakukan selama ini bukan hanya sekadar perjalanan fisik. Ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah pencarian yang bahkan aku sendiri belum memahami sepenuhnya.
“Berapa lama aku bisa tinggal di sini?” tanyaku akhirnya.
“Selama kau membutuhkan,” jawabnya sambil tersenyum. “Rumah Singgah ini selalu terbuka untuk siapa saja yang ingin singgah. Kau bisa tinggal selama yang kau mau, atau pergi kapan pun kau merasa siap.”
Aku mengangguk, merasa lega dengan jawabannya. Meski rumah ini sederhana, ada sesuatu yang menenangkan di dalamnya. Keheningan yang ada bukanlah keheningan yang menakutkan, melainkan ketenangan yang langka di tengah hiruk pikuk dunia luar.
Malam pun tiba, dan aku beristirahat di salah satu kamar kecil di belakang rumah. Tempat tidurnya sederhana, namun cukup nyaman. Aku bisa mendengar suara angin yang berdesir di luar jendela, menambah suasana sunyi namun damai. Di balik kegelapan malam, pikiranku mengembara, mengingat kembali apa yang telah kulalui selama ini.
Esok paginya, aku bangun dengan perasaan yang lebih segar. Setelah beberapa saat merenung, aku memutuskan untuk menjelajahi sekitar rumah. Di halaman belakang, ada kebun kecil yang ditanami berbagai tanaman obat dan bunga. Di tengah kebun, aku melihat seorang pria paruh baya duduk di bangku kayu, tangannya menggenggam secangkir teh, menatap jauh ke depan.
Aku menghampirinya perlahan. “Selamat pagi.”
Pria itu menoleh, tersenyum hangat. “Selamat pagi. Kau pelancong baru, ya?”
Aku mengangguk dan duduk di sebelahnya. Kami berbincang ringan, namun ada sesuatu dalam ceritanya yang membuatku semakin tersadarkan. Pria itu telah tinggal di Rumah Singgah ini selama beberapa hari. Ia seorang musafir seperti diriku, yang sedang mencari makna hidup setelah kehilangan orang-orang terkasih.
“Kau tahu,” katanya sambil menatap langit, “kadang kita terlalu sibuk mencari jawaban di tempat yang jauh, padahal seringkali jawabannya ada di dalam diri kita sendiri.”
Aku terdiam mendengarkan. Kata-katanya membuat pikiranku kembali mengembara, kali ini lebih dalam. Aku teringat mengapa aku memulai perjalanan ini—untuk melarikan diri. Melarikan diri dari rutinitas yang mengekang, dari rasa sakit yang belum sembuh, dari perasaan kehilangan yang selalu menghantui.
Namun, semakin jauh aku melangkah, semakin aku sadar bahwa aku tidak bisa terus melarikan diri. Mungkin, jawabannya memang ada di dalam diriku, tapi aku terlalu takut untuk menghadapinya. Rumah Singgah ini, dengan segala kesederhanaannya, memberi ruang bagiku untuk merenung, untuk sejenak berhenti dan menghadapi perasaanku sendiri.
Beberapa hari berlalu, aku masih tinggal di Rumah Singgah. Aku berbincang dengan beberapa pelancong lain yang datang dan pergi, mendengar cerita-cerita mereka, dan sedikit demi sedikit, aku mulai menemukan kedamaian dalam diriku sendiri. Bukan karena aku telah menemukan jawaban dari semua pertanyaan, tapi karena aku mulai memahami bahwa perjalanan ini bukan tentang menemukan jawaban yang pasti. Terkadang, cukup dengan menerima apa yang ada dan berdamai dengan diri sendiri.
Pada hari terakhirku, saat aku bersiap untuk melanjutkan perjalanan, wanita tua itu menemui aku lagi di pintu.
“Kau sudah siap pergi?” tanyanya dengan senyum lembut.
Aku mengangguk. “Ya. Terima kasih untuk semuanya.”
Wanita itu tersenyum hangat. “Ingatlah, Rumah Singgah ini selalu ada. Kapan pun kau butuh tempat untuk berhenti dan merenung, pintu ini akan selalu terbuka.”
Aku menatap rumah itu untuk terakhir kalinya, merasakan kehangatan yang pernah ditawarkannya. Rumah Singgah ini mungkin hanyalah sebuah tempat sementara, tapi dalam perjalananku, ia telah menjadi tempat di mana aku menemukan ketenangan, meski hanya sesaat.
Dengan perasaan lebih ringan, aku melangkah pergi, melanjutkan perjalanan yang masih panjang di depan sana.