Roda mobil berhenti berputar, itu tandanya mobil berhenti dan sudah sampai ke tempat tujuan. Mobil itu berhenti tepat setelah masuk ke pekerangan rumah yang cukup besar, dan disambut hangat oleh asisten rumah tangga di rumah tersebut.
Tak lama kemudian, keluarlah seorang remaja laki-laki dari kursi belakang. Remaja itu mengenakan baju celana yang panjang, topi dan masker yang semuanya sama berwarna hitam. Tanpa menunggu kedua orang tuanya, dia segera melangkahkan kakinya memasuki rumah.
“Raka. Apakah kau ingin makan sesuatu, Nak?”
Laki-laki yang bernama Raka itu menghentikan langkahnya. “Tidak, Ibu. Aku hanya ingin istirahat setelah ini.”
“Oh, baiklah. Istirahat lah, kalau begitu. Tetapi jika kau ingin sesuatu, beritahu Ibu ya, Nak.”
Raka hanya mengangguk dan kembali melangkah. Karena kamarnya yang berada di lantai dua, hal itu mengharuskan dirinya menaiki beberapa anak tangga terlebih dahulu.
“Mas, apakah anak kita akan baik-baik saja?”
Ayah Raka yang sudah berada di samping istrinya mengangguk, seraya tersenyum. “Sayang, bukankah kau tahu, kalau anak kita adalah seorang yang kuat.”
“Walaupun masih ada sedikit waktu, tapi aku masih belum siap Mas, untuk kehilangan Raka,” ibu Raka memeluk tubuh suaminya erat, dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis.
Ayah Raka hanya bisa diam, tak mampu membalas ucapan istrinya. Dirinya juga merasakan hal itu, ingin rasanya menangis setelah mendengar kabar tidak baik akan putra satu-satunya. Tetapi itu tidak mungkin, sebagai seorang suami dan ayah dia harus kuat menahannya.
*****
“Raka, buka pintunya.”
Seorang gadis berambut panjang, tengah mengetuk-ngetuk pintu kamarnya Raka. Shafa namanya, gadis itu merupakan sahabat Raka dan kebetulan rumahnya berada di seberang rumah keluarganya Raka. Dia berkunjung ke rumah, setelah tiga hari tidak melihat keberadaan sahabatnya itu.
Klek
Setelah cukup lama, pintu itu pun terbuka menampilkan Raka dengan raut wajah yang cukup tidak bersahabat.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
Bukannya menjawab pertanyaan Raka, Shafa memeluk tubuh laki-laki itu dengan gerakan cepat. Hal itu tentu saja tak segan dia lakukan, sebab mereka berdua sudah bersahabat sejak kecil.
“Aku merindukanmu, Raka. Sudah tiga hari kau tidak keluar balkon kamarmu, untuk menyapaku.”
Hati Raka menghangat setelah mendapat pelukan dari sahabatnya itu, tangannya pun bergerak membalas pelukan Shafa. “Aku minta maaf. Aku hanya merasa sedikit tidak enak badan, jadi aku hanya beristirahat beberapa hari ini.”
Gadis mungil itu melepas pelukannya, menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa, kau tidak perlu minta maaf. Ah, apakah kau masih merasa tidak enak badan?”
“Mmm, bagaimana kalau kita masuk ke dalam kamarku saja untuk berbicara? Kurang nyaman, jika berbicara sambil berdiri seperti ini.”
Shafa menerima tawaran Raka, dan keduanya pun masuk ke dalam kamar. Raka yang duduk di atas ranjangnya, dan Shafa yang duduk di bangku samping ranjang laki-laki tersebut. Baru saja gadis itu mendaratkan bokongnya, dia sudah berputar-putar di bangku tersebut. Tentu saja hal itu membuat Raka menyiratkan senyumnya, sungguh menggemaskan pikirnya.
Cukup lama keduanya hening, Shafa pun menghentikan kegiatannya dan kini posisinya menghadap Raka. “Hey, rambutmu sudah mulai tumbuh lagi.”
Raka yang sebelumnya menunduk pun seketika mendongak, meraba kulit kepalanya yang memang sudah mulai ditumbuhi rambut.
“Bolehkah aku memegangnya, aku sangat suka akan hal itu.”
“Boleh.”
Shafa tersenyum lebar, dan mendekatkan bangkunya ke Raka. Setelahnya dia mengelus kepala laki-laki tersebut secara perlahan. Tanpa diketahui, Shafa menahan air matanya yang hampir keluar saat melihat bekas jahitan yang nampaknya sudah lama mengering di kepala Raka.
“Raka, apakah kau baik-baik saja?”
Awalnya Raka bingung akan pertanyaan Shafa, sebab sebelumnya sudah ditanyakan. Tetapi saat menyadari suara gadis tersebut yang bergetar seakan menahan tangis, Raka pun mengerti. Dia tidak segera menjawab pertanyaan tersebut, tetapi dia hanya mengulurkan kedua tangannya dan memeluk tubuh Shafa. Tak lama kemudian, isakan tangis pun terdengar sayup-sayup di dalam kamar tersebut.
“Aku sudah tahu semuanya,” Shafa berusaha mati-matian untuk tidak menangis. Dia harus kuat, meskipun itu hanya untuk sahabatnya, Raka. “Bibi bercerita padaku. Operasimu memang berhasil, tetapi kau hanya bisa bertahan dalam waktu setengah tahun.”
“Maafkan aku, Shafa. Aku tidak bisa menepati janjiku padamu, untuk hidup lebih lama.”
“Sudah ku bilang, kau tidak perlu minta maaf,” perlahan Shafa melepas pelukan, dan menangkup wajah Raka. “Oh ayolah, apakah kau hanya akan menangis seperti ini?”
Raka menggeleng. “Aku tidak ingin, tapi air mata ini terus keluar. Ini semua karenamu, Shafa.”
Shafa tersenyum kecil setelah melihat ekspresi Raka. Dia berpikir, apakah dirinya akan sanggup jika harus kehilangan sahabatnya itu. “Baiklah, baiklah. Aku minta maaf, maka dari itu aku punya sesuatu untukmu.”
“Apa itu?” Sesaat Raka berhenti menangis, mengusap pipinya yang basah akibat air mata.
“Untuk memanfaatkan waktumu yang tidak banyak, bagaimana kalau kau melakukan sesuatu yang belum pernah kau lakukan. Anggap saja seperti permintaan terakhirmu, bagaimana?”
“Apakah harus begitu?”
“Tentu saja, Raka.” Shafa sedikit meninggikan suaranya, sebab gemas dengan kebingungan laki-laki di hadapannya itu. “Sebutkan saja, hal apa yang ingin kau lakukan. Hal-hal yang sederhana pun, tidak apa-apa.”
“Tapi, apakah kau bersedia menemaniku untuk melakukan semua yang ingin ku lakukan?”
“Tentu saja,” Shafa mengangguk antusias. “Apapun itu untukmu, Raka.”
Raka tersenyum, kemudian dia mulai berpikir. “Aku ingin membaca buku di perpustakaan, mengantri untuk membeli makanan, naik wahana di pasar malam. Dan mungkin banyak lagi.”
“Hmm, sangat unik.” Shafa terkekeh setelah mendengar beberapa keinginan yang disebutkan sahabatnya itu. “Baiklah, aku berjanji akan selalu menemanimu untuk melakukan itu semua.”
“Tapi ada satu hal, yang sangat ingin aku lakukan dari dulu.”
“Apa itu?”
“Melihat matahari terbenam dari balkon kamarmu.” Ucap Raka seraya tersenyum.
Sedangkan Shafa hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, jadi selama ini Raka menyembunyikan keinginan kecil itu darinya. Mendadak Raka menjadi sangat menggemaskan di mata Shafa.
“Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Sore ini kita akan melihatnya di balkon kamarku.”
Raka mengangguk, dan tak lama kemudian keduanya pun tersenyum seraya menatap satu sama lain.
*****
Raka Pratama
Shafa menyapu air matanya yang keluar begitu saja, setelah mengingat kenangannya saat bersama Raka. “Raka, aku sangat merindukanmu.” Dia mengusap lembut pusara di hadapannya.
Saat ini, gadis itu sedang berada di pemakaman umum, tepatnya dia sedang mengunjungi rumah peristirahatan terakhir sahabatnya itu. Tak terasa sudah satu bulan setelah kepergian laki-laki tersebut, kenangan itu masih tersimpan rapi di ingatan Shafa.
Kenangan di mana mereka berdua menghabiskan waktu bersama, melakukan semua hal yang ingin dilakukan Raka dalam sisa waktunya yang tidak banyak. Namun hal itu tidak membuat Shafa menyesal, sedih, ataupun kecewa. Melainkan dia sangat bahagia, karena dapat melakukan sesuatu yang begitu berharga untuk sahabatnya itu.
Sungguh, persahabatan mereka begitu indah. Persahabatan yang mereka jalin sedari kecil, hingga beranjak remaja. Namun rupanya, persahabatan tersebut tidak bisa mereka jalani dalam waktu lama, sebab Tuhan lebih menyayangi Raka.
Shafa hanya berharap, sahabatnya itu hidup bahagia di alamnya. Satu hal lagi, jika benar di dunia ini ada yang namanya kehidupan selanjutnya. Maka Shafa sangat berharap, agar dia dipertemukan kembali dengan Raka.