Mentari mulai tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat oranye yang indah di langit Kota Jakarta. Di tengah hiruk-pikuk jalanan, seorang wanita berusia awal 30-an, berlari-lari kecil di trotoar, menuju halte bus. Namanya adalah Kartika, seorang ibu tunggal dengan dua anak yang bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan. Meski wajahnya terlihat lelah, matanya memancarkan semangat yang tak pernah padam.
Sejak suaminya meninggal dalam kecelakaan dua tahun lalu, hidup Kartika berubah drastis. Sebagai kepala keluarga, ia harus menggantikan peran suaminya sekaligus tetap menjalankan tugasnya sebagai ibu. Bagi Kartika, hari-harinya penuh dengan tantangan: mengurus anak-anak, bekerja tanpa henti, dan berjuang melawan stigma masyarakat tentang ibu tunggal. Namun, di balik semua itu, Kartika selalu berusaha untuk tetap kuat dan tegar, meski di dalam hatinya sering kali terasa berat.
•••
Hari itu, setelah mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, Kartika langsung bergegas menuju kantor. Pekerjaan di perusahaannya sedang sangat menumpuk, dengan deadline yang semakin dekat. Sejak ia dipromosikan menjadi manajer proyek setahun lalu, tanggung jawabnya semakin besar. Meski begitu, Kartika selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk membuktikan bahwa ia layak berada di posisi tersebut.
Di kantornya, semua orang menghormati Kartika. Ia dikenal sebagai sosok yang cerdas, tegas, dan tidak mudah menyerah. Namun, ada satu orang yang selalu meragukan kemampuan Kartika: Pak Hendro, salah satu direktur di perusahaan tersebut. Bagi Pak Hendro, Kartika hanyalah "wanita lemah" yang tidak mungkin bisa menjalankan proyek sebesar ini.
"Pekerjaan ini bukan untuk seorang wanita, apalagi ibu tunggal seperti dia. Bagaimana bisa dia fokus kalau di rumah saja dia sudah sibuk mengurus anak-anak?" desis Pak Hendro kepada koleganya suatu hari, saat melihat Kartika sedang berbicara dengan timnya di ruang rapat.
Kartika sering mendengar bisikan-bisikan semacam itu. Awalnya, hal itu membuatnya marah dan sakit hati. Tapi semakin lama, ia belajar untuk tidak peduli. Ia tahu bahwa ia mampu, dan tidak ada yang bisa menghentikannya selain dirinya sendiri.
•••
Suatu hari, perusahaan tempat Kartika bekerja mendapatkan proyek besar dari salah satu klien internasional. Proyek ini bisa menjadi kesempatan besar bagi perusahaan untuk mengembangkan sayap ke pasar global. Kartika ditunjuk untuk memimpin proyek tersebut—sebuah keputusan yang tentu saja membuat Pak Hendro tidak senang.
"Apakah kamu yakin bisa meng-handle ini, Kartika?" tanya Pak Hendro dengan nada meremehkan saat mereka sedang rapat dengan para pemegang saham. "Ini bukan proyek biasa. Kesalahan kecil saja bisa menghancurkan reputasi kita."
Kartika menatapnya dengan tenang. "Saya yakin, Pak. Saya dan tim sudah menyiapkan strategi yang matang. Kami tahu tantangan yang akan dihadapi dan siap untuk mengatasinya."
Pak Hendro hanya mendengus, lalu mengalihkan pandangannya. Tapi Kartika tidak peduli. Ia tahu bahwa keraguan itu bukan hal baru baginya, dan ia tidak akan membiarkan hal itu mempengaruhi kinerjanya.
Selama beberapa bulan berikutnya, Kartika bekerja keras tanpa henti. Setiap pagi ia bangun lebih awal untuk mengurus anak-anaknya, menyiapkan sarapan, dan memastikan mereka siap untuk sekolah. Setelah itu, ia langsung ke kantor, mengatur timnya, membuat keputusan penting, dan memastikan bahwa proyek berjalan sesuai rencana. Meski kadang merasa kelelahan, Kartika selalu menyempatkan waktu untuk menjemput anak-anaknya pulang sekolah dan menghabiskan waktu bersama mereka.
Anak-anak Kartika, Rani dan Bimo, meski masih kecil, selalu tahu bahwa ibu mereka adalah wanita yang luar biasa. Rani, yang berusia 10 tahun, sering membantu ibunya dengan pekerjaan rumah. Sementara Bimo, yang baru berusia 7 tahun, selalu menyemangati Kartika dengan senyum polosnya.
"Ibu, kamu kuat sekali. Aku mau jadi seperti ibu kalau besar nanti," kata Rani suatu malam saat mereka sedang makan malam bersama.
Kartika tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. "Terima kasih, sayang. Ibu hanya ingin kalian tahu bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin jika kita bekerja keras dan tidak menyerah."
•••
Namun, seperti pepatah yang mengatakan bahwa badai pasti datang, suatu hari Kartika dihadapkan pada masalah besar. Di tengah-tengah proyek, salah satu pemasok utama mereka menarik diri karena masalah internal. Tanpa pemasok tersebut, proyek ini terancam gagal. Semua orang di tim Kartika panik, termasuk Pak Hendro yang semakin meragukan kemampuan Kartika.
"Apa yang aku bilang? Proyek ini terlalu besar untukmu. Kamu sudah membuat kesalahan besar, Kartika," kata Pak Hendro dengan nada dingin saat rapat darurat.
Kartika merasakan tekanan besar, tapi ia tidak membiarkan rasa takut itu menguasainya. Ia tahu bahwa ini adalah ujian terberat yang harus ia hadapi, dan ia tidak bisa mundur sekarang. Malam itu, setelah pulang ke rumah dan menidurkan anak-anaknya, Kartika duduk di ruang tamu dengan setumpuk dokumen di depannya. Ia berpikir keras, mencari solusi untuk masalah ini.
Dalam keheningan malam, Kartika mengingat kembali nasihat yang sering diberikan oleh almarhum suaminya. "Hidup ini penuh dengan tantangan, tapi bukan berarti kita harus menyerah. Selalu ada jalan keluar, selama kita mau berusaha dan tidak takut untuk mencoba."
Dengan tekad yang baru, Kartika bangkit dari duduknya dan mulai menyusun rencana cadangan. Ia menelepon beberapa kontak lama, mencari alternatif pemasok, dan berdiskusi dengan timnya tentang solusi terbaik. Ia tidak tidur malam itu, tapi pagi harinya, ia sudah memiliki rencana yang matang.
Saat rapat keesokan harinya, Kartika mempresentasikan rencana barunya dengan penuh percaya diri. Semua orang terkejut dengan kecepatan dan ketegasan Kartika dalam menghadapi masalah ini, termasuk Pak Hendro yang tak lagi bisa menyembunyikan rasa kagumnya.
•••
Beberapa bulan kemudian, proyek besar tersebut berhasil diselesaikan dengan hasil yang lebih baik dari yang diharapkan. Perusahaan meraih kesuksesan besar, dan nama Kartika disebut-sebut sebagai salah satu faktor kunci di balik keberhasilan itu. Semua orang memuji kerja keras dan kepemimpinannya, termasuk Pak Hendro yang akhirnya mengakui bahwa ia telah salah menilai Kartika.
"Kamu sudah membuktikan dirimu, Kartika. Aku salut dengan keteguhanmu," kata Pak Hendro suatu hari saat mereka bertemu di kantor.
Kartika hanya tersenyum. Baginya, pengakuan itu bukanlah tujuan utama. Yang paling penting adalah bahwa ia telah membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia bisa menghadapi badai, apa pun bentuknya.
•••
Di rumah, saat malam tiba dan anak-anaknya sudah tidur, Kartika duduk di balkon, menikmati semilir angin malam. Ia memikirkan perjalanan hidupnya selama beberapa tahun terakhir—semua tantangan, kesedihan, dan kelelahan yang ia alami. Tapi di balik semua itu, ada rasa bangga yang luar biasa. Ia telah melewati semuanya dengan kepala tegak, dan yang lebih penting, ia tidak pernah menyerah.
"Terima kasih, Tuhan," bisik Kartika dalam hati. "Untuk kekuatan yang Kau berikan, untuk anak-anakku yang selalu menjadi alasan bagiku untuk terus bertahan."
Dan di malam yang tenang itu, Kartika tahu bahwa apa pun yang akan terjadi di masa depan, ia akan selalu bisa menghadapinya dengan tegar. Karena ia bukan hanya seorang wanita; ia adalah wanita kuat yang telah ditempa oleh kehidupan, dan ia akan terus berdiri teguh di tengah badai.
***
TAMAT.