Kisah bermula di sebuah gubuk terbengkalai tak berpintu. Di dalamnya terdapat tiga pemuda yang sedang rehat selepas berburu jin gila.
“Apa isi pesan itu?” tanya si Ijo, dijawab dengan singkat oleh si biru,
”Sayembara.”
“Jadi kita akan berpatisipasi dalam sayembara yang diadakan Raja Zhangc Ux II?” Tanya si Abang, diterima sebagai perintah oleh dua saudaranya yang lain.
Petang tiba perlahan. Ditemani api unggun, mereka bermalam di gubuk itu dengan beralas daun pisang.
Hingga keesokan hari, diikuti gonggongon ayam. Tandanya pagi telah tiba. Tiga lelaki tak seiras rupa maupun nasab itu terkejut manakala sesosok anak kera tanpa rambut lebat dan berbalut kain yang biasa disebuk baju, itu tertidur bersama mereka semalam.
“Emmh...” Erangan lemah lolos dari lisan sang anak kera.
"Aaw! Suaranya imut sekali!," batin si Abang.
Kera itu bangun,mengusap mata lantas memandang sekitar,
”Ah, aku harus memperkenalkan diri! namaku Key. Aku tesesat di hutan ini dan dari yang ku dengar kemarin, kalian akan melakukan perjalanan menuju kerajaan, bukan? Apa aku boleh bergabung?” jelas si anak kera yang mulai sekarang dipanggil Key.
Dimulailah diskusi dadakan yang menentukan keikut serta/tidaknya Key dalam perjalanan itu.
“Apakah orang ini bisa dipercaya?” mulai si Abang, dilanjut dengan pernyataan dari Biru akan kata 'jangan mudah terhasut tipudaya dunia'.
"Untuk saat ini kita tidak bisa percaya sembarang orang. Aku hanya tidak ingin keadaan memburuk.”
Akhir dari nasib Key telah diputuskan, "Kami akan mengantarmu ke kampung terdekat dan melanjutkan perjalanan tanpa beban tambahan,” ucap Ijo dengan tegas mewakili dua saudaranya.
“Maaf,tapi aku bukan berasal dari daerah ini. Mata uang yang ku bawa tidak berlaku disini dan …” Sebelum melanjutkan kalimatnya Key hendak mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebelum dicekal oleh Biru.
Ia menggelengkan kepala, isyarat yang berarti jangan.
“Kalian tunggu disini! Akan kupastikan sesuatu” Si Biru menarik Key keluar dari gubuk.
Atmosfer di dalam gubuk kini menegang selepas kembalinya Biru dan Key. “Kita akan memungutnya?” Tanya Abang yang lagi-lagi diterima sebagai perintah oleh kedua saudaranya.
“Jo, bentangkan petanya!” perintah Biru.
Selaku adik yang baik dan berbudi, Ijo memenuhi titah sang kakak dengan tenang, tanpa penolakan.
Tiga orang memperhatikan peta lamat-lamat, mencari rute tercepat dan teraman untuk dilalui, sedangkan Key mengemas barang dibantu Asthord, kucing liar pelihraannya.
“Baiklah kau yang pilih, mau melewati pegunungan, lembah/pemukiman zombie?” Biru memberi pilihan.
“Untuk mencapai kerajaan, bukankah lebih baik melewati lembah? Orang-orang bilang itu jalan pitas menuju kerajaan.”
“Ya namun, konon katanya lembah tersebur banyak dihuni makhluk tak kasat mata. Apabila mereka tidak menyukai kehadiranmu, kau akan disesatkan oleh mereka.”
Di tengah perundingan tersebut terlintas dalam pikiran si Ijo seorang pandai besi kenalanya, ”Aku kenal seorang pandai besi yang ahli dalam pembuatan senjata. Buah tangan yang dihasilkannya tidak pernah mengecewakan, bahkan para penyihir sering memintanya membuatkan senapan pemusnah roh.”
Key yang tidah ikut berunding, memilih rebahan sembari menunggu keputusan.
“Waktu terus berjalan, apa kita akan menetap disini sampai hari esok tiba?” tuturnya biasa, dituju kepada para pemuda, namun ia seolah berbicara kepada Asthord.
“Hey, As, Lihat ke atas! Ada sapi terbang.”
Biru berdeham cukup keras, “Baiklah, kita harus bergegas. Usahakan malam nanti sudah setengah perjalanan.”
Ijo menandai peta dengan kapur. Lalu ia teringat akan sangu yang mereka bawa telah menipis, ditambah ada anak kera yang ikut dengan mereka.
“Pertama kita ke pandai besi, tidak jauh dari sana ada pasar rakyat. Persediaan hampir habis, ditambah satu orang lagi. Kita tidak akan bertahan dalam perjaanan kalau hanya makan kacang.”
Perjalanan dimulai siang hari. Tidak lupa perbincangan ringan hingga berat yang menjadikan perjalanan mereka terasa singkat.
Dimulai dari Key, ”Kak, apa kita akan melewati lembah untuk sampai ke kerajaan?”
Biru yang biasanya mengabaikan atensi makhluk yang tak dikenalnya kini merespons Key dengan ramah selayaknya keluarga, “Ya, karena di sana jalur teraman dan tercepat untuk saat ini.”
APAAA!?
batin Ijo dan Abang tak pecaya si Biru beramah-tamah dengan orang asing. Terlebih orang asing itu anak kecil, ANAK KECIL?!!
“Aku suka lembah. Di tempat asal ku lembah adalah tempat berkumpulnya para peri. Aku ingin melihatnya!” tutur Key. Membayangkan betapa indahnya sayap peri membuat Key terlena sesaat.
“Kurasa kau belum bertemu Mimi peri kan? Dia adalah ratunya. Banyak dari klanku yang terpesona oleh keelokanya,” ucap Abang dengan niat bergurau, namun nada bicaranya yang datar membuat orang mengira bahwa itu sebuah fakta.
“Abang yakin dia ratunya? Bukan iblis yang sedang menyamar agar mereka yang melihatnya tidak bisa kembali ke dunia nyata. Ia sengaja menyesatkan manusia demi keabadian”
Bantah si Ijo yang merasa kejanggalan dari sosok peri yang diutarakan Key dan Abang.
“Hahaha, peri? Ayolah saudaraku kalian percaya makhluk fiksi itu. Mereka hany—“ ucap Biru terpenggal oleh sanggahan Key.
”Jaga bicaramu! Nenekku bilang peri adalah dewa dan dewi yang nyata adanya. Nenekku bukan pembohong!”
Untuk sesaat mereka diam, sebenarnya malas melanjutkan ocehan.
***
Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai di kediaman pandai besi. Setibanya di sana mereka disambut hangat oleh Muna, istri dari si pandi besi.
“Silakan diminum.”
Empat gelas tersaji dihadapan. Tidak ada satupun dari mereka yang berniat meminumnya. Mereka lebih memilih untuk mengamati ruang yang mereka tempati. Dari pada rumah, ini terlihat seperti sebuah bar yang telah lama dan sepi pengunjung.
Hanya ada mereka di salah satu meja bulat di ujung, dekat pintu masuk. Muna sendiri sedang tidak ada disana. Sebelum pergi ia berpesan untuk menunggu suaminya dengan tenang.
Akhirya si pandai besi, panggil saja Jaki sampai. Usai bercocok tanam dan berniaga yuyu di desa sebrang.
"Halo pengembara, aku adalah pandai besi terbaik di tempat ini. Apa yang kalian butuhkan?”
“Kami butuh senjata yang bisa menangkal energi negatif,” jawab Ijo mewakili.
“Kebetulan batu delima sakti yang kami pesan baru saja sampai dini hari. Berapa yang kalian ingin?”
“Kurasa tiga untuk dewasa dan satu belati kecil. Kira-kira butuh waktu berapa lama dalam pembuatannya?”
“Satu hari kurasa cukup. Kalau dimulai dari sekarang, mungkin besok pagi sudah bisa kalian pakai.”
Setelah pembicaraan panjang mereka memilih untuk bermalam di penginapan tua yang disarankan Jaki. Dari luar penginapan itu tampak kurang meyakinkan, namun ketika sudah berkeliling dan berbincang dengan pemilik bangunan, pemikiran buruk itu sirna.
Kamar-kamarnya begitu bersih dan nyaman, pegawai di sana juga ramah dan murah senyum, fasilitasnya pun tak kalah dari penginapan mewah di dekat ibukota.
Dengan harga yang terbilang murah mereka akan dimanjakan oleh pemandangan sawah, gunung, dan lautan dari lantai paling atas. Makanan yang disajikan selalu mengenyangkan walau hanya nasi ditemani lauk bandeng dan sambal.
Lelah berkeliling penginapan, mereka pergi ke kamar masing-masing. Satu kamar berisi dua orang. Ijo dengan Abang sedangkan Biru dengan Key. Berbeda dari Biru dan Key yang memilih beberes barang, Ijo dan Abang kini sedang bergunjing, membahas tingkah Biru yang terlihat lemah lembut kepada Key.
“Abang juga merasakannya, bukan? Biru yang biasanya bersikap dingin kepada orang asing kini bersikap lembut?!”
“Oh! Tadi waktu kita jalan di depan, kuperhatikan mereka sering sekali curi pandang dan—KAMU TAU APA YANG KU LIHAT!?”
Abang tiba-tiba teriak dan menepuk bahu Ijo cukup keras, dibuatnya meringis kesakitan. Dirasa pembicaraan akan semakin berbahaya, Ijo berinisiatif mengunci pintu dan menutup celah pintu dengan kain, demikian juga dengan jendela kamar.
“Baiklah lanjutkan!”
“Mereka bergandengan tangan dan tersipu. Bukankah itu hal yang biasa kerjadi ketika kasmaran!”
Kenyataan itu terkadang pahit, kadang kala juga manis. Mengetahui saudaramu sedang menjalin asmara dengan seekor anak kera!
Entah itu baik atau buruk. Asal dia bahagia dan tidak merugikan diri sendiri dan orang di sekitarnya aku akan mendukung, begitulah yang dipikirkan Abang untuk saudaranya.
Ijo yang masih merasa waras berpendapat lain, sebelum hal yang lebih buruk terjadi ia bertekat untuk memisahkan kedua insan tersebut.
“Ada yang ingin ku bicarakan kepada Key. Tolong bertukar kamar lah dengannya.”
“Akan kulakukan.”
Suasana tegang menyeruak di sekitar kamar yang mana di dalamnya terdapat dua mahkluk berbeda ras dan keturunan terduduk pada tepi ranjang. Keduanya saling beradu pandang, seolah-olah mereka berkomunikasi melalui tatapan mata.
Sedangkan dari ruangan di sebelah terlihat dua pemuda tengah merapatkan indra pendengar mereka pada dinding yang berbatasan langsung dengan kamar si bungsu, guna menguping pembicaran Ijo dan Key.
“Bukan maksudku untuk memisahkan kalian. Malah ini yang terbaik yang bisa ku pikirkan”,
terselip hembusan napas berat sebelum Ijo mengatakan inti pembicaraan
“Jauhi saudara laki-laki ku! Kau tahu siapa yang aku maksud.”
Tidak semudah membalik garpu, Key tentu saja menolak. Berapa kali pun Ijo menjelaskan Key tetap saja membantah, namun saat ditanya apa alasannya Key tidak menjawab, ia mengalihkan arah pembicaraan seolah Ijo adalah mahkluk egois yang lebih mementingkan pendapat massa ketimbang perasan bahagia serta kebebasan saudaranya.
Dalam waktu singkat, suasana menjadi semakin panas. Biru dan Abang hanya mendengarkan suara debat. Sepertinya tidak ada yang mau mengalah, pikir Abang.
“Bang, sebaiknya kita pisahkan mereka sekarang! Sebelum bertambah parah,” usul Biru.
Tidak terduga sekat kamar, berupa tembok lawas, hancur. Beruntung Abang cekatan dengan langsung menarik Biru untuk berlindung.
Diantara reruntuhan, samar-samar terlihat sosok Ijo melayang di udara. Dia tampak kesulitan menyeimbangi lawannya, tidak lain adalah Key yang kini sudah berubah rupa menjadi seekor kera sakti.
Belum selesai, Abang juga mengalami hal aneh. Penampilannya perlahan menyerupai gadis dari salah satu dongeng pengantar tidur. “Aaa-“ Suara bahkan ekspresinya sudah cocok jika dia memerankan peran si gadis kerudung merah.
Selain keanehan itu, cuaca yang tadinya cerah kini mengamuk. Banyak rumah-rumah terseret topan hingga tsunami yang menyamu apapun yang dilewatinya.
Lalu, ...
BYUUR!
Seember air terjun bebas ke atas kepala pemuda yang tengah tidur pulas.
“AA BANGUN!!!” teriak adik si pujangga senja.
“ASTAGA NAGA! AMPUNI HAMBA PADUKA. Lah...”
Dan dilanjut gayung berbentuk lope warna merah jambu melayang kearah Aji. Ternyata kejadian kemarin hanyalah mimpi Aji semata. Kini dia sudah lupa akan saudara seperjuangan yang sudah dianggap nya keluarga dan kekasih nya didunia sana.
Sekian untuk kisah random kali ini. Salam sehat untuk kalian, jangan lupa bahagia :)