Rumah itu berdiri angkuh di ujung jalan kecil yang dipenuhi pohon-pohon rindang. Catnya yang dulu cerah kini memudar, dinding-dindingnya mulai retak, namun di mataku, ia tetap rumah terindah yang pernah ada. Di sinilah, di antara tembok-tembok tua itu, kenangan kita tersimpan. Setiap sudutnya berbicara tentang kisah yang hanya kita berdua yang tahu.
Aku duduk di bangku kayu di teras rumah yang berderit setiap kali aku bergerak sedikit. Dulu, bangku ini sering jadi saksi perbincangan kita, tawa kita, bahkan tangis kita. Matahari senja mulai merambat turun, menyisakan semburat jingga di langit. Angin sore menyapa lembut, mengingatkanku pada hari-hari yang telah lama berlalu.
"Kamu ingat rumah ini?" suara itu tiba-tiba terdengar dari belakangku.
Aku menoleh. Di sana, berdiri kamu, orang yang dulu selalu menemaniku mengukir kenangan di rumah ini. Senyummu masih sama, meski sedikit ada bayang-bayang kesedihan di matamu. Sudah bertahun-tahun kita tak bertemu, namun semua terasa begitu akrab, seperti waktu tak pernah berlalu.
"Tentu saja aku ingat," jawabku dengan suara bergetar. "Bagaimana mungkin aku melupakan rumah ini?"
Kamu mendekat, duduk di sampingku. Untuk sesaat, kita hanya diam, membiarkan waktu seakan berhenti. Hanya desau angin dan kicauan burung yang mengisi keheningan. Aku bisa merasakan hatiku kembali bergejolak, seolah-olah aku kembali menjadi diriku yang dulu, yang penuh dengan harapan dan cinta.
"Kita pernah berjanji di sini, ingat?" katamu, memecah keheningan.
Aku mengangguk. “Ya, kita pernah berjanji untuk selalu bersama, apa pun yang terjadi. Janji anak-anak muda yang penuh mimpi.”
Kamu tersenyum tipis. "Tapi nyatanya, kita gagal memenuhi janji itu."
Kata-kata itu menghantamku lebih keras daripada yang kuduga. Memang benar, kita gagal. Hidup membawa kita ke arah yang berbeda. Aku dengan duniaku, kamu dengan duniamu. Cinta kita, yang dulu terasa begitu kuat, perlahan pudar di tengah kenyataan yang tak bisa kita hindari. Namun, meski cinta itu memudar, kenangan-kenangan di rumah ini tetap melekat di hatiku.
"Aku tak pernah menyalahkan siapa pun," kataku pelan. "Kadang, kita tak punya pilihan."
Kamu menatap jauh ke depan, ke arah halaman rumah yang dulu sering kita rawat bersama. "Rumah ini menyimpan terlalu banyak kenangan, ya? Setiap kali aku ke sini, rasanya seperti semua kembali. Seolah-olah kita masih dua anak muda yang belum mengerti kerasnya hidup."
Aku mengikuti arah pandangmu, melihat pohon mangga di sudut halaman. Dulu, kita sering duduk di bawah pohon itu, berbicara tentang mimpi-mimpi kita. Aku tersenyum pahit, mengingat betapa naifnya kita saat itu.
"Aku selalu bertanya-tanya," katamu tiba-tiba, "bagaimana jika kita tetap bersama? Apa hidup kita akan berbeda?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menggantung tanpa jawaban. Aku pun sering bertanya hal yang sama. Bagaimana jika aku tak memilih untuk mengejar karier di luar kota? Bagaimana jika kamu memutuskan untuk ikut bersamaku? Apakah kita akan tetap bersama, membangun rumah tangga yang bahagia di sini, di rumah kenangan ini?
"Tidak ada yang tahu," jawabku akhirnya. "Kita hanya bisa menebak-nebak. Hidup kita adalah pilihan yang kita buat, dan setiap pilihan ada konsekuensinya."
Kamu mengangguk pelan, seolah menerima jawabanku. Lalu, kamu berdiri, berjalan menuju pintu depan rumah. Aku mengikutimu dengan pandangan mata, mengenang bagaimana dulu kita sering masuk dan keluar dari pintu itu, tertawa dan berbicara tanpa henti.
"Masih ingat saat kita pertama kali masuk ke rumah ini?" tanyamu, tersenyum kecil.
Aku tertawa kecil. "Tentu saja. Kamu hampir terpeleset di pintu karena terlalu bersemangat."
"Dan kamu tertawa terbahak-bahak sampai kita harus berhenti selama beberapa menit hanya untuk menenangkan diri."
Kita berdua tertawa, mengenang kejadian konyol itu. Namun tawa itu segera menghilang, digantikan oleh kesunyian yang kembali menyelimuti kita. Kenangan-kenangan yang dulu terasa hangat kini membawa perasaan hampa. Aku tahu, tak ada yang bisa mengembalikan waktu. Tak ada yang bisa membuat semua ini seperti dulu lagi.
"Aku pernah berpikir untuk menjual rumah ini," katamu tiba-tiba, mengagetkanku.
Aku terdiam. Rumah ini? Dijual? Rasanya tak mungkin. Rumah ini adalah satu-satunya hal yang tersisa dari masa lalu kita. Namun, aku tahu kamu mungkin benar. Rumah ini hanyalah bangunan tua yang perlahan-lahan hancur dimakan waktu. Kenangan yang ada di dalamnya, seindah apa pun, tak bisa mengubah kenyataan bahwa segalanya telah berubah.
"Mungkin itu keputusan yang tepat," kataku akhirnya, meski hatiku terasa berat saat mengucapkannya.
Kamu menghela napas panjang. "Tapi bagian dari diriku masih tak ingin melepaskannya. Aku selalu merasa, selama rumah ini masih ada, kenangan kita masih hidup."
Aku menatapmu, mencoba memahami perasaanmu. Rumah ini memang lebih dari sekadar bangunan bagi kita. Ia adalah simbol dari masa lalu kita, dari cinta yang pernah ada. Namun, pada akhirnya, aku tahu kita harus melepaskan masa lalu untuk bisa benar-benar maju.
"Mungkin, sudah saatnya kita membuat kenangan baru," kataku lembut.
Kamu menatapku lama, seolah-olah sedang memikirkan kata-kataku. Lalu, kamu tersenyum, senyum yang begitu akrab namun juga terasa asing. "Mungkin kamu benar."
Kita kembali duduk di bangku kayu itu, menikmati senja yang semakin memudar. Aku tahu, ini mungkin terakhir kalinya aku duduk di sini bersamamu. Terakhir kalinya aku merasakan kehangatan rumah ini, kehangatan yang dulu pernah kita ciptakan bersama.
Ketika malam mulai turun, kamu berdiri. "Aku harus pergi," katamu.
Aku mengangguk, meski hatiku ingin kamu tinggal lebih lama. "Terima kasih sudah datang."
Kamu tersenyum lagi, lalu perlahan berjalan meninggalkanku, meninggalkan rumah itu. Aku menatap punggungmu sampai kamu hilang di tikungan jalan, merasa seolah-olah sebagian dari diriku ikut pergi bersamamu.
Kini, aku sendirian di rumah kenangan ini. Aku tahu, waktu tak bisa diputar kembali, dan rumah ini tak akan selalu ada. Namun, selama aku masih bisa mengingat, kenangan itu akan selalu hidup. Aku, kamu, dan rumah kenangan itu akan selalu ada di suatu sudut hati yang tak tersentuh oleh waktu.
Dan meski kamu tak lagi ada di sisiku, aku tahu kita pernah ada di sini, bersama, menciptakan kenangan yang akan selalu abadi.