Lelaki itu melihat perempuan itu sudah menunggunya di pinggir kolam renang. Pagi sudah lewat tetapi siang belum datang. Ia agak menyesal karena tidur terlalu nyenyak. Ia benci melewatkan waktu tanpa melihat perempuan itu.
Ia menyampirkan handuk besar berwarna biru yang disediakan hotel di kamar ke bangku kayu. Entah mengapa ia lebih suka membawa handuk besar dari kamar, padahal di setiap bangku kayu di pinggir kolam renang itu, hotel sudah menyediakan handuk bergaris putih biru yang digulung rapi. Ia agak tak suka desain garisnya. Ia lebih suka handuknya seluruhnya berwarna biru, seperti warna mata perempuan itu.
“Maaf aku terlambat,” ia melirik perempuan itu dengan tatap sesal.
“Jangan meminta maaf, sebelum kamu muncul aku akan tetap menunggu.” Perempuan itu melempar senyum. Senyum yang membuat matanya bercahaya.
Lelaki itu melihat meja bulat berkaki rotan yang masih kosong.
“Kamu belum memesan apa-apa?”
“Aku menunggumu, ingin tahu apakah kamu masih ingat kesukaanku.” Perempuan itu masih tersenyum, menatap wajahnya dengan intens.
“Tentu saja! Mana mungkin aku bisa lupa!” Lelaki itu tersinggung, “Semua tentangmu, akan selalu kuingat.”
“Aku hanya menggodamu. Tentu saja aku tahu kamu ingat semua tentangku, aku senang mendengarnya.” Perempuan itu tergelak, memamerkan giginya yang berbaris rata. Rambutnya yang coklat muda tertiup angin, menampakkan seluruh raut wajahnya yang tirus dan bening.
Lelaki itu mengalihkan pandang. Mencari-cari pelayan cafe hotel itu untuk memesan minum. Seorang pelayan bersarung Bali dengan kemeja putih berkerah tinggi menghampirinya.
“Seperti biasa?” Pelayan itu bertanya.
“Ya, seperti biasa. Dua cangkir espresso, dua cangkir cappucino. Dan dua gelas jus jeruk segar.”
“Ada makanan yang ingin disajikan, Tuan?”
Lelaki itu menatap perempuan itu dengan pandang tanya. Perempuan itu menggeleng.
“Tidak ada, minuman saja dulu untuk saat ini.” Lelaki itu berbicara pada pelayan itu lagi.
Pelayan itu mengangguk dan berlalu. Sepuluh menit kemudian, pelayan cafe kembali membawa empat cangkir kopi dan dua gelas jus dalam sebuah nampan. Meletakkannya di meja, terpisah di masing-masing sisi. Sisinya dan sisi perempuan itu.
“Sedemikian nyenyakkah tidurmu sampai kamu terbangun setelah matahari tinggi?” Perempuan itu memecah bisu.
“Ah ya… semalam... kepalaku terasa berat dan telingaku berdenging-denging nyeri.”
Perempuan itu menjulurkan tangannya. Menyentuh pelipisnya.
“Kasihan... andai aku bisa memijit kepalamu. Meringankan penderitaanmu…”
Lelaki itu menangkap tangan perempuan itu. Menggenggamnya.
“Kamu sudah meringankan penderitaanku. Ketika akhirnya aku terlelap, aku memimpikanmu. Aku tak ingin terbangun karena takut kamu pergi. Itu sebabnya aku bangun terlambat.”
Ia melanjutkan, “Aku ingin ada di sana selamanya, dimana kamu selalu ada. Aku tak yakin kamu akan menungguku di sini.”
“Aku akan selalu menunggumu. Selama kamu menginginkannya. Kecuali kamu sudah menyuruhku pergi.”
Lelaki itu tersentak.
“Tidak akan pernah! Aku takkan pernah menyuruhmu pergi. Apakah... apakah kamu ingin pergi?” Hatinya mulai menciut dengan kekhawatiran dan ketakutan akan kehilangan.
Perempuan itu terdiam. Ada sebersit gurat lelah di sana. Hanya sekilas. Lalu ia menggeleng, seulas senyum terlukis di bibirnya.
“Tidak selama kamu masih menginginkanku. Aku akan selalu ada. Di sini. Untukmu.”
Para pengunjung hotel mulai berdatangan untuk menikmati sarapan. Beberapa ada yang duduk di bangku bar beratap daun palem kering di pinggir kolam.
Kehadiran mereka terasa mengganggu. Lelaki itu tak ingin pembicaraannya dengan perempuan itu didengar orang lain. Ia meneguk espressonya, lalu menghabiskan cappucinonya sekalian. Ia melihat perempuan itu belum menyentuh minumannya.
“Minumlah kopimu. Kalau dingin nanti tidak enak. Sesudah ini, mari kita berenang.”
Perempuan itu menggeleng.
“Ah aku tahu, kamu tidak mau minum karena takut perutmu terlihat buncit kan? Kamu paling khawatir terlihat tidak sempurna dalam bikini.”
Lelaki itu meraih cangkir kopi milik perempuan itu, kemudian meminumnya.
“Biar kuhabiskan saja. Nanti setelah berenang, kita pesan lagi untukmu.”
Lelaki itu berjalan ke samping kolam dan menoleh pada perempuan itu.
“Kemarilah,” teriaknya, melambaikan tangan.
Perempuan itu menghampirinya.
“Airnya tidak terlalu dingin, kamu tidak perlu takut kedinginan.” Lalu ia berbisik, “Jika kamu kedinginan, aku akan memelukmu sampai kamu merasa hangat.”
Ia menggenggam tangan perempuan itu. Bersiap melompat, ketika menangkap pandangan mata orang-orang di sekitar kolam renang. Tiba-tiba hatinya merasa membuncah bangga.
“Lihat, mereka memandang kita. Pasti mereka iri. Atau mereka mengagumimu.” Ia mendekatkan bibir ke telinga perempuan itu, “Kamu tahu? Kamu perempuan istimewa. Aku bahagia kamu memilihku.”
Mereka melompat ke dalam kolam renang bersama. Bercanda, saling mencipratkan air. Naik ke pulau di tengah kolam renang itu. Berselonjoran di bangku-bangku kayu sambil bergenggaman tangan.
Lelaki itu merasa damai, ia sungguh tak ingin saat-saat ini berlalu. Ia memejamkan mata dan terlena. Raganya separuh terlempar ke alam mimpi.
Sinar mentari yang mulai naik menyilaukan matanya. Lelaki itu terbangun dalam gelagap. Mencari-cari perempuan itu.
Ia tak melihatnya di bangku di dekatnya. Tak ada di sekitar pulau di tengah kolam renang itu.
“Tadi ia masih disini!” Ia berpikir dengan panik, matanya berputar-putar liar. Ia merasa hampir gila. “Jangan tinggalkan aku. Oh... tolonglah… jangan...”
Lelaki itu memutar tubuh, melayangkan pandang ke sekitar kolam. Seluruh mata orang-orang yang hadir di sana menatapnya sekarang, sepenuhnya menatapnya.
‘Dasar manusia-manusia usil yang ingin tahu kehidupan orang!’ Ia tak peduli dengan sorot aneh di mata orang-orang itu. Ia tak ingin kehilangan perempuan itu!
Lalu ia melihatnya. Perempuan itu sedang duduk di meja bundar dimana dua gelas jus mereka belum tersentuh. Ia merasa ingin menangis. Kesal sekaligus lega.
Perempuan itu suka sekali membuatnya panik. Mempermainkan perasaannya. Menggodanya.
Ya, karena perempuan itu tahu betapa ia mencintainya. Tak ingin kehilangannya. Ia memang tak peduli seluruh dunia tahu. Untuk apa menyembunyikan cinta? Mengapa harus mengingkarinya?
Terburu-buru ia berenang ke tepi. Lalu naik ke pinggiran kolam renang. Tergopoh-gopoh menghampiri perempuan itu. Perempuannya tercinta. Menatapnya sambil tersenyum dikulum.
“Kamu nakal! Kamu suka sekali menggodaku… membuat jantungku hampir berhenti berdetak.”
“Karena aku suka melihatmu takut kehilangan aku. Itu sebuah sanjungan untuk seorang perempuan, kamu tahu?”
Lelaki itu meraih gelas jus jeruknya, mereguknya habis sekaligus. Kepanikan membuatnya haus. Ia meraih gelas jus perempuan itu, mereguknya juga.
“Hey...” Perempuan itu protes.
“Akan kupesankan lagi,” ujarnya. Memanggil kembali pelayan cafe dan meminta 4 cangkir capuccino lagi.
“Jangan pernah melakukan itu lagi padaku.” Lelaki itu mengacungkan jari pada perempuan itu. Suaranya sangat serius “Aku tak ingin hidup jika kehilanganmu, kamu paham itu?”
Mata perempuan itu meredup.
“Kamu tidak boleh bicara begitu. Kamu tetap harus hidup meskipun kehilangan aku.”
“Tidak! Membayangkannya saja aku tak sanggup! Jangan pernah meminta hal yang tak sanggup kulakukan.” Suara lelaki itu meninggi.
Lagi, berpasang-pasang mata menatap ke arah mereka. Ia tak peduli. Pelayan cafe tiba dengan empat cangkir capuccino panas. Ia meraih satu cangkir, meniup-niupnya dengan bernafsu sebelum meneguknya tanpa peduli lidahnya terbakar.
“Aku sedih melihatmu menyakiti diri sendiri.” Ia mendengar perempuan itu berkata. “Aku ingin melihatmu bahagia. Hanya itu yang kuinginkan.”
“Aku bahagia saat bersamamu. Pahami itu, bisakah kamu mengerti?” Suara lelaki itu kini bernada putus asa.
Tetiba keheningan melingkupi mereka berdua. Bagai diselimuti awan bisu, seluruh kata-kata menguap entah ke mana.
“Kukira kamu sudah lelah. Mari kita kembali ke kamar, supaya kamu bisa beristirahat.” Perempuan itu memecah diam. Lelaki itu menggangguk.
Bergandengan tangan mereka melangkah menjauh dari pinggir kolam renang.
Berpuluh pasang mata di kolam renang itu mengikuti langkah-langkahnya. Langkah gontai seorang lelaki.
Yang sedari tadi bicara sendiri.