Di SMK tempatku belajar, aku dikenal sebagai siswa yang tidak terlalu mencolok. Aku tak pernah merasa harus berkompetisi dengan teman-teman lain untuk meraih peringkat tertinggi, meskipun kenyataannya, aku selalu berada di peringkat satu. Aku bukan tipe yang ambisius; aku belajar karena aku menyukai pelajaran-pelajaran itu, bukan karena aku ingin mengalahkan orang lain. Aku juga senang membantu teman-temanku yang kesulitan, bahkan kalau itu berarti mengorbankan waktu belajarku sendiri.
Namaku Dimas. Aku bersekolah di sebuah SMK di kota kecil. Dari luar, aku terlihat seperti siswa yang biasa saja. Aku tidak pernah mengikuti lomba-lomba akademis, dan aku bukan anggota dari organisasi sekolah manapun. Aku tidak tertarik untuk menonjolkan diri, karena aku merasa itu tidak penting. Tapi, satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah, setiap akhir semester, namaku selalu ada di posisi teratas daftar peringkat kelas.
Sejak awal masuk SMK, aku selalu meraih juara satu. Teman-teman bilang, aku ini jenius. Padahal, aku cuma suka belajar dan menyerap pelajaran dengan cepat. Kadang aku sendiri heran kenapa teman-temanku yang lain sering kali kesulitan memahami sesuatu yang menurutku sederhana. Tapi aku tidak pernah memandang rendah mereka. Justru aku sering membantu mereka mengerjakan tugas atau belajar untuk ujian.
Salah satu teman yang paling sering kutolong adalah Fajar. Fajar itu tipe siswa yang cerdas, tapi malas. Dia lebih suka bermain game online daripada belajar. Setiap kali ujian, dia selalu kebingungan dan akhirnya meminta bantuanku. Awalnya, aku kesal dengan Fajar karena dia selalu menunda-nunda belajar, tapi lama-lama aku sadar, itulah cara dia menjalani hidup. Jadi, daripada memarahi atau mengejeknya, aku memilih untuk membantunya.
Suatu hari, saat kami sedang belajar bersama di perpustakaan, Fajar tiba-tiba berkata, "Mas, kamu itu pinter banget. Kenapa gak pernah ikut lomba-lomba atau kegiatan lain sih? Pasti bakal banyak yang suka sama kamu kalau kamu lebih menonjol."
Aku hanya tersenyum kecil. "Aku gak butuh itu, Jar. Yang penting aku belajar dan bisa membantu orang lain. Aku gak peduli orang suka sama aku atau enggak."
Fajar mendesah. "Tapi, kalau kamu kayak gitu terus, nanti bisa-bisa gak ada yang kenal kamu waktu lulus."
Aku tertawa kecil. "Gak apa-apa. Toh, setelah lulus, yang penting adalah aku bisa kuliah di tempat yang aku mau dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Popularitas itu cuma sementara."
Fajar terdiam, mungkin karena dia sadar bahwa pandanganku tentang hidup berbeda dengan kebanyakan orang. Aku tidak peduli tentang popularitas, hubungan asmara, atau hal-hal lain yang sering kali menjadi perhatian utama siswa-siswa SMK. Bagiku, yang penting adalah terus belajar dan menjadi orang yang bermanfaat.
Namun, semua berubah ketika aku memasuki tahun terakhir di SMK. Saat itu, ada seorang kakak kelas yang mulai sering mendekatiku. Namanya adalah Ayu. Ayu adalah sosok yang populer di sekolah. Dia cantik, cerdas, dan aktif di berbagai kegiatan sekolah. Banyak siswa laki-laki yang mengaguminya, termasuk Fajar.
Ayu sering mengajakku bicara, entah itu di kantin, perpustakaan, atau saat berpapasan di koridor. Awalnya, aku merasa biasa saja. Aku menganggapnya sebagai basa-basi biasa. Tapi lama-kelamaan, aku mulai merasa aneh. Ayu sering mengirim pesan kepadaku, menanyakan hal-hal yang sepertinya tidak penting, seperti, "Udah makan belum?" atau "Besok belajar bareng, yuk." Aku merasa ada yang tidak beres.
Suatu hari, saat jam istirahat, Ayu mengajakku bicara di taman belakang sekolah. Dia tampak lebih gugup dari biasanya. Setelah beberapa saat berbasa-basi, akhirnya dia berkata, "Dimas, sebenarnya aku udah lama suka sama kamu."
Aku terdiam. Ini sama sekali tidak aku duga. Ayu yang populer, yang menjadi idola banyak siswa, ternyata menyukaiku, yang bahkan tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan asmara selama di SMK.
"Aku tahu kamu mungkin gak punya perasaan yang sama," lanjut Ayu, "tapi aku cuma mau jujur. Aku gak bisa menyembunyikan perasaanku lagi."
Aku menatap Ayu, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Ayu, terima kasih karena kamu sudah jujur. Tapi, aku harus bilang kalau aku gak bisa menjalin hubungan seperti itu sekarang. Aku cuma ingin fokus belajar dan membantu teman-temanku. Aku gak mau terlibat dalam hal-hal yang bisa mengganggu fokusku."
Ekspresi Ayu berubah. Aku bisa melihat kekecewaan di matanya, tapi dia berusaha tersenyum. "Aku ngerti, Mas. Aku cuma berharap, kamu bisa mempertimbangkan perasaanku. Kalau suatu hari kamu berubah pikiran, aku selalu ada."
Setelah itu, Ayu pergi, meninggalkanku sendirian di taman. Aku merasa bersalah, tapi aku tahu itu keputusan yang tepat. Aku tidak ingin membiarkan perasaanku atau perasaan orang lain mengalihkan perhatianku dari tujuan utamaku.
Waktu terus berlalu, dan akhirnya tibalah saat-saat yang paling mendebarkan bagi siswa-siswa kelas tiga SMK: SNMPTN dan SBMPTN. Semua teman-temanku sibuk belajar, mengikuti bimbingan belajar, dan berdoa agar bisa lulus seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Aku juga ikut mendaftar, meski aku tidak merasa terlalu tegang. Seperti biasa, aku tidak ambisius. Aku belajar dengan tenang, mengikuti ujian dengan tenang, dan menunggu hasilnya dengan tenang.
Namun, hidup memang penuh kejutan. Ketika hasil SNMPTN diumumkan, namaku tidak ada di daftar siswa yang lolos. Aku merasa sedikit kecewa, tapi aku masih punya harapan di SBMPTN. Sayangnya, ketika hasil SBMPTN keluar, aku kembali harus menerima kenyataan pahit: aku tidak lulus.
Kali ini, kekecewaanku lebih besar. Aku mulai mempertanyakan segalanya. Mengapa aku yang selalu juara satu tidak bisa lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri? Apa gunanya semua prestasi yang aku raih selama ini? Apakah aku terlalu sombong dan meremehkan ujian ini?
Aku mencoba untuk tetap tegar. Aku tahu bahwa kegagalan ini bukanlah akhir dari segalanya. Aku masih punya pilihan untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi swasta. Meskipun tidak sesuai dengan harapanku, aku sadar bahwa tidak semua hal dalam hidup berjalan sesuai rencana.
Dengan dukungan dari orang tua dan teman-temanku, aku akhirnya memutuskan untuk mendaftar di sebuah kampus swasta di kota lain. Awalnya, aku merasa minder karena harus kuliah di tempat yang tidak terlalu terkenal. Tapi lama-kelamaan, aku mulai menerima kenyataan dan melihat sisi positifnya.
Di kampus baru, aku bertemu dengan banyak teman baru yang memiliki latar belakang yang berbeda. Mereka tidak peduli dengan peringkat atau prestasi akademis. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana kita bisa bekerja sama dan saling mendukung. Aku merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk memulai dari awal, menjadi seseorang yang lebih baik, dan mengejar mimpiku dengan cara yang berbeda.
Aku juga belajar bahwa hidup ini penuh dengan kejutan. Terkadang, apa yang kita anggap sebagai kegagalan ternyata adalah awal dari sesuatu yang lebih baik. Aku mungkin tidak lulus SNMPTN dan SBMPTN, tapi aku yakin, jalan yang kutempuh sekarang adalah jalan yang tepat untukku.
Masa SMK-ku mungkin tidak seperti yang dibayangkan oleh banyak orang. Aku tidak pernah mengejar popularitas, menolak cinta dari kakak kelas yang populer, dan gagal masuk perguruan tinggi negeri. Tapi aku yakin, semua itu adalah bagian dari perjalanan hidup yang membentukku menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana.
Kini, aku menjalani hari-hariku sebagai mahasiswa di kampus swasta dengan penuh semangat. Aku terus belajar dan berusaha menjadi yang terbaik, bukan untuk mengalahkan orang lain, tapi untuk diriku sendiri. Aku juga tetap membantu teman-temanku yang membutuhkan, karena aku percaya bahwa membantu orang lain adalah salah satu cara terbaik untuk mengisi hidup dengan makna.
Masa SMK mungkin sudah berakhir, tapi pelajaran yang aku dapatkan dari masa-masa itu akan selalu aku bawa sepanjang hidupku. Kegagalan, penolakan, dan kesulitan adalah bagian dari proses yang membuat kita tumbuh. Dan aku percaya, selama kita tetap berusaha dan tidak menyerah, kita akan menemukan jalan yang tepat untuk meraih impian kita.
Ges btw ini cerita ku dari kisah asli semua tapi ada yang aku rombak ya