Ada milyaran, atau bahkan triliunan orang di dunia. Namun, aku tetap merasa kesepian di tengah banyaknya makhluk hidup berkeliaran.
Tidak ada yang menemani, dan tidak ada yang bisa dijadikan 'rumah'.
Mentalku dirusak oleh keluargaku sendiri. Dianggap tak berguna dan selalu menjadi 'boneka' bagi mereka.
Perkataan-perkataan mereka ketika umurku masih kecil tertanam dalam diri hingga aku beranjak dewasa. Mereka tak pernah tahu mengenai itu.
Aku tidak bisa menyingkirkannya dengan mudah. Dimarahi dan di-jugde anak durhaka menjadi ketakutan terbesarku.
Sebisa mungkin, aku harus menjadi 'sempurna' agar mereka tidak punya celah untuk menghina dan membandingkanku dengan orang lain.
"Lihat tetangga kita! Dia cantik dan pintar, sementara kamu? Otaknya nggak pernah dipake. Bodoh banget! Nggak bisa apa-apa! Cuma bisanya nyusahin doang!"
Maka, sejak saat itu aku berusaha menjadi seperti 'tetangga'. Berusaha menjadi pintar dan cantik agar mereka tak lagi membanding-bandingkan.
"Dasar bodoh! Masa soal begitu saja nggak bisa sih? Makanya belajar, Bego!"
Aku semakin belajar dan terus belajar sampai-sampai aku melupakan cara bersosialisasi dengan teman sebayaku.
"Pelajaran sejarah saja kamu nanya?! Tolol banget! Kamu ini, di sekolah belajar atau main, sih?!"
Semenjak itu, aku takut bertanya kepada siapapun. Aku membiarkan diriku tersesat karena rasa ragu dan takut dimaki-maki.
"Yang nurut jadi anak tuh, kamu makan sama minum siapa yang sediain selain Mama Papa?"
Mungkin, mereka bermaksud agar aku tidak membantah perintah mereka lagi.
Hanya saja sejak kalimat itu diucapkan, yang tertanam dalam benakku adalah 'aku harus membayar makan dan minum yang disediakan mereka dengan cara menuruti semua keinginan mereka.'
"Ngebantah mulu bisanya! Mau jadi anak durhaka?!"
Hal yang paling aku takuti adalah dianggap durhaka. Maka dari itu, aku berusaha tidak membantah setiap perintah mereka, walaupun harus mengorbankan kebahagiaanku sendiri.
"Gitu aja nangis. Cengeng banget jadi anak, tuh."
Aku tak boleh menangis. Aku tak boleh cengeng.
"Kamu tuh masih anak kecil, sok-sokan punya masalah."
Aku jadi takut mengutarakan masalahku.
"Tahu apa kamu tentang masalah hidup?"
Semakin takut mengutarakannya.
"Nggak usah ceritain hal yang nggak penting. Masalah kamu, yaa, urusan kamu sendiri."
Dan, akhirnya aku selalu memendam masalahku.
"Jangan beli baju, mending uangnya buat beli mainan adik kamu aja."
Aku harus selalu mengalah pada adik-adikku.
"Jangan pake baju itu, jelek! Ganti yang ini aja."
Aku harus selalu mengikuti saran kedua orangtuaku, walau aku tak menyukainya.
"Keputusan kamu salah, makanya ngikutin apa kata Mama aja."
Aku tak lagi berani mengambil keputusan.
"Kamu tuh harusnya begini ... harusnya begitu ... Jangan lakukan ini ... Tak boleh menolak ... Diam sajalah, kamu ini masih kecil, tahu apa?"
Aku ... muak.
Benar-benar muak.
Mengikuti seluruh keinginan mereka layaknya 'boneka' dan tak boleh menolak.
Aku kesal. Aku ingin bebas.
Namun, aku tidak bisa terbebas.
Sekali saja aku menentang, pikiranku selalu berkata, bahwa aku tak berhak makan, minum dan tinggal di rumah ini.
Aku harus 'membayar' setiap harinya agar aku bisa menetap di tempat ini.
Aku harus membereskan rumah, menjaga adik dan tak boleh mengeluh.
Aku harus mendahulukan kebahagiaan keluargaku.
Aku harus selalu menjadi seperti yang mereka inginkan.
Tanggung jawab, tekanan dan harapan setinggi langit mengikatku di kehidupan ini.
Kebebasan menjadi hal yang tabu untukku.
Lelah. Capek. Ingin menyerah.
Sedikit pikiran dalam benakku untuk membenci keluargaku sendiri. Membenci mereka yang membuatku menjadi seperti ini.
Membenci pola asuh mereka.
Dan membenci keadaan.
"Kamu, kok, belum punya pacar, sih?"
Pertanyaan itu kerapkali terdengar. Namun, aku selalu bingung menjawabnya.
Kriteria keluargaku terlalu sempurna untuk aku yang tak memiliki kelebihan apa pun. Lagipula, aku terlalu sibuk menuruti keinginan keluarga hingga melupakan percintaan.
"Kamu nggak kuliah?"
Simpel. Tetapi, menyakitkan.
Aku hanya bisa tersenyum jika ditanya seperti itu. Senyum yang menyembunyikan lukaku.
"Kalau punya masalah jangan dipendem." Seseorang pernah berucap seperti itu padaku.
Namun, aku yang sejak kecil terbiasa memendam perasaan hanya bisa diam.
"Kamu boleh nangis sesekali."
Tetapi, Mama dan Papa bilang aku nggak boleh cengeng.
"Kamu boleh sesekali jadi egois demi kebahagiaan kamu sendiri."
Tetapi, Mama dan Papa tak pernah mengajarkan aku untuk menjadi egois.
"Kamu sudah dewasa, kamu harus bisa memutuskan hidupmu sendiri."
Tetapi, aku takut salah mengambil keputusan.
Jika aku salah mengambil keputusan, maka dunia akan menyalahkanku. Sama seperti saat aku kecil dan dimarahi sebab salah mengambil keputusan.
Jujur saja, aku sangat membenci diriku sendiri.
Benci diriku yang tak dapat menentang perintah mereka.
Benci diriku yang tak bisa mengambil keputusan sendiri.
Benci diriku yang tak mampu bersosialisasi dengan baik.
Benci diriku yang selalu mengalah.
Benci diriku yang selalu mendahulukan kebahagiaan orang lain, sementara kebahagiaanku sendiri menjadi urutan terakhir.
Aku membenci semua hal dalam diriku.
Hanya ada kekurangan dalam diriku. Tak ada kelebihan sedikitpun. Baik fisik, mental maupun karakteristik.
Aku membencinya.
Sangat membencinya.
Aku ... membenci hidupku, namun aku juga tak mau mati.