Namaku Renata biasa di panggil Ren (dan Nat panggilan kakak),seroang animal lover. Di sini aku akan bercerita bagaimana aku mengadopsi "anak" terakhirku.
Yah... Bukan anak manusia, melainkan hewan-hewan tanpa rumah yang kubawa masuk ke rumah. (Tidak bisa meninggalkan mereka terlantar)
Mari kita lihat apa saja... Pertama kucing, ada 19 ekor kucing, akan jadi 20 ekor jika kucing yang pulang pergi itu di masukkan (kalau ke rumah bawa anak-anaknya kemudian merantau lagi cari suami baru).
Tidak ada kucing yang dibeli, Sebagian dikasih karena tidak ada yang rawat, ada juga diambil dari jalanan karena coraknya unik dan satu korban pembullyan di sekolahku.
Kemudian dua ekor burung, karena aku suka melihat burung-burung di rumah sepupuku setiap berkunjung, jadi dia memberikannya satu sebagai hadiah ulang tahun. Yang satunya lagi dari paman setelah beberapa hari ulang tahunku.
Untungnya kedua anakku yang berbeda ras bisa akur.
Anak-anak ayam juga (mereka masuk ke dalam ras burung kan), itu dari paman karena tau aku penyayang binatang. Mereka lucu jadi aku adopsi juga.
Dan ada ikan hias, dari sepupuku yang lain karena dia mau berangkat kuliah, tidak ada yang merawat ikan-ikannya dan tidak ada niatan mau membawanya juga. Jadi dia memberikannya padaku dari pada di jual kembali.
Sering kulihat kucing-kucingku menonton mereka seolah-olah menunggu mereka melompat dari air.
Pengen banget melihara kelomang, capung dan belalang... Tapi mereka cepat mati. Dan sempat tertarik memelihara ular hijau yang kutemukan di kebun paman, kakak perempuanmu yang mengetahui alur pikiranku langsung nabok kepalaku.
Pengen melihara anjing juga... Yang kaki pendek itu lucu-lucu, tapi sayang nggak boleh di pelihara (you know lah) dan kakak memiliki trauma terhadap anjing.
Oke, back story... Ketika ingin melihara ular dan dilarang oleh mama, aku sedikit kesal semingguan (bukan merajuk, oke!)
"Aish! Udah banyak hewan yang kau punya masih nggak puas juga."
"Itulah manusia, tidak pernah puas."
Bletak!
Tabokan sayang dari kakakku, kudapatkan sekali lagi, nggak main-main sakitnya.
"Langganan remedial nggak usah sok bijak."
Sambil ngusap kepalaku yang sakit, kubalas "Kak, kalau kakak sering nabok gini otakku bisa makin bodohloh..."
Kakakku hanya memutar matanya kembali membaca komik bocah ke dunia iblis, dengan kucing-kucing di pangkuannya.
"Dahlah kembali ke kamarmu dan bawa pergi kucing-kucingmu, ngapain merajuk di sini." ujar kakakku tanpa mengalihkan bacaan dari bukunya sambil memberikan isyarat mengusir dengan tangannya.
"Ish aku nggak merajuk!" balas ku sambil membawa tiga kucing di tanganku.
"Lagian Nat, ngapain juga memelihara ular, udah tau mama dan abangmu punya phobia terhadap ular masih aja mau memeliharanya."
"Kan aku bisa mengawasinya biar nggak keluar dari kandang."
Kakakku menutup bukunya kemudian menatapku lagi.
"Renata, aku tau kau suka hewan, tau merawat mereka... Tapi phobia tuh bukan sembarangan, nggak bisa kau sepelekan."
"... Iya iya... "
Kalau kakakku memanggilku dengan nama lengkap bukan nama panggilan, artinya dia serius, maka dengarkan dia, jangan membantah, jangan biarkan dia mengulanginya lagi.
Kemudian lusa, pertemuan dengan "Anak" terakhirku. Seekor kura-kura.
Karena sering hujan beberapa minggu ini, sungai pasang menyebabkan air naik dan banjir, bahkan memasuki kawasan rumah kami. (Banjirnya enak bisa main air untuk anak yang jarang liburan keluar rumah, tapi membersihkannya ituloh yang susah)
Airnya naik tengah malam memasuki kawasan rumah tapi nggak bisa main air karena sudah tengah malam dan aku disini sedang meng-absen semua anak-anakku takut ada yang hilang.
Baru saja merasa lega semua lengkap, tapi satu kucing oyen hilang.
Di sini aku nekat keluar rumah mau cari satu anakku di tengah banjir. Awalnya mama larang, tapi kakak langsung turun tangan ikut bantu mencari, begitu juga kedua abangku. Dua yang terakhir itu alasan aja pengen bantuin, padahal niatnya main banjir.
Karena udah tengah malam, minim cahaya karena nggak bisa pake senter besar malah mengganggu tetangga nanti.
Mereka nggak ketemu, bahkan dipanggil beberapa kali, kucingnya nggak menyahut. (Mungkin udah tidur? Positif thinking aja)
Jadi kami kembali ke rumah, dengan perasaanku yang masih kacau.
"Mungkin dia di atap rumah kali." ucap kakakku mengingatkan.
Aku hanya mengangguk, melanjutkan pencarian besok.
Besoknya begitu matahari terbit, aku langsung ke luar rumah. Mana bisa tidur nyenyak kalau kucingku pergi.
Tentunya kakakku mengawasi (diseret dari tempat tidur) dan membantuku mencari kucingku.
"Kuling... Puss Puss..."
Namanya kuling, kepanjangan dari kucing maling, sebenarnya di ambil dari kata cool (dibaca:kul) dan bringas (dialmbil: ing). Aneh kalau kulas, jadinya nanti kulkas.
Oke, back story... Kucing yang di cari akhirnya nggak ketemu. Suaranya juga tidak ada.
"Dah mati kali,"
"Kakak! Jangan bilang gitu napa!"
Tapi dikatakan kakakku benar, besoknya setelah air dah cukup surut dia ditemukan sudah mati kelihatannya sebelum banjir, katanya habis kelahi dengan kucing tetangga sebelah yang banyak luka juga di tubuh kucing tetangga, tertutupi lumpur tubuhnya.
Bagaimana perasaanku? yah hancur. Nangis semalaman. Nggak ada lagi yang maling lauk di dalam lemari, kenapa juga kucing kecilku nantangin kucing tetangga yang badannya lebih besar dari kucingku.
Tapi kecil-kecil cabe rawit, dengar-dengar kucing tetangga itu dibawa ke klinik karena lukanya cukup dalam sampai nggak bisa berdiri. Sepertinya ada sarafnya yang putus.
Nah, waktu mau nguburin kucingku di tempat yang lebih baik dari pada di biarkan ketutupan lumpur. Disitulah aku ketemu "anak" terakhirku.
Nggak gih, kakakku yang ketemu dengannya.
Ceritanya kakakku jongkok di sebelahku yang sedang menguburkan kucing, sambil membuka HP (pasti membaca web novel) tapi tiba-tiba berteriak.
Aku pun segera berbalik melihatnya, kakakku melompat dari tempatnya melihat apa yang menggigitnya.
Kura-kura... Tempurungnya tertutupi lumpur.
"What the..."
"Ooohh"
Mataku berbinar seperti menemukan harta karun. Kakakku di sebelah menghela nafas karena sudah menebak apa yang akan terjadi.
"Apakah ini adalah reinkarnasi dari kuling?!" ucapku sambil mengangkat kura-kura berlumpur itu.
"Haaah bersihkan dulu kura-kurabnya baru kamu bawa masuk."
Aku mengangguk semangat, pekerjaan ngubur kucing udah selesai, dan ketemu kura-kura yang terbawa arus banjir lalu kuberikan nama Kunya (kepanjangan dari kura-kura nyasar).
.
.
.
Omake:
"Nat!! Bawa keluar kucingmu dan kura-kuramu!! "
"Kenapa anak-anakku lebih menyukai kakak dari pada menyukai mamanya sendiri?!"
"Mana aku tau!! Bawa mereka keluar!"
"Bahkan kakak tidak suka hewan! Bagaimana mereka suka?!!"
"Tanya sendiri sama anakmu sana!"
"Anakku yang bersayap bahkan bersuara kalau kakak lewat, padahal Aku loh yang sering memberi mereka makan..."
"Nat! Nggak usah berdrama, cepat keluarkan mereka! kamarku bukan tempat penangkaran hewan!"
"Mereka nyaman di sana mau di apa?"
"Keluarkan atau kubawa mereka ke pelabuhan."
"Kakak!!!"