Saat ini bel Istirahat berbunyi, keriuhan di dalam kelas tak berhenti hingga teman-teman lainnya benar-benar hilang tak tersisa, mengesampingkan duo sahabat yang terlalu asik dengan dunia mereka sendiri.
“Aku tidak gila, Irene. Dia memang ada, selalu di sampingku, anehnya cuman aku yang bisa melihatnya!”
Tanpa kata-kata Aming yang begitu melekat pada hatinya, Melisa mungkin tidak akan mengungkapkan apapun kepada sahabatnya, Irene.
Seandainya dihadapkan pada pilihan seberapa menakutkan antara mengungkapkan ini kepadanya atau menahan perasaan itu sepenuhnya, Melisa cenderung memilih yang terakhir karena terasa lebih mudah untuk dihadapi.
"Irene, tahukah kamu mengapa aku mendekatimu begitu tiba-tiba saat itu? Padahal, pada awalnya, hanya memandangmu saja membuatku tak berani," ujar Melisa dengan suara getir, kepala tertunduk.
Irene yang duduk di sebelahnya tidak memberikan respon, seolah-olah dia tidak hadir di sana. Namun, tangannya tetap sibuk mencoret-coret tangan melisa dengan pulpen, meninggalkan jejak-jejak yang kontras dengan sikapnya yang pura-pura tidak peduli. Meskipun begitu, Melisa menyadari bahwa Irene sebenarnya penasaran dan tengah mendengarkannya.
"Aming yang menyuruhku berteman denganmu. Dia mengatakan kamu itu baik, bahkan akan menuntunku ke jalan yang baik juga," kemudian Melisa tersenyum.
"Lihat, sekarang itu sudah terbukti. Aku yang dulu hampir hilang, hanya aku sekarang yang bisa melihat cuaca yang menyengat dengan bahagia, bahkan kamu juga terheran-heran, kan?"
Tetapi, Melisa menyadari bahwa bukan itulah yang diinginkannya, karena sebagai bahan bakar untuk kebahagiaannya, Amingnya benar-benar pergi.
Sebenarnya, bukan haknya untuk mengeluh mengapa Amingnya pergi begitu tiba-tiba. Karena pada awalnya, Aming juga muncul dalam hidupnya secara tiba-tiba.
Melisa tidak bisa berhenti bersyukur karena dia ada di saat itu. Jika dia tidak ada pada saat itu, Melisa sekarang mungkin bukanlah Melisa yang dikenal saat ini.
Melisa teringat akan ekspresi suram Aming saat dia mengamatinya dari atas ke bawah pada pertemuan pertama mereka.
Iris coklat mudanya yang indah tidak sepenuhnya mencerminkan dirinya sebagai manusia. Melisa, pada kenyataanya, telah menyadari hal ini sejak awal, tetapi dia memilih untuk mengabaikannya.
Melisa kecil menyadari bahwa dia berbeda dari teman sebayanya. Ketika teman sebayanya menangis, meminta dibelikan boneka lucu, atau selalu mengeluh ingin sesuatu kepada orang tua, Melisa tidak pernah melibatkan diri dalam tindakan serupa. Seakan merasa ragu apakah ia memiliki keinginan tertentu pada saat itu atau mungkin, pada kenyataannya, tidak ada keinginan pada dirinya.
Melisa sendiri sulit tersenyum, apalagi menangis. Hanya mengeluarkan sedikit emosinya saja sudah menguras banyak tenaganya, sehingga dia memilih untuk bermuka datar. Meskipun bisa berbicara, namun kemampuannya tidak begitu lancar karena selalu merasa dilema terkait suaranya yang kecil, menimbulkan rasa malu pada dirinya.
Di otak kecilnya, hanya satu pemikiran yang membuatnya tetap bisa berdiri teguh akan kehidupan dibawah hatinya yang sangat hampa. 'Ibu dan Ayah sangat menginginkan hidupku bahagia di masa depan, tetapi aku tidak tahu apa yang bisa membuatku sangat bahagia, maka aku akan membuat kebahagiaanku merupakan kebahagiaan mereka.'
Begitulah kehidupan Melisa setiap harinya, membuat dirinya sebagai lelucon total yang menimbulkan gelak tawa di tempat yang di sebutnya rumah, namun di lingkungan luar, dia hanya bisa membanggakan mereka dengan prestasi akademiknya yang tinggi. Bergaul dengan seseorang selain keluarganya sangatlah sulit baginya, sehingga kata “Teman” merupakan istilah yang sangat asing dan ragu-ragu ia dapatkan dalam hidupnya karena pemikiran anehnya sendiri.
Jadi, ketika seorang lelaki asing yang berpakaian aneh mengatakan dia adalah teman rohnya, Melisa sangat bingung hingga melupakan perkenalan identitas Aming yang sebenarnya dan menganggap dia setara. Karena bagi Melisa, seseorang yang mau berteman lama dengannya adalah orang yang sama dengannya.
Setelah kedatangan Aming dalam hidupnya, Melisa sudah mahir mengungkapkan emosinya. Tawa tanpa paksaan, marah, menangis tersedu-sedu, malu, geram, penasaran atau emosi saat iri dan menginginkan sesuatu, semua sangat mudah dia keluarkan. Sehingga Aming, sang guru yang selalu memancing beberapa emosinya, merasa menyesal melakukan itu.
“Aku tidak tahu kamu memiliki emosi yang begitu kaya hingga terasa berlebihan bagiku sang ahli emosi, Melisa.”Cemooh Aming yang sudah lelah dengan lelucon emosional Melisa.
“Sekarang menangis begitu gila karena karakter fiksi kesayanganmu mati, besok apakah kamu akan melompat bahagia dari atap karena mereka tiba-tiba hidup kembali? Aku merasa iri kalau begitu.”
Seorang Melisa yang sudah merasa terpelajar secara emosi, langsung tahu dari dalam apa yang tersirat dari kata-kata Aming.
Dia mengubah wajahnya yang berlinang air mata menjadi senyum yang secemerlang mentari, menjadikan suasana suram berubah cerah, dan memuji, “Itu semua berkat ajaranmu Guru, Bukannya tidak baik memendam emosi karena itu sama saja merusak diri sendiri? Aku murid yang baik jadi selalu menuruti pengajaran dari guruku tercinta.”
Saat itu melisa melihat Amingnya tertegun, kemudian mata coklat mudanya yang indah menekuk, membentuk garis lengkung bersamaan dengan tawanya.
Melisa saat itu mungkin tidak tahu peraraan bangga dan lega yang dipancarkan lelaki itu. Yang paling di ingat Melisa mungkin perkataannya yang sebatas lalu.
“Kalau kamu sebegitu senangnya memanggilku Guru, maka kamu harus mencari seorang teman lain. Guru yang baik tidak bersikap setara dengan muridnya.”
Dan pada akhirnya Aming memilih Irene yang mempunyai aura positif, pandai merawat teman, dan yang paling penting tidak begitu memiliki teman lelaki dilingkaran pertemanannya.
Melisa yang tidak pernah terjun di lingkaran sosial harus mempunyai lingkaran sosial yang positif sebagai jalan baginya agar tidak berpandangan buruk kepada orang lain.
“Cobalah dekati gadis yang suka membeli makanan manis di sebelah bangkumu. Jika dia merasa nyaman meski kamu bersikap aneh lagi, maka dia cocok menjadi temanmu, sepertiku.” Seru Aming yang menyemangati Melisa yang sangat gugup.
Melisa marah tentunya, tetapi dia juga bersemangat, membayangkan betapa menyenangkannya mempunyai teman lagi seperti Aming. Seenggan-enggannya Melisa bergaul dengan seseorang, dia tetaplah seorang remaja yang membutuhkan interaksi antar teman untuk perkembangan kehidupannya nanti.
Dan kenyataan bahwa Irene seperti yang di katakan Aming, maka Melisa mempunyai teman baru, bisa dikatakan teman barunya dikehidupan nyata? Aming mungkin bisa dianggap temannya, tapi dia juga bisa dianggap bukan seorang teman.
“Tetapi 3 minggu setelahnya, aku sering menyadari Aming menghilang tiba-tiba. Aku begitu asik denganmu dan yang lainnya sehingga beberapa waktu melupakan keberadaan Aming. Kadangkala aku hanya melihatnya ketika sedang sendiri. Tapi dia jarang berbicara dan terlihat sangat suram,” Melisa menoel tangan Irene dengan gelisah.
“Hei, menurutmu apakah dia pergi karena cemburu? Atau ada alasan lain? Seperti kamu memberiku air doa yang mengusir roh jahat…”
“Mungkin aku harus memberimu lagi supaya otakmu berfungsi lagi,” Irene menepis tangan Melisa dengan jijik. “Terserah kamu terus memikirkan hal itu terus atau tidak, atau aku percaya atau tidak juga hakku. Tetapi kamu harus ingat, Melisa. Jika yang dikatakannya baik untukmu, maka ingatlah itu. Tetapi jika itu hal buruk, maka lupakan saja.” Balasnya lagi.
Melisa tersenyum, mengangguk menatap Irene. Sahabatnya memang orang logis yang paling mentolerir hal-hal aneh yang dia katakan. Tetapi ada pertanyaan yang sangat ingin ditanyakan melisa padanya.
“Menurutmu, kau percaya Aming itu ada atau tidak?” Tanya melisa.
Irene menatap lama pada mata melisa yang jernih, mungkin sedang mencari jejak kebohongannya. Sekian lama hening, Irene mendesah lelah, lalu menjawab, “Sebagian, iya. Dan sebagian, tidak.”