Tembakan terdengar hingga lorong hotel.
Tuan Ali menatap ke arah ku, kemudian menatap pada seorang pria bersenjata yang keluar dari tirai sekat ruangan, berlumuran darah di perutnya.
Tuan Ali kembali menatap ke arah ku.
"Kau.... " ucapnya.
Kemudian Hans dan Mark datang, dengan cepat Hans mengambil pistol ku.
Aku masih diam, aku melukai seseorang.
Mark menyentuh leher pria yang terkapar itu, dia menatap ke arah Tuan Ali kemudian mengangguk.
Petugas hotel datang, mungkin mendengar laporan dari tamu yang mengadu suata tembakan itu.
Mereka tercengang, langsung kembali. Sepertinya akan menghubungi polisi.
Aku masih terdiam, aku melukai seseorang.
Tuan Ali melihat ke arah ku. Dia memakai kemeja dan meraih tanganku yang gemetar.
Aku masih diam, kurasa aku menahan nafasku.
Tuan Ali memelukku, mengusap punggung ku. Baru di situ aku bisa bernafas.
"Aku menembaknya" bisik ku.
"Ya, tidak apa-apa" jawabnya juga berbisik.
Aku menangis, kemudian semuanya terlihat gelap.
***
Hutan belantara. Bersembunyi di semak-semak, berharap tak terlihat.
Leo memegang tangan ku.
"Ini! " ucapnya memberikan pistol ke tanganku.
Aku membulatkan mataku, tak bisa menggunakannya.
"Aku akan mengajarinya, percaya saja padaku" ucap Leo.
Kami dikejar pemberontak karena ketahuannya identitas Leo yang seorang polisi.
Leo terengah, lengannya sudah tertembak. Sudah banyak darah yang keluar.
Aku gemetar, tangan ku memegang pistol.
Seseorang datang, kemudian menyusul dua orang lainnya.
Mereka bicara dengan bahasa yang tak ku ketahui. Pastinya mereka mencari kami. Dua orang pergi berpencar. Tapi satu orang diam memperhatikan semak tempat kami bersembunyi.
Dia mendekati perlahan, aku semakin takut. Menelan saliva berkali-kali, memegang pistol semakin kuat.
Leo memegang tanganku, dia menarik pelatuknya yang diarahkan pada pria itu.
Dan....
Aku buka mata ku. Aku terengah, kejadian itu kembali membuatku terbangun.
Tapi yang terlihat hanya langit-langit kamar hotel yang tadi.
"....untung saja pengawal ku melihatnya, pengamanan kalian sungguh buruk"
Suara Tuan Ali terdengar, aku bangun dan mencari.
Seorang staff hotel ada di sana. Dia melihatku. Kemudian Tuan Ali datang dan mengusap kepala ku.
"Kau sudah bangun? " tanyanya lembut.
"Aku pingsan? " tanya ku.
"Kau pasti terkejut dengan suara tembakan itu" ucap Tuan Ali.
Hah?
Kan aku yang menembak, kenapa dia bertingkah seolah aku ketakutan dengan suaranya saja. Tapi kenapa aku pingsan tadi?
"Lihat, istriku terkejut karena hal ini" ucap Tuan Ali pada staff hotel itu.
"Sekali lagi kami meminta maaf tuan! " ucapnya.
Staff itu pergi.
"Mana Hans? " tanya ku, jujur aku cemas.
Tuan Ali menatap ku.
"Jadi begini cara kau mengkhawatirkan Leo? " Tuan Ali mengungkit hal yang sama.
"Siapa kau sebenarnya? " tanya ku benar-benar tak mengerti.
Tuan Ali berpaling.
"Kenapa kau tahu semuanya? tentang aku, Leo" aku berdiri mendekat padanya.
"Aku harus menjemput Hans di kantor polisi. Pistol mu juga harus kembali di simpan ke tas mu. Ternyata kau bisa diandalkan" ucap Tuan Ali.
Aku menghadangnya diambang pintu. Tuan Ali menatap ku.
"Istirahatlah! " ucapnya.
"Jika pistol itu kembali ke dalam tas ku, aku tidak bisa menjamin kau aman, karena aku bukan pernyabar, yang menunggu jawaban yang tidak ingin kau berikan padaku"
Kulihat dia menelan salivanya, terlihat dari jakunnya yang bergerak.
"Akan ku jelaskan setelah kita pindah ke tempat aman"
"Aku tidak tahu kau orang yang suka menepati janji atau bukan, aku tidak mengenal mu" ucapku kesal.
Tuan Ali berbalik.
"Turunkan tatapan matamu saat bicara padaku! " ucapnya dengan menunjuk mataku dengan dua jarinya.
Dia pergi, Markus menatap ku dan mempersilahkan aku untuk berjalan lebih dulu.
Kami pergi dengan mobil berbeda, tapi cukup besar.
Mereka berdua terdiam, tak ada yang bicara, sampai mobil berhenti di depan kantor polisi.
"Jaga dia, jangan biarkan dia lari" ucap Tuan Ali.
"Siap Bos!" Markus menutup pintu.
Markus menatap ku dari kaca spionnya.
"Jadi begini cara mu membuat Leo bersalah dan dihukum... " ucap Markus.
Aku jadi menatapnya dengan bulatan penuh mata ku. Dia juga membahasnya.
"Kau juga... "
Markus menyeringai.
"Apa ini? Apa maksudnya semua ini? " tanya ku benar-benar tak mengerti.
"Kau akan tahu jawabannya dari Tuan Ali setelah kita sampai di villa milik temannya. Tempat yang aman" ucapnya.
Aku mengepalkan tanganku.
Cukup lama Tuan Ali tak kembali.
Aku berpikir keras, mencari celah mana yang berhubungan dengan semua ini.
Aku dan Leo pergi melaksanakan tugas pedalaman hanya untuk menyelesaikan tes ku. Tugas sederhana, dia juga polisi yang sedang di skors dan tak boleh menggunakan senjata saat bertugas kemarin.
Tugas ke pedalaman merupakan tugas untuk melengkapi tes ku. Tapi kami mendapatkan masalah karena terjadi transaksi senjata ilegal di sana.
Senjata
Perdagangan senjata.
Kata-kata itu yang terus terngiang di benakku saat Tuan Ali masuk bersama Hans yang babak belur.
"Muka kamu.... " ucapku menunjuk.
"Tidak masalah" ucap Hans menutup lebamnya.
Aku menarik tangannya, Tuan Ali menatap tangan ku.
"Aku tidak apa-apa... " Hans menjawab lembut.
Kali ini Tuan Ali menatap Hans, hingga dia sadar sedang diperhatikan bosnya.
Hans menutup mulutnya, kemudian menghindari ku.
Kembali ku ingat dengan semua spekulasi ku. Aku menatap Tuan Ali yang bicara dengan Hans dan Markus.
"Kau dengar itu? " tanya Tuan Ali.
"Hmm? " Aku tak mendengarkan.
Tuan Ali menatap, tapi dia jadi diam.
"Biarkan saja dia, mungkin dia masih merasa bersalah pada mu Hans" ucap Tuan Ali.
Aku tak membalas ucapan Tuan Ali, kupalingkan wajah ku ke jendela. Pikiran ku sudah bertemu akar masalahnya.
Semuanya berhubungan. Aku, Leo dan Tuan Ali.
Ini semua berawal dari transaksi perdagangan senjata ilegal itu.
==========>>>