"Akhirnya aku besok pulang," gumamku pelan sambil memandang tiket bus antarprovinsi di tanganku. Rasanya tidak percaya bahwa setelah sekian lama aku bisa kembali ke rumah, melihat ibu dan ayah lagi. Sejumlah uang yang terselip di dalam amplop cokelat yang mulai lusuh, hasil kerja keras bertahun-tahun di kota, kini berada di genggamanku. Aku tersenyum bahagia, membayangkan wajah ibu yang pasti akan terkejut dan senang saat melihatku tiba-tiba muncul di depan pintu rumah.
Sudah tujuh tahun aku merantau ke kota besar ini, bekerja di pabrik sepatu. Pekerjaan itu memang melelahkan, tapi aku tidak punya pilihan lain. Kota kecil tempatku dibesarkan tidak menawarkan banyak peluang, dan aku ingin membantu keluarga. Aku ingat betul pesan ibu saat aku berpamitan untuk pergi.
"Jaga diri baik-baik, Nak. Jangan lupa untuk pulang jika sudah cukup," katanya sambil memelukku erat. Waktu itu, aku masih terlalu muda untuk benar-benar mengerti betapa sulitnya kehidupan yang akan kujalani di kota ini.
Setiap hari selama bertahun-tahun, aku bangun pagi-pagi sekali, berangkat kerja, dan kembali ke kontrakan kecil saat matahari sudah lama tenggelam. Aku menabung setiap rupiah yang bisa kusisihkan, mengingat tujuan utamaku adalah untuk pulang dengan sesuatu yang bisa kubanggakan. Selama ini, aku hanya bisa mengirim uang secara berkala untuk membantu ibu dan ayah di desa. Aku tahu mereka pasti mengkhawatirkanku, tapi aku selalu berusaha meyakinkan mereka bahwa aku baik-baik saja.
Namun, rasa rindu yang kian hari kian menumpuk di dada ini membuatku sulit tidur setiap malam. Aku merindukan bau tanah basah setelah hujan di halaman rumah, suara burung-burung yang berkicau di pagi hari, dan terutama masakan ibu yang selalu membuatku merasa nyaman. Selama ini, aku hanya bisa membayangkan semua itu sambil menahan keinginan untuk segera pulang. Tapi sekarang, aku tidak perlu menunggu lebih lama lagi. Besok pagi, aku akan naik bus pertama menuju rumah.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku menghabiskan waktu dengan berkemas, memasukkan pakaian dan barang-barang penting ke dalam koper kecil. Kamar kontrakanku yang sempit terasa penuh sesak oleh berbagai kenangan—baik yang manis maupun yang pahit. Di tempat ini aku pernah jatuh sakit, kesepian, dan merasa putus asa. Namun di tempat ini juga aku belajar mandiri, menghadapi segala tantangan yang datang.
Pikiranku kembali melayang pada rencana kepergianku esok hari. Aku membayangkan momen saat aku turun dari bus, berjalan menuju rumah, dan melihat ibu berdiri di depan pintu dengan wajah yang penuh kebahagiaan. Aku sudah tidak sabar untuk melihat reaksi mereka ketika mengetahui bahwa anak laki-laki mereka yang telah lama pergi akhirnya pulang.
Pagi-pagi sekali, aku berangkat ke terminal bus dengan hati yang penuh semangat. Udara pagi yang segar terasa menyejukkan, seolah-olah seluruh dunia merayakan kebahagiaanku. Setelah menunggu beberapa saat, bus yang akan membawaku pulang tiba di terminal. Aku segera naik dan menemukan tempat duduk dekat jendela. Saat bus mulai bergerak, aku menatap keluar jendela, melihat pemandangan kota yang perlahan-lahan memudar di kejauhan.
Perjalanan pulang ini seolah-olah memutar kembali kenangan masa kecilku. Aku teringat saat-saat bermain di sawah bersama teman-teman, berlarian tanpa beban. Waktu itu, hidup terasa begitu sederhana dan penuh kebahagiaan. Aku ingat bagaimana ibu selalu menyuruhku untuk berhati-hati, meski aku tidak pernah benar-benar mengerti apa yang harus diwaspadai.
Saat bus melaju di jalan raya yang panjang, aku sempat tertidur sebentar. Dalam tidurku, aku bermimpi tentang masa kecilku. Aku melihat diriku yang masih kecil berlari di halaman rumah, dikejar oleh anjing peliharaan kami yang bernama Si Putih. Suara tawa ibu terdengar di belakang, penuh kasih dan keceriaan.
Ketika terbangun, hari sudah siang, dan bus sedang berhenti di sebuah rest area. Aku turun sebentar untuk membeli makanan dan minuman, sambil meregangkan otot-otot yang kaku. Semua penumpang lainnya juga turun untuk beristirahat sejenak. Ada yang makan di warung, ada yang duduk-duduk di bangku, dan ada yang berbicara di telepon. Aku merasa beruntung karena perjalanan ini berjalan lancar tanpa hambatan berarti.
Perjalanan dilanjutkan, dan aku kembali terlelap. Kali ini, mimpiku lebih samar, seperti bayangan yang melayang-layang di benakku. Aku melihat ibu yang sudah tua, dengan wajah yang dipenuhi keriput, sedang duduk di depan rumah. Angin berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan di sekitar. Aku mencoba mendekatinya, tapi semakin aku mendekat, ibu semakin menjauh.
Aku terbangun dengan jantung berdebar-debar, mencoba menenangkan diri dari mimpi aneh itu. Perasaan cemas tiba-tiba menyelinap di hatiku, meski aku tidak tahu pasti apa yang menyebabkan perasaan itu. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku akan pulang, bertemu ibu dan ayah, dan kami akan bahagia bersama lagi.
Saat bus mulai memasuki wilayah yang lebih familiar, hatiku semakin berdebar. Aku mengenali setiap tikungan jalan, setiap pohon besar yang berdiri di sepanjang jalan. Aku tahu aku semakin dekat dengan rumah. Perasaan cemas yang tadi sempat menghantuiku kini berubah menjadi kegembiraan yang sulit digambarkan. Hanya beberapa menit lagi, aku akan tiba di rumah.
Ketika bus berhenti di terminal desa, aku turun dengan langkah ringan. Dengan koper di tangan, aku mulai berjalan menuju rumah. Jalan-jalan kecil yang pernah menjadi bagian dari rutinitasku dulu kini tampak sama, namun terasa berbeda. Mungkin karena aku sudah lama tidak berada di sini, atau mungkin karena waktu telah mengubah banyak hal.
Saat sampai di depan rumah, aku berhenti sejenak. Hatiku berdebar lebih cepat. Rumah itu masih sama seperti yang kuingat, dengan dinding kayu yang telah berumur, atap genteng yang sedikit miring, dan pohon mangga besar di halaman depan. Aku melihat sekeliling, berharap melihat ibu atau ayah, tapi rumah tampak sepi.
Aku melangkah lebih dekat, membuka pintu gerbang dengan hati-hati. Pintu rumah sedikit terbuka, dan aku mendengar suara yang samar dari dalam. Dengan rasa penasaran dan sedikit cemas, aku melangkah masuk ke dalam rumah.
Di ruang tamu, aku melihat ibu duduk di kursi tua, menunduk dengan wajah yang tertutup oleh kedua tangannya. Di pangkuannya, ada sebuah foto yang ia pegang erat. Aku berjalan mendekat dengan perlahan, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di mataku.
Ketika sampai di hadapannya, aku melihat foto itu lebih jelas. Itu adalah fotoku, dengan senyum lebar dan seragam sekolah yang aku kenakan saat kelulusan. Aku merasa jantungku terhenti, dan tubuhku terasa lemah.
"Ibu..." bisikku, tapi suara itu terasa tidak keluar.
Ibu tiba-tiba menangis lebih keras, memeluk foto itu erat-erat.
Aku berdiri di sana, ingin sekali menyentuh bahunya, ingin sekali mengatakan bahwa aku di sini, bahwa aku sudah pulang. Namun, entah mengapa, aku merasa tubuhku tidak bisa bergerak, tidak bisa menyentuh apapun.
Aku hanya bisa menatap ibu yang menangis, memegang fotoku di pangkuannya, seolah-olah aku masih berada di sana bersamanya.
Dan saat itulah aku menyadari, aku memang sudah pulang. Tetapi aku pulang dalam bentuk yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
