Lana berdiri di tengah-tengah laboratorium kecil yang berantakan. Peralatannya tersebar di mana-mana—kabel, monitor, dan komponen-komponen elektronik. Di tengah ruangan berdiri sebuah mesin besar berbentuk silinder, dengan panel kontrol yang penuh tombol dan layar digital berkedip-kedip. Cahaya biru memancar dari mesin itu, menciptakan suasana misterius di dalam ruangan.
“Apakah kamu yakin ingin melakukannya, Lana?” tanya Edo, sahabat sekaligus rekannya dalam proyek penelitian ini.
Lana menatap mesin tersebut dengan penuh tekad. “Aku sudah mempersiapkan ini selama bertahun-tahun, Edo. Ini adalah satu-satunya cara untuk mengetahui apakah teori kita benar.”
Mereka berdua adalah ilmuwan muda yang telah menghabiskan sebagian besar hidup mereka meneliti konsep perjalanan waktu. Teori yang mereka kembangkan berdasarkan fisika kuantum dan energi gelap, menyimpulkan bahwa dimensi waktu dapat dilipat dan diakses melalui celah-celah tertentu di ruang-waktu. Selama ini, mereka hanya berhipotesis, namun sekarang, di depan mereka adalah mesin yang bisa mengubah segalanya—mesin yang mungkin bisa membawa manusia melampaui batas waktu.
Edo menghela napas, masih ragu. “Kalau sesuatu yang buruk terjadi, kita tidak punya cara untuk membawamu kembali.”
Lana menatap sahabatnya dengan senyum tipis. “Aku tahu risikonya. Tapi jika kita berhasil, ini akan menjadi lompatan terbesar dalam sejarah manusia.”
Dengan langkah pasti, Lana mendekati mesin itu, mengenakan alat pengaman berupa helm yang tersambung ke berbagai sensor. Dia memasang sabuk di pinggangnya, lalu menekan beberapa tombol pada panel kontrol. Edo memantau dari monitor di sebelahnya, mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan keamanan percobaan.
"Mesin ini akan mengirimmu 20 tahun ke masa depan," ujar Edo sambil mengecek lagi pengaturan yang sudah mereka tetapkan.
Lana hanya mengangguk, jantungnya berdegup kencang. Segala kemungkinan terlintas di benaknya—bagaimana jika teori mereka salah? Bagaimana jika masa depan yang ia temui tidak seperti yang ia bayangkan? Tetapi rasa penasaran dan hasrat untuk mengetahui lebih kuat daripada ketakutannya.
“Siap?” tanya Edo.
“Siap,” jawab Lana tanpa ragu.
Edo menekan tombol terakhir pada panel kontrol, dan mesin itu mulai berdengung keras. Cahaya biru yang awalnya hanya berpendar ringan kini semakin terang, membanjiri ruangan dengan cahaya menyilaukan. Suara berdesis terdengar di udara saat mesin itu mulai membuka celah di antara dimensi waktu.
Tubuh Lana mulai terasa ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Ia merasa seolah-olah sedang tersedot ke dalam pusaran energi yang tak berbentuk, membuat seluruh tubuhnya seakan meleleh ke dalamnya. Semakin kuat tarikan itu, semakin ia kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat.
Dalam sekejap, semuanya menjadi gelap.
•••
Lana terbangun di tengah jalan yang asing. Lingkungan di sekitarnya terlihat seperti kota yang ia kenal, tetapi dengan beberapa perbedaan mencolok. Gedung-gedung lebih tinggi, kendaraan yang melintas tidak mengeluarkan suara, dan teknologi tampak lebih canggih. Orang-orang berjalan dengan pakaian futuristik, beberapa di antaranya membawa perangkat aneh di tangan mereka yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
"Aku berhasil," bisik Lana pada dirinya sendiri, nyaris tidak percaya.
Ia berjalan di sepanjang trotoar, mencoba mencerna semuanya. Di kejauhan, ia melihat layar raksasa yang menampilkan tanggal: **16 September 2044**. Dua puluh tahun telah berlalu sejak hari terakhir ia ingat. Dunia ini terasa seperti mimpi—modern, maju, tetapi dengan atmosfer yang aneh, sepi, dan dingin.
Ia terus berjalan, berharap bisa menemukan sesuatu yang familiar. Saat ia mendekati sebuah taman kota, matanya tertumbuk pada sosok seorang wanita tua yang sedang duduk di bangku, menatap lurus ke depannya. Ada sesuatu yang aneh dengan wanita itu—wajahnya tampak familier, tetapi Lana tidak bisa langsung mengenalinya.
Dengan hati-hati, Lana mendekat. Semakin dekat ia melihat wanita itu, semakin jelas perasaan deja vu yang ia rasakan. Hingga akhirnya, ketika ia benar-benar berdiri di depan wanita itu, Lana tersentak kaget. Wanita tua itu… adalah dirinya sendiri.
Lana terdiam, terpaku di tempatnya. Wanita tua itu menoleh perlahan, dan mata mereka bertemu. Mata yang dalam, dipenuhi kerutan, tetapi dengan kilatan yang tak asing—kilatan yang pernah Lana lihat setiap kali ia bercermin.
“Kamu sudah datang,” ujar wanita tua itu dengan suara pelan, hampir berbisik. Suaranya parau, namun jelas. “Aku sudah menunggumu.”
Lana gemetar. “Siapa… siapa kamu?”
Wanita tua itu tersenyum lemah. “Aku adalah kamu, Lana. Dari masa depan.”
Lana merasa seluruh tubuhnya melemas. “Bagaimana mungkin? Kenapa aku di sini? Apa yang terjadi?”
Wanita tua itu menghela napas panjang. “Kamu tidak akan mengerti semuanya sekarang, tapi dengarkan aku baik-baik. Perjalanan waktu yang kamu lakukan bukan hanya sekedar melompati tahun. Ada konsekuensi yang lebih besar dari apa yang kamu bayangkan.”
Lana mundur selangkah, mencoba mencerna kata-kata wanita itu. “Apa yang kamu maksud dengan ‘konsekuensi’? Apakah aku merusak sesuatu?”
Sang wanita tua menggeleng pelan. “Tidak, kamu tidak merusak apa-apa. Tapi kamu membuka sesuatu yang seharusnya tetap terkunci.”
“Lalu apa yang akan terjadi? Apa yang aku lakukan di sini?” Lana bertanya dengan nada penuh ketakutan.
Wanita tua itu menatapnya dalam-dalam. “Kamu adalah bagian dari lingkaran yang tidak bisa diputus. Setiap kali kamu melompati waktu, kamu menciptakan versi dirimu sendiri di masa depan. Setiap kali kamu kembali, kamu tidak pernah benar-benar pulang ke dunia yang sama. Ada cabang-cabang waktu yang kamu ciptakan, dan salah satunya selalu terjebak di sini—di masa depan.”
Lana terdiam. Semua yang ia pelajari tentang perjalanan waktu tiba-tiba terasa begitu kecil dibandingkan dengan kenyataan yang ia hadapi sekarang. “Jadi… aku akan terus melompat, selamanya?”
Wanita tua itu mengangguk pelan. “Hingga saat ini, tidak ada cara untuk menghentikannya. Setiap kali kamu melakukan perjalanan, kamu meninggalkan satu versi dirimu di masa depan. Dan yang paling menyakitkan, versi dirimu yang tertinggal di sini akan selalu menunggu, berharap untuk kembali, tapi tidak pernah bisa.”
Lana merasakan dingin menyelusup ke dalam hatinya. Dia menatap wanita tua itu—versi dirinya yang telah kehilangan harapan, terperangkap dalam lingkaran waktu tanpa akhir. “Apakah ini benar-benar takdirku?” tanyanya dengan suara lirih.
Wanita tua itu hanya tersenyum pahit. “Kamu yang memutuskan untuk memulainya, Lana. Sekarang kamu harus memilih: apakah kamu akan terus mengejar jawaban tentang waktu, ataukah kamu akan menghentikan ini semua sebelum terlambat.”
Lana terdiam, bergulat dengan perasaannya sendiri. Di satu sisi, rasa penasarannya begitu besar, menginginkan jawaban lebih lanjut tentang perjalanan waktu dan misteri di baliknya. Tetapi di sisi lain, ia tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya terjebak dalam lingkaran tanpa akhir.
Lana memutuskan untuk kembali ke masa asalnya, berharap ada cara untuk menghentikan siklus ini. Tetapi ia tahu bahwa keputusan ini akan membawanya pada pilihan yang lebih sulit.
Saat ia menekan tombol untuk kembali, Lana sadar bahwa waktu bukanlah garis lurus—melainkan lingkaran yang akan terus berulang.
***
Tamat