Malam ini gelapnya malam terlihat begitu pekat. Tidak ada bintang yang berpendar indah. Hanya ada bulan purnama yang bentuknya bulat sempurna.
Gio terbangun dari tidurnya pada saat jam menunjukkan pukul 00.00 WIB.
Selalu saja seperti itu.
Di tengah malam, pada saat waktu menunjukan pukul 00.00 WIB, Gio akan terbangun dari tidurnya. Lalu, dia tidak akan bisa tidur lagi.
Sama seperti malam sebelum-sebelumnya, suasana dingin yang ganjil terasa menyapa tubuh Gio.
Bulu kuduknya berdiri dan hawa di sekitarnya menjadi negatif.
Tiba-tiba saja jendela kamarnya terbuka. Sosok tak dikenal lewat dengan kecepatan secepat cahaya.
Gio memang tak dapat melihat dengan jelas, namun dia yakin pada penglihatannya itu.
"Siapa lo? Nggak usah nakut-nakutin gue, gue nggak pernah takut sama lo!" teriak Gio lantang. "Tunjukin sosok lo kalau berani!"
Dia tidak boleh terlihat takut, meski sebenarnya dia juga merinding.
Namun, Gio tidak pernah menyangka sosok itu benar-benar menunjukkan dirinya.
Sosok itu datang dengan pakaian pengantin. Tubuh dan wajahnya dipenuhi darah. Hal yang paling menakutkan darinya adalah mukanya yang hancur tak berbentuk.
Sontak kala itu pula, Gio menjerit tidak tertahankan sampai dia pingsan.
——————•••——————
"Jadi, hantu pengantin itu datang lagi ganggu lo?" Revan dengan rasa penasarannya yang tinggi bertanya.
Wajahnya sengaja dimajukan ke depan wajah Gio dalam jarak yang sangat dekat, sehingga Gio dapat melihat pori-pori Revan dengan jelas.
"Biasa saja! Nggak usah sedekat ini juga!" kata Gio, memundurkan wajah Revan dengan kasar.
"Ya, maaf. Gue penasaran abis, sih."
"Iye, dia datang lagi. Nunjukin muka dia yang hancur lagi. Sumpah, merinding gue!" Gio bergidik ngeri mengingat kejadian menakutkan semalam.
"Gue punya kenalan yang bisa mengusir roh halus. Lo mau nyoba ke sana nggak?" tawar Revan.
"Yakin dia nggak nipu?"
"Udah, percaya sama gue."
Gio berpikir selama beberapa saat. Setelah banyak pertimbangan yang bersarang di kepalanya, akhirnya laki-laki tampan itu mengangguk setuju atas tawaran Revan.
Mereka pun pergi menemui Pak Ghendis, kenalan Revan yang katanya bisa mengusir roh halus.
Penampilan Pak Ghendis terlihat aneh di mata Gio. Pada hakikatnya wajah Pak Ghendis menyeramkan, namun pita pink di kepalanya membuat Pak Ghendis nampak lucu juga. Apalagi pakaian Pak Ghendis pun serba pink. Dia juga memiliki kumis dan jenggot tebal di wajahnya.
Terdapat kalung bergambar tengkorak di leher pria paruh baya itu, dan juga cincin batu akik disetiap jari-jarinya termasuk jari kaki.
"Tunggu, sebelum kamu jelaskan. Biarkan saya menebak dulu," ucap Pak Ghendis serius. "Kamu pasti diikuti oleh sesosok hantu pengantin dari sebulan yang lalu. Wajah hantu itu hancur dan mengeluarkan darah setiap saat."
Gio dan Revan saling menatap satu sama lain.
Lalu, mulut Gio terangkat penasaran. "Kenapa Pak Ghendis bisa tahu?"
"Iya, karena sosok itu ada di belakangmu sekarang."
Sontak Gio berteriak keras dan langsung memeluk Revan yang ada di sampingnya. Pelukan Gio sangat erat sampai membuat Revan kesulitan bernapas.
"Lepasin gue!" Sekeras mungkin Revan mendorong tubuh Gio. "Nggak usah peluk gue juga! Gue nggak suka dipeluk sesama cowok!"
"Lo kira, gue suka apa?! Gue bukan gay, gue masih suka cewek!"
"Terus ngapain lo mel—"
"Hentikan!" Pak Ghendis menggebrak meja di depannya keras, membuat Revan dan Gio terpelonjak kaget. "Jangan membuat keributan di tempat saya!"
Gio dan Revan menundukan kepala mereka ke bawah sembari meminta maaf atas tindakan tidak sopan mereka.
"Jadi, Pak, apa Bapak bisa mengusirnya?" bisik Gio.
Kalau perkataan Pak Ghendis tadi benar, itu artinya hantu pengantin itu dapat mendengar ucapan Gio.
Sesaat Pak Ghendis menghembuskan napasnya kasar. "Saya sudah berpengalaman dalam hal mistis. Saya bisa membedakan roh jahat maupun roh baik, hantu jahat atau hantu baik, dan hantu yang meminta pertolongan."
"Lalu?"
"Sosok yang menganggumu itu bukan roh atau hantu jahat. Dia adalah seseorang yang pernah hadir dalam hidupmu di masa lampau."
"Apa? Memangnya siapa?"
"Tanyakan padanya sendiri. Saya akan membantu kalian bertemu. Tapi, kamu harus menguatkan mental melihat penampilan mengerikannya lagi."
Tanpa berpikir lama, Gio langsung menolaknya. "Nggak. Saya ke sini supaya bisa mengusir hantu itu, bukan malah ketemu lagi."
"Hanya itu yang bisa kamu lakukan. Bertemu dengannya dan minta dia jangan menganggumu lagi."
"Ogah gue!"
Revan menepuk pundak Gio pelan. "Coba dulu, Bro. Beranikan diri lo! Kalau upaya lo sekarang berhasil, lo bakal bebas dari dia selamanya!"
Ada benarnya juga ucapan Revan. Dengan terpaksa, Gio akhirnya menyetujui saran itu.
Sebuah ritual pun dimulai. Ritual ini tidak hanya membuat Gio dapat melihat sosok itu, tetapi juga dapat berkomunikasi dengannya.
Ritual itu terjadi sesuai rencana. Sosok pengantin mengerikan yang selalu menganggu Gio menampakan dirinya. Dia hanya diam, seolah menunggu Gio berbicara duluan.
Jujur saja Gio merasa sangat takut. Tubuhnya bergetar dan merinding.
Ragu-ragu Gio membuka suaranya.
"G-gue nggak tahu s-siapa lo. T-tapi tolong jangan ganggu gue lagi." Gio menundukan kepalanya sembari menelan ludah takut.
Kemudian, melanjutkan ucapannya, "gue salah apa sama lo? Kenapa lo membuat hidup gue dipenuhi ketakutan. Berhenti datang ke hidup gue dengan wajah menakutkan lo itu. Kalau lo memang roh baik atau hantu baik kayak yang diucapkan Pak Ghendis, gue mohon banget. Tolong, biarkan gue hidup tenang. Jangan ganggu lagi."
Gio sudah sangat lelah menghadapi sosok hantu ini. Dia sangat ingin terbebas dan menjalani kehidupan normal.
"Gio ...."
Suara sosok itu terdengar melengking memenuhi indera pendengaran Gio. Rasa takut Gio kian membesar.
"Gue mohon, tolong berhenti ganggu gue!" Gio memohon-mohon. "Lo membuat hidup gue berantakan!"
"Gio ... maaf."
Gio membeku mendengar permintaan maaf itu. Dia juga menyadari suara menakutkan sosok itu berubah menjadi lembut khas suara perempuan.
Lantas, kepala Gio terangkat melihat wajah hantu itu.
Muka hantu itu masih hancur. Darah masih mengucur dari segala sisi.
Namun, entah mengapa, Gio tidak lagi merasa takut. Justru perasaan hampa dan sedih mendominasi hatinya tanpa sebab. Air mata menetes dari matanya begitu saja.
"Lo ... siapa?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Gio.
Bibir hantu itu membentuk sebuah senyum. Wajahnya yang hancur perlahan berubah menjadi wajah yang tak asing bagi Gio.
"Gio ...." Hantu itu mulai menunjukan wajahnya yang dulu, sebelum ia meninggal. "Aku merindukanmu. Kaeli sangat merindukan Gio."
Dan, BOOM!
Ingatan yang dulu dilupa karena terlalu menyakitkan, kini tersusun kembali.
Wajah itu, suara itu, rambut itu dan segala hal tentang perempuan bernama Kaeli. Gio mengingatnya.
Gio mengingat kematian tragis Kaeli. Saat itu Kaeli meninggal karena mobil pengantinnya tertabrak mobil bus besar. Mobilnya hancur berantakan, pun tubuh Kaeli.
Tubuh Kaeli ditemukan penuh darah dan wajah cantiknya hancur berantakan.
Ingatan itu sangatlah menyakitkan untuk Gio. Padahal mereka sebentar lagi menikah. Namun, di hari pernikahan mereka, Kaeli justru mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.
Gaun pengantin Kaeli penuh dengan darahnya.
Kala itu hati Gio hancur dan remuk seketika mendengar kabar kematian Kaeli. Akal pikirannya hilang arah. Laki-laki itu menggila tak karuan.
Kematian Kaeli membuat hidup Gio hancur. Setiap hari, Gio selalu memanggil nama Kaeli berulangkali dan memohon agar Kaeli dihidupkan kembali.
Sehancur itu Gio tanpa Kaeli.
Karena hal itu, keluarga Gio memaksanya menjalani terapi psikologi. Mereka menghilangkan segala hal tentang Kaeli dari ingatan Gio dan menggantinya dengan ingatan palsu.
Mereka membuat seolah Kaeli tidak pernah hadir di kehidupan Gio. Efeknya Gio bisa melanjutkan hidupnya lagi tanpa beban.
Kini Gio telah mengingat semua ingatan dan kenangan yang sebenarnya terjadi.
"Kaeli ...." Bibir Gio bergetar menahan perih hatinya. Jantungnya berdetak sangat cepat dan rasa sakit di kepalanya terasa. "Kamu benar-benar Kaeli?"
Kaeli mengangguk pelan. "Maaf karena telah menganggumu selama ini. Aku tidak bermaksud melakukan itu. Aku sangat merindukanmu, jadi aku selalu datang ke kamarmu dan melihatmu. Aku tidak tahu, kalau kamu setakut ini melihatku."
Gio segera menggelengkan kepalanya. "Enggak, itu nggak benar. Kalau aku tahu, itu adalah kamu. Aku nggak akan merasa takut. Ini adalah salahku sendiri yang tidak mengenalimu."
"Itu bukan salahmu," kata Kaeli. "Aku senang, kamu hidup bahagia tanpa diriku. Sekarang waktuku tidak banyak lagi. Malam ini adalah malam terakhir aku bisa melihatmu."
"Apa maksudmu?"
"Karena sudah empat puluh hari berlalu, aku harus pergi ke tempatku yang seharusnya. Setelah malam ini berakhir, aku tidak bisa melihatmu lagi untuk selamanya."
"Kamu ingin meninggalkanku lagi?"
"Maaf, aku terpaksa."
"Nggak, nggak boleh! Kamu nggak boleh pergi ke manapun lagi!" Air mata Gio semakin deras.
Dia ingin memeluk Kaeli, sama seperti dulu lagi. Namun, begitu tangan Gio terangkat menyentuh Kaeli, tubuh Kaeli tembus.
Gio tidak bisa menyentuh atau memeluknya.
"Kamu tidak bisa menahanku, Gio," ucap Kaeli. "Sama seperti kamu, aku juga tersiksa. Tapi, takdir kita memang harus berakhir sampai di sini."
"Jangan ngomong sembarang, Kaeli! Kamu marah karena aku melupakanmu, kan? Aku sungguh minta maaf. Tolong kembalilah padaku. Aku akan tetap menerimamu bagaimanapun wajahmu."
"Lupakan aku, Gio."
Gio mematung mendengar permintaan dari kekasihnya itu. "Jangan omong kos—"
"Itu bukan omong kosong. Kamu harus melupakanku dan memulai hidup baru. Kedatanganku hanya untuk melihatmu, bukan membuatmu semakin menderita. Sekarang Waktuku tidak banyak lagi. Kurasa hanya tinggal sepuluh detik lagi."
"Kamu bohong, kan?"
"Sembilan."
"Kaeli."
"Delapan."
"Jangan menakutiku."
"Tujuh."
"Kaeli, dengarkan aku. Aku tahu, aku bersalah karena melupakan kamu. Tapi, tolong beri aku kesempatan. Jangan tinggalkan aku lagi."
"Gio, tinggal tiga detik lagi."
"Kaeli!"
"Dua."
"Stop, Kaeli!"
"Satu." Perlahan tubuh Kaaeli menjadi samar. "Selamat tinggal, Gio—ku sayang."
Lalu, tubuhnya menghilang bak dibawa oleh angin.
Gio mematung di tempatnya berada. Jantungnya terasa seperti berhenti berdetak menyaksikan Kaeli yang menghilang.
"Kaeli?" Panggilan Gio tidak berguna.
Gio juga tahu itu, namun dia masih berharap meski mustahil.
Tubuh Gio luruh ke lantai disaksikan oleh Pak Ghendis dan Revan. Jantung Gio berdetak nyeri dan perasaan kehilangan memenuhi rongga dadanya.
"KAELIIIII!!!!!!"