Malam itu, di sebuah ruangan rumah sakit yang hening karena para pengunjung sudah pulang, dan beberapa penghuninya sudah tertidur lelap. Ada dua orang perempuan yang saat itu sedang melaksanakan tugasnya untuk berjaga malam. Saat salah satu dari mereka kembali setelah selesai memeriksa keadaan pasien, keduanya pun mulai berbicara satu sama lain.
“Siska. Apakah kamu akan pulang ke rumah, pada saat liburan panjang nanti?” Tika, perempuan berambut sebahu itu bertanya seraya duduk di samping Siska.
Perempuan berhijab itu hanya menggelengkan kepala, tanpa berniat mengalihkan perhatiannya dari layar komputer. “Entahlah.”
“Oh ayolah. Apakah kamu berniat untuk tidak pulang lagi? Bukankah liburan kemarin, kamu juga tidak pulang?” Siska mengangguk menanggapi, menyebabkan Tika menghembuskan napasnya. “Jika kamu benar-benar ingin pulang, pulang saja. Kamu tidak usah khawatir, ada aku yang akan menggantikan shifmu nanti.”
“Tapi, Tik-“
“Tunggu sebentar,” potong Tika cepat. “Apa jangan-jangan, kamu masih belum berbaikan dengan Paman? Sebab itulah, kamu masih belum berani untuk pulang ke rumah?” menghembuskan napas, lalu kemudian perempuan yang tak lain sepupunya itu mengangguk perlahan. “Astaga, sudah ku duga sebelumnya. Kenapa bisa seperti itu? Apakah kamu masih belum berani berbicara dengan Paman, atau malah kamu enggan sama sekali untuk berbicara dengan beliau?"
“Bukan keduanya.”
“Lalu?”
“Jangankan berbicara. Aku meminta izin terlebih dahulu untuk berbicara pun, beliau seperti enggan untuk menanggapi. Terlihat sekali, kalau Ayahku menghindar untuk berbaikan denganku.”
“Justru karena itu, kamu harus cepat pulang, Sis. Lebih baik kamu berbicara secara langsung dengan Paman, lebih cepat lebih baik. Karena jika dibiarkan terus menerus seperti ini, maka akan sangat berdampak terhadap hubunganmu dengan Paman.”
Siska terdiam sejenak, memikirkan tiap kata yang diucapkan Tika.
“Bagaimana, apakah kau akan tetap tidak pulang?”
“Entahlah. Mungkin aku harus memikirkannya terlebih dahulu,” setelahnya, Siska beranjak dari posisinya seraya membawa beberapa berkas di hadapannya.
*****
Setelah percakapan singkat malam itu, nampaknya hati Siska tergerak untuk mengikuti ucapan Tika. Dia memilih pulang ke rumah dan meminta bantuan Tika untuk mengganti shifnya di rumah sakit. Kali ini Siska akan berusaha agar bisa berbicara kepada ayahnya.
“Apa kau sudah sampai, Sis?.”
“Iya. Baru saja,” Siska yang baru saja keluar dari kereta api, memilih duduk di kursi.
“Baiklah, selamat berlibur ya, sepupuku. Dan jangan lupa, sampaikan salamku kepada Paman dan Bibi.”
“Iya. Nanti aku sampaikan. Sudahlah, aku akan menutup telepon ini,” tanpa menunggu Tika menjawab, Siska segera memutuskan sambungan teleponnya.
“Apakah kamu sudah selesai bicaranya?”
suara berat seorang pria tiba-tiba mengagetkan Siska, sesaat setelah dia menyimpan ponselnya ke dalam tas. Membuat perempuan berhijab itu refleks menoleh, dan betapa terkejutnya dia mendapati ayahnya yang berdiri tak jauh di hadapannya.
“S-sejak kap-“
“Cepatlah. Ayah tidak suka menunggu lama,” setelah itu ayahnya berlalu meninggalkan putrinya yang masih terlihat speechless akan kehadirannya.
Melihat kepergian ayahnya, Siska bergegas berdiri dan membawa barang bawaannya dengan gerakan rusuh. Sebab dia tidak ingin membuat ayahnya itu marah, hanya karena menunggu dirinya.
*****
Setelah kedatangannya disambut begitu gembira oleh ibunya, Siska bergegas masuk kamarnya. Kemudian membereskan barangnya, membersihkan tubuh, dan juga mengganti baju. Setelahnya dia bergegas keluar kamar, dengan niat ingin menghampiri ayahnya dan mengajak ayahnya itu untuk berbicara.
Sesampainya di ruang utama, Siska melihat sekeliling ruangan dan tidak mendapati keberadaan ayahnya. Karena hal tersebut, langkahnya pun menuju ke dapur, di mana ada ibunya yang sedang berkutat dengan peralatan dapur.
“Ibu. Di mana Ayah? Aku tidak melihat keberadaan beliau di dalam rumah?”
“Mungkin, dia berada di halaman belakang rumah, sedang merawat tanaman miliknya.”
“Oh. Kalau begitu, aku akan menyusul Ayah.” Siska pun berbalik ingin pergi dari ambang pintu dapur. Namun hal tersebut terurungkan, karena ibunya tiba-tiba memanggilnya.
“Sayang. Tunggu sebentar!”
“Iya, Bu. Ada apa?”
“Apakah kamu ingin mencoba berbicara, kepada Ayahmu?” putri semata wayangnya itu mengangguk setelahnya, membuat dirinya tersenyum manis. “Semangat sayang. Ibu yakin, kali ini kamu dan Ayahmu bisa berbaikan.”
“Iya, Bu. Do’akan saja supaya Ayah mau berbicara denganku.” Siska pun berlalu menuju halaman belakang rumah.
*****
Sesampainya, Siska dapat melihat ayahnya yang sedang menyemprotkan air ke beberapa tanaman yang ada di tempat tersebut. Karena hal itulah, gadis berjilbab itu mengurungkan niat untuk memanggil ayahnya dan lebih memilih mengambil sebuah gelas dari atas meja.
“Ayah,” dengan sedikit ragu, Siska memanggil ayahnya yang masih belum menyadari kehadirannya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
mendengar respon ayahnya, Siska tak dapat memungkiri perasaan senangnya. Dia tersenyum tipis, sebab sebelum itu jangankan merespon panggilan dari Siska, untuk menatap dirinya saja ayahnya itu enggan.
“Aku hanya ingin melihat, apa yang sedang Ayah lakukan di sini.”
“Dari pada kamu di sini. Lebih baik, kamu istirahat saja! Bukankah kamu baru saja tiba dari perjalanan jauh.”
Siska semakin melebarkan senyumnya, masih ada harapan untuk bisa berbaikan dengan ayahnya itu pikirnya. “Aku tidak apa, Yah. Bukankah, yang seharusnya istirahat itu adalah, Ayah? Lihat, Ayah sudah begitu berkeringat.”
Ayahnya mengibaskan tangan ke udara. “Tidak apa-apa. Ayah masih belum lelah.”
“Oh ayolah, Ayah. Setidaknya, minumlah dulu minuman yang sudah dibuatkan Ibu ini. Jika minuman ini di-“
“Ck, baiklah. Ayah akan istirahat.” ayahnya spontan merebut gelas dari tangan Siska, kemudian tanpa berbicara dia berlalu dari hadapan putrinya itu.
Alhasil, Siska terkejut akan tindakan ayahnya dan senyum di wajahnya pun seketika hilang. Siska menunduk lesu, dia tidak bermaksud untuk menganggu kegiatan ayahnya. Dia hanya ingin bersikap layaknya seorang putri dan sekaligus membujuk ayahnya itu agar mau berbicara dengannya.
“Siska. Mau sampai kapan kamu berdiri di sana?”
Suara berat ayahnya mengagetkan Siska, membuatnya mendongak dan bersikap kikuk. “I-iya, Ayah.”
“Kemarilah.”
Masih bersikap kikuk, Siska mengangguk dan berjalan mendekati ayahnya.
“Apakah ada yang ingin kamu bicarakan, dengan Ayah?”
Baru saja Siska mendaratkan bokongnya ke atas kursi, dia sudah di ajukan pertanyaan yang sukses membuatnnya terkejut.
“I-iya, Ayah. Kenapa bisa Ayah tahu, kalau ada yang ingin aku bicarakan dengan Ayah?”
Ayahnya mengedikkan kedua bahunya. “Ayah hanya menebak. Karena sangat terlihat di wajahmu.”
Siska tiba-tiba tersipu malu akibat ucapan ayahnya itu. Namun hal itu hanya bertahan sebentar, dan selanjutnya wajahnya pun berubah serius. “Aku ingin meminta maaf, Yah.”
“Minta maaf untuk apa?”
“Minta maaf kar-“
“Apakah kamu berpikir, kalau Ayah masih marah kepadamu?” Siska nampak berpikir dan kemudian mengangguk. “Jadi, karena itu kamu ingin meminta maaf kepada Ayah?” Kembali putrinya itu mengangguk. “Sebenarnya, Ayah sudah tidak marah lagi, sayang.”
“B-benarkah, Ayah? B-bagaimana bisa?”
“Karena Ayah sudah sadar, kalau kamu bukan putri kecil Ayah lagi. Melainkan putri Ayah yang sudah beranjak dewasa.” Ujar ayahnya seraya menampilkan senyum tulusnya kepada putrinya itu.
Senyuman itu pun seakan menular, buktinya Siska juga ikut tersenyum dengan kedua matanya yang terlihat berkaca-kaca.
“Memang, awalnya marah karena kamu yang akan bekerja di luar kota. Sedangkan kamu adalah putri satu-satunya Ayah dan Ibu. Bagaimana mungkin kami akan sanggup melepasmu untuk pergi jauh,” ayahnya menghela napas sejenak. “Tapi setelah Ayah pikirkan lagi. Ayah tidak bisa juga menghambat mimpimu hanya untuk memuaskan ego Ayah. Karena itulah, Ayah mulai melapangkan hati dan menerima keadaan. Agar mimpi putri Ayah bisa tercapai, dan tentunya itu akan membuatmu bahagia, sayang.”
“Lalu kenapa, beberapa waktu kemarin. Ayah masih tidak mau berbicara denganku?”
“Kalau itu, Ayah memang marah. Tapi marah karena hal lain.”
“Karena apa, Yah?”
“Ayah marah, karena kamu tidak pulang pada saat liburan kemarin.”
Sontak Siska menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan sedikit terkekeh. “Aku minta maaf, Ayah. Waktu itu aku takut untuk pulang, sebab aku berpikir kalau Ayah masih marah kepadaku.”
“Seharusnya kamu tidak boleh berpikir seperti itu! Dengan kamu berperilaku seperti itu, maka hanya akan membuat Ayah lebih marah lagi kepadamu.”
“Jangan, Ayah.” Siska menggelengkan kepalanya cepat. “Aku benar-benar meminta maaf kepada Ayah, tentang hal itu.”
“Tidak apa-apa, sayang. Ayah sudah memaafkanmu, bahkan sebelum kamu mengucapkan kata maaf. Tapi lain kali, jangan diulangi lagi! Sebab kepulanganmu itu adalah salah satu pengobat rasa rindu kami, kepadamu.”
“Terima kasih, Ayah. Walau aku tidak berjanji, tapi aku akan berusaha. Akan pulang ke rumah, jika ada waktu luang.” Setelah mengucapkan kalimatnya itu, Siska beranjak memeluk tubuh ayahnya dengan begitu erat. “Aku sayang, Ayah.”
Ayahnya tersenyum, dan turut membalas pelakan putrinya itu tak kalah erat. “Ayah juga sayang, putri Ayah.”