Perkenalkan namaku Farhana Lathifah. Orang-orang terdekatku memanggilku Hana. Aku akan menceritakan kisah horor yang pernah kualami di rumah tanteku.
Aku yang aslinya berasal dari kabupaten S merantau ke kota M untuk melanjutkan studi S1-ku di salah satu kampus ternama di kota itu. Aku tinggal bersama dengan sepupuku yang seangkatan denganku di rumah tanteku yang tak berpenghuni. Rumah itu masih sangat baru tapi tidak ada yang menghuninya karena tanteku menetap di kabupaten S sehingga tanteku menyarankanku untuk tinggal saja di rumahnya sampai kuliahku selesai.
Malam itu, aku sendirian di rumah karena sepupuku sedang sakit dan dibawa ke rumah sepupunya tadi sore. Saat itu aku baru saja selesai menggoreng ikan di dapur untuk makan malamku kemudian membereskan alat-alat yang kupakai untuk memasak dan membawanya ke tempat cuci piring. Entah kenapa aku mendongakkan kepalaku ke arah atap rumah dan melihat sebuah lengan pria tanpa badan yang keluar dari atap. Aku tentu saja terkejut dan tubuhku terasa kaku saat melihat penampakan itu. Dengan langkah seribu aku berlari meninggalkan area dapur dan masuk ke dalam kamar yang kutempati di rumah itu.
Aku mengunci pintu kamarku kemudian memutar ayat suci Al-Qur’an di ponselku dengan perasaan panik dan ketakutan. Tiba-tiba dari arah kamar kosong yang letaknya pas di samping kamarku, terdengar bunyi kantong kresek yang diremas-remas. Tentu saja itu membuatku tambah panik. Aku memutuskan untuk menghubungi mamaku yang ada di kabupaten S dan menceritakan semua kejadian yang kualami saat itu membuat mamaku ikut panik mendengar suaraku yang gemetaran saat bercerita.
“Tenang nak. Kamu akan baik-baik saja” ucap mamaku diseberang telfon sekedar menenangkanku.
“Tunggu nak, jangan panik. Mama akan menelfon om Fikrimu yang tadi sore mengantar penumpangnya ke kota M. Mungkin sekarang sudah tiba di kota M” lanjut mamaku kemudian memutuskan panggilan telfon untuk menghubungi om Fikri yang merupakan adik laki-laki dari mamaku.
Beberapa menit kemudian, mamaku menelfonku kembali dan mengatakan jika om Fikri sementara di jalan menuju tempatku.
Aku pun menunggu kedatangan om Fikri sambil berbincang dengan mamaku lewat telfon dan tidak berani keluar dari kamar. Aku tak membiarkan mamaku mematikan panggilan telfon sebelum om Fikri tiba.
Selang beberapa waktu, terdengar bunyi klakson mobil di depan rumah. Sepertinya om Fikri sudah datang pikirku tapi aku belum berani untuk keluar dari kamar dan menunggu sampai om Fikri mengetuk pintu.
Tok tok
Perasaanku agak tenang setelah berbicara dengan mamaku. Aku memberanikan diri untuk keluar dari kamar dan melangkahkan kakiku menuju pintu utama.
“Ini om, Hana. Buka pintunya”ucap om Fikri dari balik pintu. Aku pun membukakan pintu setelah memastikan orang tersebut adalah om Fikri.
Om Fikri kemudian masuk ke dalam rumah dan melangkahkan kakinya menuju sofa di ruang tamu.
“Apa yang terjadi, Hana?”tanya om Fikri setelah mendaratkan bokongnya di sofa.
Aku pun ikut duduk di sofa yang lain kemudian menceritakan kejadian yang kualami sebelumnya. Entah om Fikri percaya atau tidak tapi terlihat dari air mukanya, ia mengetahui sesuatu.
“Kemarin malam om juga pernah melihat sosok yang merangkak di tengah jalan pada saat pulang ke kabupaten S”ucap om Fikri membuatku merinding.
Setelah berbicara selama beberapa menit bersama om Fikri, aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Om Fikri juga akan bermalam demi diriku. Dia tidak tega meninggalkanku sendiri disaat aku baru saja mengalami kejadian yang menegangkan itu. Tanpa rasa takut, om Fikri masuk ke dalam kamar yang kosong di samping kamarku. Dia akan tidur di kamar itu karena hanya ada 2 kamar di rumah itu. Kamar itu bukanlah kamar kosong yang seperti kalian pikirkan. Kamar itu terdapat ranjang berukuran king size dan lemari besar yang berisi pakaian milik tanteku serta beberapa furnitur lainnya.
Keesokan harinya. Pagi-pagi sekali om Fikri pulang ke kabupaten S. Meskipun aku masih ingat jelas penampakan lengan pada malam itu. Aku memberanikan diri untuk bersikap baik-baik saja. Pagi itu aku berangkat ke kampus dan memutuskan untuk menginap di kos-kosan temanku yang dekat dari kampus. Aku juga menceritakan kejadian yang kualami pada teman-teman dekatku. Mereka juga ikut ketakutan dan tidak ingin mengunjungi rumah tanteku lagi karena sebelumnya mereka pernah bermalam di rumah tanteku.
Setelah 2 hari menginap di kos-kosan temanku. Aku kembali ke rumah tanteku karena sahabatku yang berasal dari daerah yang sama denganku datang mengunjungiku. Panggil saja namanya Tika. Tika punya urusan di kota M dan setelah urusannya selesai, dia datang menemuiku.
Aku tidak menceritakan tentang kejadian itu kepada Tika. Takut Tika ikut ketakutan disaat kutinggalkan sendiri di rumah karena aku harus pergi ke kampus dan Tika memutuskan menginap beberapa hari bersamaku. Tentu saja aku senang karena tidak sendirian lagi.
Kejadian yang kualami itu tersebar di beberapa kerabat-kerabatku termasuk tante Diana—pemilik rumah yang kutempati. Sebagian besar dari mereka tidak percaya dengan cerita yang kualami itu padahal peristiwa itu benar-benar terjadi. Ada salah satu kerabat yang mengatakan “Mungkin ada perampok yang berusaha masuk ke dalam rumah melalui atap”. Menurutku itu mustahil. Aku pernah mengeceknya dan tidak ada lubang sedikit pun di bagian atap dan semuanya tertutup dengan rapat.
Beberapa hari setelah kejadian itu. Orang tuaku menyuruhku pindah dari rumah itu dan mencari kos-kosan di dekat kampus. Mereka tidak ingin membuatku kepikiran tentang kejadian itu dan membuat mentalku terganggu.
1 bulan kemudian setelah kejadian itu, aku baru mengetahui tentang suatu hal yang lebih menegangkan lagi tentang lahan tempat tante Diana mendirikan rumahnya.
Ada seorang wanita paruh baya yang merupakan tetangga tanteku pernah melihat suatu kejadian yang aneh. Kita sebut saja namanya bu Siti. Konon, bu Siti pernah melihat banyak orang yang berdiri di depan rumah tanteku dan terlihat ramai pada malam hari sambil membawa lilin dan menurut bu Siti, saat itu aku dan Rani—sepupuku— ada di dalam rumah itu tetapi aku dan Rani tidak melihat atau mendengar apa pun saat itu. Cerita dari bu Siti benar-benar membuatku merinding bukan main.
Tak sampai disitu saja, om Fikri yang sebelumnya diam saja setelah kuceritakan kejadian yang kualami saat itu akhirnya mengatakan sesuatu yang ia ketahui. Katanya, puluhan tahun yang lalu sebelum adanya komplek perumahan itu. Ada 2 pria saling membunuh pas di depan rumah tante Diana dan mulanya lahan itu merupakan tempat pembuangan mayat pada masa penjajahan Belanda.
Kini anak-anak tante Diana tinggal di rumah itu. Aku pernah bertanya kepada salah satu anak perempuan tante Diana yang berhubungan dengan kejadian yang pernah kualami.
“Apakah kamu pernah mengalami suatu kejadian aneh di rumahmu?”tanyaku pada Karin—anak tante Diana— dengan penasaran karena sampai saat itu sebagian besar kerabat-kerabatku belum mempercayai kejadian yang kualami sebelumnya.
“Aku sering melihat seorang perempuan berambut panjang lewat di depan kamarku” jawab Karin dengan raut wajah biasa saja sambil tersenyum tipis.
End