"Ini hari pertama kita di kelas XI IPS," kata Nina dengan semangat, menatap sekeliling ruang kelas yang masih baru bagi mereka. "Kita harus bikin tahun ini penuh kenangan!"
Nina mengangguk setuju, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Meskipun ini bukan hari pertamanya di sekolah ini, perubahan kelas dan teman-teman baru selalu membuatnya sedikit cemas. Dia duduk di kursi paling belakang, berharap bisa mengamati semuanya tanpa terlalu menarik perhatian.
Namun, harapannya itu segera buyar ketika seorang siswa tinggi dengan rambut acak-acakan masuk ke kelas dengan langkah percaya diri. Dia mengenakan seragam dengan cara yang sedikit berantakan, namun justru itulah yang membuatnya tampak menarik di mata Nina.
"Kenalin, aku Bara," kata pemuda itu sambil tersenyum lebar. "Kayaknya kita bakal sekelas selama setahun ini."
Nina mencoba membalas senyum itu, meskipun dia merasa wajahnya memanas. Bara kemudian duduk di sebelahnya, membuatnya merasa gugup sekaligus penasaran.
Hari-hari berikutnya di kelas XI IPS dipenuhi dengan tugas, presentasi, dan berbagai kegiatan lainnya. Namun, yang paling menonjol bagi Nina adalah kehadiran Bara. Dia selalu tampak riang, mudah bergaul dengan siapa saja, dan sering kali menjadi pusat perhatian. Nina merasa ada sesuatu yang berbeda dalam diri Bara yang membuatnya selalu ingin tahu lebih banyak.
Suatu hari, saat mereka diberi tugas kelompok oleh Pak Budi, guru sosiologi mereka, Nina dan Bara kebetulan berada dalam kelompok yang sama. Mereka harus mengerjakan proyek tentang "Perubahan Sosial di Masyarakat Pedesaan."
"Nina, kamu tahu banyak tentang topik ini?" tanya Bara dengan mata berbinar.
"Aku sedikit tahu, tapi kita harus banyak riset," jawab Nina sambil mencoba tetap tenang.
"Bagus, kita bisa mulai di perpustakaan setelah pulang sekolah. Gimana?"
Nina mengangguk setuju, dan mereka pun menghabiskan sore itu di perpustakaan, tenggelam dalam buku dan artikel. Nina terkesan dengan cara Bara begitu antusias dan serius mengerjakan proyek mereka. Di sela-sela riset, mereka juga saling bercerita tentang kehidupan masing-masing.
"Bara, kenapa kamu milih jurusan IPS?" tanya Nina penasaran.
"Aku suka belajar tentang masyarakat dan interaksi manusia," jawab Bara. "Menurutku, memahami manusia dan dinamika sosial itu sangat menarik."
Jawaban itu membuat Nina semakin tertarik pada Bara. Dia menyadari bahwa di balik sikap santainya, Bara adalah seseorang yang cerdas dan penuh semangat.
Proyek mereka berjalan lancar, dan akhirnya tiba saatnya untuk presentasi di depan kelas. Nina dan Bara tampil sebagai tim yang kompak, menyajikan materi dengan baik dan mendapatkan pujian dari Pak Budi serta teman-teman sekelas.
Setelah presentasi, mereka duduk di bangku taman sekolah, menikmati angin sore yang sejuk.
"Nina, aku seneng banget bisa kerja sama kamu," kata Bara sambil menatap mata Alya.
"Aku juga, Bara. Kamu bikin semuanya jadi lebih menyenangkan," jawab Nina dengan senyum.
"Ngomong-ngomong, kamu pernah kepikiran nggak tentang masa depan?" tanya Bara tiba-tiba.
Nina terdiam sejenak, merenungkan pertanyaan itu. "Aku pengen kuliah di jurusan psikologi. Aku pengen ngerti lebih dalam tentang perasaan dan pikiran manusia."
Bara tersenyum lebar. "Itu keren banget. Aku yakin kamu bakal jadi psikolog yang hebat."
"Terima kasih, Bara. Kamu sendiri pengen jadi apa?"
"Aku pengen jadi sosiolog atau mungkin penulis. Aku pengen menulis buku tentang berbagai masalah sosial dan gimana cara kita bisa memperbaikinya."
Mendengar itu, Nina merasa semakin kagum. Bara bukan hanya sekadar teman sekelas yang menarik, tapi juga seseorang yang memiliki impian besar dan keinginan untuk membuat perubahan.
Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka semakin dekat. Nina merasa nyaman bersama Bara, dan dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa merasa canggung. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Alya merasa hidupnya menjadi lebih berwarna dengan kehadiran Bara.
Namun, tidak semuanya berjalan mulus. Suatu hari, Nina mendengar gosip dari teman-teman sekelasnya tentang Bara yang dekat dengan seorang siswi dari jurusan IPA. Nina merasa hatinya remuk, merasa cemburu dan tidak berdaya.
Dia mencoba menghindari Bara selama beberapa hari, tapi Bara tidak menyerah. Dia akhirnya menghadang Nina di koridor sekolah, wajahnya penuh kebingungan.
"Nina, ada apa? Kenapa kamu menghindari aku?" tanya Bara dengan suara cemas.
Nina menghela napas, mencoba menahan air mata. "Aku dengar kamu dekat dengan siswi dari jurusan IPA."
Bara terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Nina, itu cuma gosip. Aku nggak ada hubungan spesial dengan siapa-siapa. Satu-satunya orang yang aku suka di sini adalah kamu."
Nina merasa lega mendengar itu, tapi dia masih ragu. "Beneran, Bara?"
"Beneran. Aku suka kamu, kamu yang selalu ada di pikiran aku."
Mendengar pengakuan itu, Nina merasa hatinya melompat kegirangan. "Aku juga suka kamu, Bara."
Bara tersenyum lebar, lalu meraih tangan Nina. "Mulai sekarang, nggak ada lagi rasa cemburu atau keraguan. Kita jalanin ini bareng-bareng."
Mereka berdua pun tersenyum, merasa bahagia telah saling mengungkapkan perasaan. Di tengah kesibukan dan tantangan kelas XI IPS, mereka menemukan cinta dan dukungan satu sama lain. Nina merasa beruntung memiliki Bara di sisinya, dan dia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.
Hari-hari berikutnya dihabiskan dengan penuh kebahagiaan. Mereka belajar bersama, mengerjakan tugas bersama, dan saling memberikan semangat. Nina merasa hidupnya semakin bermakna dengan kehadiran Bara.
Pada suatu sore yang cerah, mereka duduk di bangku taman sekolah, menikmati indahnya matahari terbenam. Bara menggenggam tangan Nina, lalu berkata, "Aku seneng banget bisa mengenal kamu, kamu bikin hidup aku lebih berwarna."
"Aku juga, Bara. Kamu yang terbaik."
Di bawah langit senja yang indah, Nina merasa bahwa dia telah menemukan seseorang yang istimewa di jurusan IPS. Seseorang yang bukan hanya menjadi teman, tapi juga menjadi cinta pertamanya.
