Malam itu, hujan deras mengguyur kota kecil tempat Arman tinggal. Kilat sesekali menyambar langit, disusul gemuruh guntur yang seolah memecah malam yang sunyi. Arman menatap keluar jendela apartemennya di lantai tiga, merasakan kecemasan yang tak jelas asalnya. Hujan seharusnya menenangkan, tapi malam ini ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Jam di dinding menunjukkan pukul 11 malam. Arman meraih cangkir kopi di meja, namun ketika hendak meminumnya, suara ketukan terdengar dari luar pintu. Arman tersentak, merasa aneh. Tidak ada tamu yang datang larut malam seperti ini, dan dia tidak menunggu siapa pun. Dengan hati-hati, dia berjalan menuju pintu, mendekatkan telinganya.
“Ktok... ktok... ktok...” suara itu terdengar pelan, nyaris seperti bisikan. Arman menahan napas.
Ia menatap peephole di pintu, tapi tidak ada siapa pun di luar. Ketukan berhenti. Jantungnya berdebar cepat. Ada perasaan ganjil yang menyelimuti ruangan, seperti udara terasa lebih dingin dari biasanya.
“Siapa di luar?” tanyanya, suaranya bergetar.
Tidak ada jawaban. Perlahan, dia memutar kenop pintu, membukanya sedikit, hanya cukup untuk mengintip keluar. Koridor apartemen tampak kosong. Lampu di lorong menyala, tapi anehnya, ada bayangan panjang yang bergerak di ujung koridor. Bayangan itu melintasi dinding, meskipun tak ada benda atau orang yang dapat menyebabkan bayangan tersebut.
“Tidak mungkin...” bisik Arman pada dirinya sendiri.
Lorong itu lurus, tanpa belokan, dan apartemen di ujung koridor sudah lama kosong. Arman pernah mendengar beberapa rumor tentang tempat itu, tentang bagaimana penghuni sebelumnya meninggalkan apartemen dengan terburu-buru setelah mengalami hal-hal aneh. Tapi dia tidak pernah terlalu memedulikan cerita-cerita itu. Hingga malam ini.
Rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Arman keluar dari apartemennya, berjalan perlahan di sepanjang lorong yang panjang dan sempit. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah-olah ada sesuatu yang tak kasat mata menahan tubuhnya. Suara hujan terdengar semakin jauh, digantikan oleh kesunyian yang menakutkan.
Ketika dia hampir mencapai ujung lorong, bayangan itu berhenti. Namun, kali ini, bayangan itu tampak lebih jelas. Bukan hanya sekadar bayangan hitam, tapi terlihat seperti sosok manusia—seorang wanita dengan rambut panjang tergerai, berdiri memunggungi Arman. Dia mengenakan gaun putih yang kusut, tapi bagian bawah gaunnya tampak basah, seperti habis melewati air atau lumpur.
“Permisi,” suara Arman serak, berusaha menenangkan dirinya.
Sosok itu tak bergerak. Arman berdiri di sana, hanya beberapa meter dari bayangan itu, menahan napasnya. Udara di sekeliling terasa semakin dingin, dan tiba-tiba bau anyir yang sangat kuat memenuhi hidungnya, membuat perutnya mual.
Tanpa peringatan, wanita itu berbalik. Arman terdiam, tubuhnya membeku dalam ketakutan. Wajah wanita itu... tidak ada. Hanya sebuah rongga gelap di tempat seharusnya ada mata, hidung, dan mulut.
Dalam sepersekian detik, wanita itu bergerak dengan kecepatan tak terduga, meluncur ke arah Arman. Ia ingin berlari, berteriak, tapi tubuhnya terasa kaku. Bayangan itu sudah berada tepat di hadapannya. Tangannya yang dingin dan basah menyentuh wajah Arman, meninggalkan jejak dingin di kulitnya.
Arman merasa seolah-olah seluruh ruangan berputar. Kepalanya berdenyut, pandangannya mengabur, dan dalam kegelapan yang semakin menyelimuti, dia hanya bisa mendengar bisikan samar.
“Selalu ada harga untuk penasaran…”
Saat Arman tersadar, dia terbaring di lantai apartemennya sendiri. Hujan masih mengguyur di luar jendela, namun kini suara itu terdengar seperti jauh, hampir tak nyata. Tubuhnya menggigil, keringat dingin membasahi dahinya. Apa yang baru saja terjadi? Apakah itu nyata?
Dia mencoba bangkit, tapi lututnya lemas. Namun, sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, matanya tertuju pada sesuatu di cermin besar di sudut ruangan.
Bayangan itu masih ada.
Di dalam cermin, sosok wanita tanpa wajah itu berdiri diam, menatapnya dari balik permukaan kaca, tak bergerak. Tapi kali ini, dia bukan hanya bayangan.
Dia ada di sini. Bersamanya.
***
Tamat.