Air laut yang tenang berkilauan di bawah sinar matahari, seolah-olah menutupi apa yang telah terjadi di tempat itu. Sebuah perahu kecil melayang perlahan di atas permukaan air yang jernih. Di atasnya, Rara yang berusia lima tahun duduk dengan tenang di pangkuan ibunya. Matanya yang besar dan polos memandang ke kejauhan, ke arah garis pantai yang tidak lagi terlihat.
“Bu, kenapa kita ke sini lagi?” tanya Rara dengan suara lembut, memecah kesunyian yang menyelimuti mereka.
Ibunya menatap ke arah cakrawala, matanya penuh dengan kesedihan yang dalam, namun dia berusaha keras untuk tetap tenang di depan putri kecilnya. “Kita hanya ingin melihat laut sekali lagi, Rara. Tempat di mana semuanya dimulai.”
Rara tidak sepenuhnya mengerti maksud ibunya. Baginya, laut hanyalah tempat bermain dengan ombak, berlari di atas pasir yang lembut, dan sesekali mencari kerang yang terdampar. Dia tidak tahu bahwa laut juga bisa menjadi tempat yang kejam, tempat yang bisa merenggut segalanya dalam sekejap mata.
Sudah beberapa minggu sejak bencana besar itu terjadi, tsunami yang menghantam desa kecil mereka di Aceh. Rara masih ingat hari itu, ketika suara gemuruh besar terdengar dari kejauhan, dan ombak raksasa datang tanpa peringatan, menghancurkan rumah-rumah, membawa pergi segalanya. Dia masih ingat bagaimana ibunya memeluknya erat-erat, mencoba melindunginya dari air yang datang mengganas.
Namun, ada satu hal yang tidak dipahami Rara. Dia tidak mengerti mengapa setelah ombak besar itu berlalu, desa mereka tidak lagi sama. Mengapa orang-orang yang dia kenal tidak lagi terlihat, mengapa rumah-rumah tidak lagi berdiri, dan mengapa semuanya terasa begitu sunyi.
Rara menatap ibunya, yang kini diam sambil menatap laut dengan pandangan kosong. “Bu, kapan kita pulang?”
Ibunya menghela napas panjang sebelum menjawab, “Kita sedang menuju pulang, Sayang.”
Rara tersenyum, berpikir bahwa semuanya akan kembali seperti semula. Tapi ibunya tahu, tidak ada lagi ‘pulang’ untuk mereka. Rumah mereka sudah tidak ada, dan orang-orang yang mereka kenal telah pergi, hanyut bersama ombak yang mengerikan itu.
Malam itu, ketika mereka kembali ke tempat yang dulu mereka sebut rumah, Rara melihat hamparan pasir dan puing-puing yang tersisa. Tidak ada lagi desa yang ia kenal, hanya reruntuhan dan pohon-pohon yang patah. Rara masih tidak mengerti sepenuhnya apa yang telah terjadi.
“Bu, di mana semua orang?” tanya Rara dengan polos.
Ibunya menatap ke arah sisa-sisa desa mereka, lalu kembali melihat putrinya dengan senyum sedih. “Mereka sudah pergi, Sayang. Pergi ke tempat yang jauh.”
Rara mengangguk, meskipun dia tidak benar-benar mengerti. Baginya, ‘pergi’ berarti mereka akan kembali suatu saat nanti. Tapi di dalam hati ibunya, ada kesadaran pahit bahwa mereka tidak akan pernah kembali.
Hari-hari berlalu, dan Rara terus bertanya-tanya mengapa semuanya berbeda sekarang. Dia merindukan suara orang-orang tertawa, aroma masakan dari rumah-rumah, dan suara ombak yang biasanya menenangkan. Tapi sekarang, setiap kali dia mendengar ombak, dia merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan.
Suatu hari, Rara dan ibunya kembali ke laut, tempat di mana mereka biasa bermain. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Air laut tampak lebih gelap, dan angin yang bertiup membawa dingin yang menusuk. Rara melihat sesuatu yang bergerak di kejauhan, tapi dia tidak bisa memastikan apa itu.
“Bu, lihat! Ada orang-orang di laut!” serunya dengan semangat, menunjuk ke arah air.
Ibunya menoleh dan melihat ke arah yang ditunjuk Rara. Dia tahu apa yang dilihat putrinya—sosok-sosok yang samar, bayangan dari masa lalu yang datang untuk menghantui mereka. Tapi dia tidak ingin menakuti Rara, jadi dia hanya tersenyum dan berkata, “Mereka hanya bayangan, Nak. Jangan khawatir.”
Rara mengerutkan kening, sedikit bingung. Tapi dia percaya pada ibunya, jadi dia tidak lagi memikirkan bayangan-bayangan itu.
Malam itu, mereka duduk di tepi pantai, menatap laut yang tenang. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma garam dan kenangan yang menyakitkan. Rara bersandar pada ibunya, merasa nyaman dan aman di pelukannya.
“Bu, kenapa kita selalu kembali ke laut?” tanya Rara tiba-tiba.
Ibunya tidak langsung menjawab. Dia menatap laut yang hitam pekat, airnya berkilauan di bawah sinar bulan. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berkata, “Karena laut adalah tempat kita terakhir kali bersama. Tempat di mana semua kenangan kita berada.”
Rara tidak sepenuhnya mengerti. Baginya, laut hanyalah tempat bermain. Dia tidak tahu bahwa laut juga bisa menyimpan kenangan yang paling menyakitkan.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara gemuruh. Rara melihat ke arah sumber suara dan melihat lampu-lampu yang berkelap-kelip di atas air, mendekat dengan cepat.
“Bu, ada orang-orang di sana! Mereka datang ke sini!” seru Rara dengan semangat.
Ibunya melihat ke arah lampu-lampu itu, matanya penuh dengan kesedihan yang tak terlukiskan. “Mereka mencarimu, Rara. Mereka mencari kita.”
Rara menatap ibunya dengan bingung. “Tapi kita di sini, Bu. Kita di atas perahu ini.”
Ibunya tersenyum tipis, air mata mengalir di pipinya. Dia tahu bahwa mereka sudah terlalu lama berada di laut ini, bahwa waktunya sudah hampir habis. “Ya, Nak. Kita di sini.”
Saat lampu-lampu itu semakin mendekat, Rara merasakan sesuatu yang aneh. Udara menjadi semakin dingin, dan perahu mereka mulai terombang-ambing dengan tidak wajar. Dia merasakan ada sesuatu yang salah, tapi dia tidak tahu apa.
“Bu, aku takut,” bisik Rara, menggenggam tangan ibunya erat-erat.
Ibunya memeluk Rara erat, mencoba menenangkan putrinya yang ketakutan. “Jangan takut, Sayang. Ibu selalu di sini bersamamu.”
Ketika lampu-lampu itu semakin dekat, Rara melihat sosok-sosok manusia bergerak di dalam air, seolah-olah mereka sedang menyelam mencari sesuatu. Rara merasa semakin bingung dan takut.
“Bu, kenapa mereka menyelam?” tanya Rara dengan suara gemetar.
Ibunya menatap putrinya dengan mata yang penuh air mata, namun tetap tersenyum. “Mereka mencari kita, Nak.”
Rara mengerutkan keningnya, masih belum mengerti. “Padahal kan kita di atas ya, Bu? Hehe.”
Ibunya mengangguk pelan, air mata mengalir lebih deras di pipinya. “Ya, Sayang. Kita di atas.”
Lampu-lampu itu semakin dekat, dan perahu mereka mulai tenggelam ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Suara gemuruh semakin kuat, dan Rara merasakan tubuhnya semakin ringan, seolah-olah dia sedang melayang.
“Bu, aku ngantuk,” bisik Rara, matanya mulai terpejam.
Ibunya memeluknya lebih erat, merasakan tubuh Rara yang semakin dingin. “Tidurlah, Sayang. Ibu akan selalu bersamamu.”
Dan dengan pelukan terakhir itu, Rara perlahan-lahan tertidur, tidak menyadari bahwa dia dan ibunya sedang tenggelam lebih dalam ke dalam lautan, meninggalkan dunia yang sudah tidak lagi mengenal mereka.
Di atas permukaan air, lampu-lampu tim SAR terus berkelap-kelip, mencari tanpa henti, namun tidak pernah menemukan apa yang mereka cari. Laut tetap tenang, menyimpan rahasia yang tak terucapkan, sementara ombak kecil terus bergulung, membawa pergi semua kenangan yang pernah ada.
