“AKU TIDAK GILA!”
Seberapa keras pun teriakanku paramedis ini tidak ada yang peduli, mereka seolah tuli, mereka tidak mau mendengar orang yang mereka anggap gila ini.
“Lepaskan!”
Sekuat apa pun aku memberontak melepaskan diri, pada akhirnya mereka akan menangkapku lagi, memasukkanku ke dalam ruangan yang amat kubenci.
Bukan, ini bukan soal fasilitas ruangan. Ruangannya bagus, sangat bagus bahkan. Ranjangnya nyaman, suhu udaranya juga bisa dengan mudah disesuaikan, ada AC dan penghangat yang siap dinyalakan.
Tapi ini soal bagaimana mereka menatapku di sana. Mereka memperlakukanku seperti orang gila. Mereka melabeliku sebagai orang dengan gangguan jiwa.
Ini semua bermula dari rumahku, entah bisa disebut rumah atau tidak yang jelas di sanalah tempat tinggal ayahku, ibuku, dan aku tentu saja. Sore itu rumahku terasa berbeda.
Jika biasanya terdengar suara bentakan ayah yang menggelegar, atau suara piring, gelas dan perabotan rumah yang ibu lempar, namun hari itu tidak ada suara sama sekali. Hanya ada ayah yang sedang menonton televisi.
Biasanya setelah pulang sekolah aku langsung pergi ke kamarku, tapi tidak dengan hari itu, entah kenapa aku begitu ingin melihat ibu.
Aku segera mengetuk daun pintu kamar ibuku, namun tidak ada jawaban sama sekali dari dalam situ. “Ibu?” Aku putuskan untuk langsung membuka pintu itu saja.
Dan memang tidak terkunci, ibu tengah tidur di atas ranjang dengan posisi memunggungi. “Bu?” bahunya kupegangi. Namun ibuku tak merespons sama sekali.
“Ibu?” Tumben tidurnya nyenyak begini, biasanya ibu mudah terbangun meskipun oleh suara yang kecil sekali. Bahunya aku guncangkan sekali lagi, tapi ibu tetap tak berganti posisi.
Lama-lama aku kesal juga, aku cengkeram bahu ibuku dan menariknya sekuat tenaga agar ibu terbangun atau paling tidak menggeliat mengubah posisi tidurnya.
Tapi yang kulihat bukanlah ibu yang membuka matanya, tapi ibu yang mulutnya penuh busa. Kulihat tak jauh dari genggam tangannya ada botol obat tidur yang sudah tidak bersisa.
Ah, rupanya ibu begitu lelah sampai ingin tidur untuk selamanya, tidak heran karena hidup dengan ayah tidaklah mudah, caci maki, luka fisik dan batin sudah jadi makanan sehari-hari.
Tapi kenapa ibu meninggalkanku sendiri? Kenapa tidak mengajakku jika ingin pergi? Aku tidak ingin menangis tetapi air mataku keluar sendiri, aku ingin berteriak tapi tenggorokanku seolah diikat seutas tali.
Sesak, rasanya begitu sakit sampai ke ulu hati, ibu yang kusayangi tidak membuka matanya lagi, ibu yang kucintai nafasnya terhenti, ibu yang paling berharga di dunia ini meninggalkanku sendiri.
Aku berlari ke ruang televisi, baj*ngan itu harus tahu ibu sudah pergi, pasti karena tidak tahan akan sikapnya tiap hari, jadi sekarang giliranku, aku akan minta si brengs*k itu menghabisiku.
Dia tengah tertidur di sofa depan televisi dengan kemeja dan celana bahan berwarna hitam, seolah dia sudah tahu akan kepergian istri yang tak pernah ia sayangi.
“Ayah.” Kupanggil dia begitu, karena aku tak tahu panggilan apa lagi yang cocok untuknya, haruskah kupanggil Sial*n saja?
Ia membuka matanya, entah kenapa bibirnya tampak pucat, dan bajunya basah seperti penuh dengan keringat?
“Kemarilah nak!” suaranya pelan bergetar seperti menahan sakit, padahal ibu yang paling sakit di rumah ini kenapa laki-laki ini harus repot-repot berakting begini.
Lalu apa itu? Dia memanggilku Nak? Dia masih menganggapku anaknya ternyata.
“Selena,” panggilnya lagi karena aku tidak kunjung berpindah posisi Akhirnya aku berdiri mendekati.
Tanpa diduga dengan tiba-tiba lelaki itu memelukku erat, selama 17 tahun aku hidup ini pertama kalinya dia memelukku dan harus kuakui rasanya hangat.
“Maaf, maafkan Ayah.” Dia mengatakan itu dengan nafas yang berat, dia masih memelukku erat.
Entah mau berapa lama ia memelukku, kami masih diam dalam posisi yang sama selama beberapa waktu. Dan aku tak membalas pelukan itu, tidak juga mengatakan sesuatu karena lidahku terasa kelu.
Ada yang aneh dengan ayah, rengkuhannya mengendur, nafasnya tak lagi terasa berat namun juga tidak terdengar teratur, rasa hangat dari peluknya juga perlahan mengabur.
Berat, tubuhnya semakin berat di pundakku, seolah seluruh tubuhnya bertumpu pada diriku, aku mendorongnya untuk kembali duduk di sofa.
Tapi tubuhnya tak bertenaga, terhempas begitu saja seolah tak bernyawa. Dejavu, rasanya sama seperti melihat tubuh ibu.
Pikiranku kosong aku tidak mengerti mengapa jadi begini, sampai kulihat tanganku sendiri, tanganku yang basah saat kupakai mendorong tubuh ayah, warnanya merah.
Iya tanganku berwarna merah, kemeja ayah basah bukan karena keringat melainkan darah. Sedari tadi ia bukan menonton televisi tetapi menunggu ajalnya sendiri.
Kuambil pisau lipat bernoda merah yang kulihat di atas meja, kukira ayah sedang makan buah pome kesukaannya.
Rasanya lucu, apakah Ayah melihat ibu bunuh diri lantas ikut pergi? Atau ibu yang melihat ayah menusuk diri sendiri lantas ibu ikut bunuh diri? Atau ibu yang menusuk ayah? Mungkin juga ibu yang ayah cekoki?
Aku tidak tahu sama sekali, harus apa aku dalam situasi ini. Apakah sayatan pisau rasanya sakit ya? Tapi mungkin sakitnya tidak akan seberapa.
‘SRATT’ Ah, benar ternyata rasanya sakit juga, tetesan bahkan aliran darah itu mengucur dari pergelangan tanganku. Sakit, rasa sayatannya terasa sakit. Tapi hatiku jauh lebih sakit.
Darahku sudah menggenang di lantai putih itu, ternyata benar darah itu merah ya jenderal.
Hanya tersisa tetesan kecil, aku ingin menonton sampai tetes ini berhenti, tapi kepalaku terasa pusing sekali, pandanganku mulai tak jelas lagi, selanjutnya entah apa yang terjadi, mungkin aku tidak sadarkan diri.
Saat aku membuka mata aku sudah ada dalam ruangan berukuran 3×3, dengan ranjang, dinding dan ornamen putih dimana-mana, ruangan ini juga memiliki bau yang tidak biasa, bau obat lebih tepatnya.
Sedikit yang kutahu, setelah tidak sadarkan diri aku ditemukan oleh bibi, dia berkunjung ke rumah kami, dan yang ia temui malah mayat orang mati.
Menurut tes forensik, waktu kematian ibu dan ayah hanya berselang 2 jam lamanya.
Tidak ada yang tahu siapa yang mencelakai siapa, yang mereka tahu hanya ada aku yang masih hidup di sana.
Bibiku berspekulasi sendiri, ia bilang aku tengah memegangi pisau dan seragam putih abu-abuku bersimbah darah saat tidak sadarkan diri. Mereka berpikir aku membunuh kedua orang tuaku lalu kemudian mencoba bunuh diri.
Itulah mengapa aku berakhir di sini di poli jiwa salah satu rumah sakit ternama. Mereka mendiagnosa aku sebagai seorang psikopat gila.
Iya, mungkin juga aku sudah gila. Siapa yang tidak gila kehilangan kedua orang tuanya dengan cara yang begitu gila.
Aku kembali ke kamar setelah percobaan kaburku yang ke 9 kali gagal. Kenapa mereka ingin aku tetap tinggal? Kenapa mereka tidak mengizinkan aku meninggal?
Aku ingin menyusul ayah dan ibuku tapi mereka selalu menahanku. Usut punya usut itu ulah bibiku. Bibiku meminta mereka agar aku tetap hidup bagaimanapun caranya.
Karena jika aku meninggal dunia, maka warisan ayah dan ibu hanya akan disumbangkan ke panti asuhan sesuai dengan surat wasiat yang bertanda-tangan.
Jika aku hidup maka warisan itu akan menjadi hakku. Akan tetapi aku masih berumur 17 tahun, sedangkan Dalam Pasal 330 KUH Perdata yang mengatur perihal batasan seseorang dianggap dewasa yang berbunyi:
Seseorang dianggap sudah dewasa jika sudah berusia 21 tahun atau sudah (pernah) menikah.
Seseorang disebut belum dewasa jika masih berusia di bawah 21 tahun atau dengan kata lain masih di bawah umur.
Iya, dengan kata lain aku belum berhak atas warisan itu, maka bibi dari keluarga ayah yang akan menjadi waliku, karena ibu tidak punya keluarga, ia hidup sebatang kara.
Warisan Ayahku cukup banyak, bahkan sangat banyak. Ia seorang workaholic, perusahaannya besar, simpanannya juga tidak sedikit. Jika ditotal aset yang dimiliki bisa memperbaiki taraf hidup bibi.
Aku mengendap-endap keluar dari kamarku, tidak ada perawat yang berjaga tengah malam itu, tujuanku adalah atap rumah sakit, aku ingin melompat dari sana lalu bertemu ibuku di surga, mungkin juga akan melongok ayah di neraka.
Jalan raya masih terlihat ramai meski sudah dini hari, angin malam berembus membuatku menggigil karena dingin sekali, pembatas atap rumah sakit itu tidak terlalu tinggi, sangat mudah untuk dinaiki.
Aku menutup mataku perlahan menarik nafas terakhir lalu kuhembuskan, hanya tinggal mengambil satu langkah lali tubuhku melayang di udara kemudian tertarik gravitasi dan aku pergi dari dunia ini.
Namun sebelum kuambil langkah itu, sebuah suara menggangguku. “Kenapa kamu ingin mati?” tanya suara itu tanpa ragu.
Kubuka kembali mataku dan menoleh ke samping tepat di mana orang yang bertanya itu tengah menatapku.
“Kamu boleh mati, tapi sebelum itu kamu harus jawab pertanyaanku dulu,” dia mengatakan itu dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. “Kenapa kamu ingin mati?” tanyanya lagi.
Entah apa yang menahanku tapi rasanya aku ingin menjawab pertanyaan lelaki ini terlebih dahulu. Aku turun dari pembatas gedung itu dan berdiri di sampingnya.
“Mengapa kamu bertanya?” ujarku padanya, karena aku heran juga kenapa ia ingin tahu alasanku.
“Kenapa? Karena aku ingin hidup.” Katanya sambil tersenyum, namun senyuman itu tampak menyakitkan. “Kenapa kamu ingin mati, padahal aku ingin sekali hidup.” Katanya lagi.
“Padahal kamu masih bisa menikmati indahnya dunia, masih bisa melakukan apa yang kamu suka, dan kamu ... masih bisa ...”
“Bisa?”
“Jatuh cinta.”
Konyol, aku ingin terbahak-bahak rasanya, kenapa ingin hidup hanya untuk jatuh cinta, lihat ayah dan ibuku, mereka katanya saling cinta sampai melawan restu tuhan dan orang tua, tapi bagaimana kisah mereka? tidak ada hal baik dari cinta.
“Kau masih bisa melakukan itu semua, sedangkan aku sampai sini saja, mereka bilang umurku tidak akan sampai sebulan lagi lamanya.” Laki-laki itu masih melanjutkan ucapannya.
“Aku hanya merasa tidak ada artinya lagi untuk hidup, aku sudah tidak punya siapa-siapa, aku juga tidak tahu harus hidup untuk apa.” Jujurku, biar dia tahu apa alasanku.
“Hei, berapa umurmu?” tanya dia tiba-tiba.
“17 tahun”
“Ah sama, tapi aku akan berumur 18 tahun bulan depan hehe,” katanya bangga. “Tapi aku tidak tahu apakah umurku sampai atau tidak, Haha.” Kali ini nada suaranya tampak lesu tak bertenaga.
“Kamu pasti bisa, percaya saja.” Entah kenapa aku ingin menghiburnya, wajahnya lebih, (ekhem) tampan jika diimbuhi dengan senyuman.
“Terimakasih.” Jawabnya tersenyum tulus, nah kan sudah kubilang kalau senyumnya itu (uhukk) tampan.
“Iya sama-sama.”
“Hey, apa kamu masih ingin mati?”
“Entahlah, kelihatannya tinggi sekali aku jadi ragu lagi.” Konyol memang, tadi aku begitu berani namun setelah aku pikir lagi, pasti rasanya sakit sekali, apa ada cara yang lebih baik untuk mati?
“Kalau begitu, jangan mati dulu, hidup saja demi aku.” Dia mengatakan hal itu tanpa ragu.
“Apa maksudmu?”
“Kamu bilang ingin mati karena tidak punya alasan untuk hidup. Sekarang aku memberimu alasan untuk hidup. Bantu aku.” Katanya tanpa tahu malu.
“Kenapa aku harus membantumu?
“Karena ... “ dia menghela nafas, “Entahlah aku pun tidak punya alasan untuk minta bantuanmu." Tambahnya lagi
Melihat raut putus asa di wajahnya aku sedikit merasa iba, seolah melihat wajah ibuku setiap harinya.
“Baiklah aku akan membantumu.”
Dia menoleh cepat, sudut bibirnya kembali terangkat. Ia tersenyum lebar dengan mata berbinar. “Benarkah?” tanyanya antusias.
“Iya benar, jadi apa yang harus kulakukan?”
Dia tampak berpikir, “Entahlah, yang jelas kau hanya perlu menemaniku, melakukan hal-hal yang belum pernah kulakukan.” Katanya kemudian.
“Baiklah kalau begitu.”
Entah bagaimana kelanjutan hari-hariku, kuputuskan untuk tetap hidup beberapa saat lagi, sampai lelaki ini benar-benar harus pergi atau penyakitnya yang sembuh sendiri.
“Oh iya namamu siapa?"
“Selena, bagaimana denganmu?
“Aku Helio, mohon bantuannya sebulan ke depan ya Selena.” Katanya mengulurkan tangannya kepadaku.
“Iya, dengan senang hati.” Kubalas uluran tangan itu.
To be continued,...
Tadinya mau ditamatin di sini tapi kayaknya panjang syekali, kalau rame lanjut prat 2 saja, hehe. 🐢
Baru kali ini nulis cerpen, iya tahu harusnya cerita pendek ya dibaca sekali langsung tamat, tapi tiba-tiba panjang. 😭
Tapi kalau dibuat novel tidak syanggup, cerita Writle saja masih mangkrak. Ini mah corat-coret gaje sebelum seminar proposal hehe.
Doain Writle sukses sidangnya ya reader tercinta. 🐢🤍 (Kalau ada yang baca).