Ibuku selalu bilang bahwa hidup ini seperti benang kusut. Tidak ada jalan yang benar-benar lurus dan mulus, semuanya penuh dengan simpul dan belokan yang tak terduga. Tapi dia juga selalu menambahkan, meski benang itu kusut, kita tetap bisa menjadikannya sesuatu yang indah, asalkan kita mau bersabar dan terus berusaha meluruskannya.
Ibuku adalah seorang wanita yang luar biasa. Namanya Maria. Dia wanita yang kuat dan tegar, meskipun hidup telah memberinya banyak cobaan. Ibuku memiliki lima anak perempuan, termasuk aku. Dia mengasuh kami sendirian setelah memutuskan berpisah dari ayah kami. Keputusan itu diambil bukan tanpa alasan, tapi karena ayah kami selingkuh dan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap ibu. Meski berat, ibu memilih jalan itu untuk kebaikan kami semua.
Sejak aku kecil, aku selalu melihat ibu bekerja keras. Pagi-pagi buta, dia sudah bangun untuk menyiapkan sarapan dan mengurus kebutuhan kami sebelum pergi bekerja. Ibu bekerja di sebuah pabrik tekstil, pekerjaan yang cukup melelahkan, tapi ibu tidak pernah mengeluh. Dia selalu mengatakan bahwa semua yang dia lakukan adalah untuk kami, anak-anaknya.
Aku adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Kakak sulungku bernama Rani, disusul oleh kakakku yang kedua, Maya. Setelah aku, ada dua adik perempuan lagi, Nia dan Siti. Kami tumbuh dalam keluarga yang sederhana, namun penuh dengan cinta. Ibu berusaha memberikan yang terbaik untuk kami, meski sering kali harus berjuang keras untuk itu.
Ketika aku masih kecil, aku tidak benar-benar mengerti apa yang terjadi antara ibu dan ayah. Yang aku tahu, suatu hari ayah tidak lagi tinggal bersama kami. Pada awalnya, aku merasa kehilangan dan bingung. Tapi ibu selalu ada di sana, menjelaskan dengan lembut bahwa keputusan itu diambil demi kebaikan kami semua. "Ayahmu mencintai kita dengan caranya sendiri," katanya suatu kali, "tapi ada hal-hal yang tidak bisa kita terima, dan kita harus membuat keputusan yang tepat meski itu sulit."
Sebagai anak-anak, kami semua melihat ibu sebagai sosok yang tangguh, namun aku tahu betapa berat beban yang harus dia tanggung. Kakak sulungku, Rani, mungkin adalah orang yang paling memahami beratnya perjuangan ibu. Sejak kami kecil, Rani sudah seperti ibu kedua bagi kami. Dia yang paling sering membantu ibu di rumah, menjaga kami adik-adiknya, dan bahkan berkorban untuk kami.
Salah satu pengorbanan terbesar Rani adalah ketika dia memutuskan untuk tinggal di panti asuhan. Keputusan itu diambil setelah kami mengalami masa-masa yang sangat sulit. Saat itu, perekonomian keluarga kami berada di titik terendah. Ibu bekerja lebih keras dari biasanya, tapi penghasilan yang dia dapatkan tetap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami berlima.
Suatu malam, ketika kami semua sudah tertidur, aku mendengar ibu berbicara dengan Rani. Mereka berpikir bahwa kami semua sudah terlelap, tapi aku yang tidur di kamar yang sama dengan Rani mendengar semuanya.
"Rani, ibu tahu ini berat untukmu," suara ibu terdengar bergetar, "tapi ibu tidak punya pilihan lain. Ibu ingin kalian semua tetap bisa sekolah, tapi dengan keadaan sekarang, ibu tidak tahu harus bagaimana lagi."
"Bu," jawab Rani dengan suara yang sangat tenang, "jangan khawatirkan aku. Aku sudah besar, aku bisa mengurus diri sendiri. Kalau aku tinggal di panti asuhan, itu akan meringankan beban ibu. Aku bisa tetap sekolah di sana, dan ibu tidak perlu terlalu khawatir."
Aku merasa hatiku hancur mendengar percakapan itu. Rani, kakak yang selalu ada untuk kami, harus pergi ke panti asuhan untuk membantu ibu. Aku ingin menangis dan berteriak agar dia tidak pergi, tapi aku tahu bahwa ini adalah keputusan yang diambil demi kebaikan kami semua. Malam itu, aku hanya bisa terisak dalam diam, berusaha menahan tangis agar tidak mengganggu mereka.
Akhirnya, Rani benar-benar pergi ke panti asuhan. Selama tinggal di sana, dia hanya pulang pada akhir pekan. Meskipun dia jauh, Rani tetap menjadi sosok yang selalu kami rindukan dan nantikan kehadirannya setiap minggu. Setiap kali dia pulang, dia membawa cerita tentang kehidupan di panti asuhan, yang menurutnya tidak seburuk yang kami bayangkan. "Di sana, aku belajar banyak hal," kata Rani suatu kali, "aku belajar untuk mandiri dan tidak selalu bergantung pada orang lain. Dan yang paling penting, aku bisa membantu ibu."
Pengorbanan Rani memberikan dampak besar bagi kami semua. Ibu bisa sedikit bernapas lega karena beban finansial berkurang, dan kami adik-adiknya bisa terus bersekolah tanpa harus merasa bersalah. Aku selalu mengagumi Rani atas kekuatannya dan ketegarannya, meskipun di dalam hatiku, aku tahu dia juga merasa sedih harus berpisah dari kami.
Waktu terus berlalu, dan kami semua tumbuh dewasa. Nia dan Siti, adik-adikku yang bungsu, juga mulai mengerti betapa besar perjuangan ibu dan Rani untuk keluarga kami. Meski kami hidup dengan sederhana, ibu selalu memastikan bahwa kami mendapatkan pendidikan yang baik. Dia sering berkata bahwa pendidikan adalah satu-satunya warisan yang bisa dia berikan kepada kami. "Dengan pendidikan," katanya, "kalian bisa mengubah nasib dan tidak harus mengalami kesulitan seperti ibu."
Aku tahu bahwa ibu adalah pahlawan dalam hidup kami. Dia tidak hanya menjadi seorang ibu, tapi juga seorang ayah, pelindung, dan guru. Setiap kali aku merasa lelah atau putus asa, aku selalu ingat betapa kerasnya ibu berjuang untuk kami. Itu menjadi dorongan yang membuatku terus maju, meskipun jalannya tidak selalu mudah.
Ketika tiba waktunya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ibu kembali bekerja lebih keras dari sebelumnya. Meski kami semua tahu bahwa dia tidak ingin kami khawatir, kami bisa melihat kerutan di wajahnya yang semakin dalam, dan langkahnya yang semakin lambat setiap hari. Namun, ibu tetap bersikeras bahwa kami harus melanjutkan pendidikan, apa pun yang terjadi.
Rani, yang sudah menyelesaikan pendidikannya dan mulai bekerja, juga ikut membantu ibu. Dia tidak hanya membantu secara finansial, tapi juga menjadi teladan bagi kami adik-adiknya. Kakakku yang kedua, Maya, juga mulai bekerja setelah lulus, dan dia juga membantu meringankan beban ibu. Melihat mereka berdua bekerja keras demi kami, aku merasa semakin terdorong untuk sukses dan memberikan yang terbaik bagi keluarga kami.
Akhirnya, aku berhasil masuk ke salah satu perguruan tinggi swasta di kota kami. Meskipun aku tahu ibu dan kakak-kakakku harus bekerja lebih keras untuk membiayai kuliahku, aku berjanji dalam hati bahwa aku akan belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku ingin suatu hari bisa membuat ibu bangga dan memberikan kehidupan yang lebih baik untuknya.
Nia dan Siti, adik-adikku yang bungsu, juga berhasil melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan tinggi. Melihat kami semua bisa bersekolah dengan baik, ibu sering kali tersenyum bangga, meskipun dia jarang menunjukkan perasaannya secara langsung. Aku tahu di dalam hatinya, ibu merasa bahagia dan lega karena bisa melihat anak-anaknya tumbuh dan mencapai impian mereka.
Kini, kami semua sudah hidup bahagia. Kakak-kakakku yang tertua, Rani dan Maya, sudah berkeluarga dan memiliki anak-anak mereka sendiri. Mereka tetap dekat dengan kami, dan kami sering berkumpul bersama untuk merayakan momen-momen penting. Aku dan adik-adikku masih melanjutkan pendidikan kami, tapi kami tahu bahwa ibu selalu ada di belakang kami, mendukung dan mendoakan yang terbaik untuk kami.
Meski hidup tidak selalu mudah, kami selalu bersyukur karena memiliki ibu yang luar biasa seperti dia. Ibu yang tidak pernah menyerah, ibu yang selalu memberi cinta tanpa batas, ibu yang rela mengorbankan segalanya demi kebahagiaan anak-anaknya. Dan kami, anak-anaknya, akan selalu berusaha untuk membuatnya bangga dan membalas semua yang telah dia berikan kepada kami.
Suatu hari, ketika kami semua berkumpul di rumah, ibu duduk di kursi goyangnya yang tua, memandangi kami dengan mata yang berbinar-binar. Dia tersenyum, dan aku tahu senyuman itu penuh dengan kebahagiaan dan rasa syukur. "Kalian semua sudah besar sekarang," katanya dengan suara lembut, "ibu tidak perlu khawatir lagi. Ibu tahu kalian bisa menjaga diri kalian sendiri, dan ibu sangat bangga dengan apa yang kalian capai."
Aku berjalan mendekati ibu dan memeluknya erat. "Kami semua bisa seperti ini karena ibu, Bu. Ibu yang telah memberi kami kekuatan dan cinta yang tak terbatas. Kami semua sangat beruntung memiliki ibu."
Ibu mengusap kepalaku dengan lembut, seperti yang sering dia lakukan ketika aku masih kecil. "Ibu hanya melakukan apa yang harus ibu lakukan sebagai seorang ibu. Kalian adalah anugerah terbesar dalam hidup ibu, dan ibu akan selalu mencintai kalian, apa pun yang terjadi."
Kata-kata ibu itu selalu aku ingat.