Hari itu lagi lagi hujan badai, Lisa tidak bisa pulang dari kampus. Sebenarnya tak masalah, toh tidak ada yang menunggunya di rumah. Yang ada hanya neneknya, dan beliau lebih sering tidur dari pada bangun. Namun, bukan berarti Lisa menyukai situasi ini. Rasanya Menyebalkan kalau dia hanya bisa berdiri di depan gedung tanpa bisa melakukan apa pun. Seandainya dia bisa menerobo hujan dan lari menuju gedung perpustakaan, lain lagi ceritanya. Atau, berhubung gedung ini paling dekat dengan gerbang utama, mungkin dia bisa lari ke arah rumah makan di seberang kampus dan makan siang dulu. Sayangnya, Lisa tidak membawa payung. Menerobos hujan sama saja dengan mencari masalah.
Seseorang mendekat dengan payung raksasa yang tampak mahal. Seorang ibu yang tampak cantik dan sedang sibuk menelpon, dengan tatapan yang tertuju pada sepatu hak yang berlepotan lumpur.
"Kamu lagi di mana, Sayang?"tanyanya. "Bunda udah sampe di kammpus. Gedung kamu yang mana?"
Beruntung banget anak yang dijemput itu, pikir Lisa. Aku juga mauu dijemput ibu, tapi ibu udah ngak ada lagi. Lisa kangen ibu. Lisa bersumpah akan melakukan apa aja asal ibu kembali lagi ke hidup Lisa.
Lamunan Lisa terusik oleh protes wanita itu. "Tapi Bunda udah terlanjur datang! Harusnya kamu bilang kalau mau pergi dengan teman-temanmu! Masa baru bilang sekarang?!" Wanita itu mendengarkan dengan kening berkerut. "Bunda nggak mau tahu! Manolo Bunda udah sampe rusak begini, kamu harus ikut pulang!"
"Bunda!"
Lisa menoleh dan melihat teman sekelasnya, Leztia yang sering dipanggil Tia. Tia tipikal cewek populer-cantik, bertubuh tinggi dengan rambut hitam panjang, berpenampilan modis, berasal dari keluar tajir, plus memiliki kecantikan di atas rata-rata. Belakangan ini, para cewek cantik berotak lemot sudah tidak ngehits.
Kenyataannya, Lisa lebih pintar ketimbang Tia. Namun hal itu tidak ada gunanya karena Lisa tidak keren dan gaul, padahal sudah mati-matian meniru selebgram. Bahkan Lisa ragu Tia mengenalinya.
"Bunda bikin malu banget sih!"Begitu tiba di depan ibunya, Tia langsung mengamuk. "Mana ada mahasiswi yang masih dijemput orangtuanya?! Mana Pak Rahmat? Biasanya kan dia yang jemput!"
"Pak Rahmat kan lagi antar Ayah ke Jakarta. Masa kamu lupa?"
Tia cemberut sambil menghentakkan kaki. "Terus gimana? Tia mau pake mobil! Bunda pulang naik taksi online aja!"
"Eh, dasar anak kurang ajar!" Tegur ibunya. "Udah dijemput, masih berani bilang begitu! Kenapa bukan kamu yang naik taksi online?"
"Ya udah, Tia naik taksi online!"
"Terus Bunda capek-capek ke sini buat apa? Mendingan kamu pulang sama Bunda!"
"Tadi Tia disuruh naik taksi online, terus sekarang malah disuruh pulang! Bunda maunya apa sih?"
"Bunda maunya kamu pulang bareng Bunda!" Seru ibunya tegas. "Bunda nggak mau kamu kelayapan. Bahaya! Gimana kalau ada pohon tumbang? Gimana kalau kamu malah jadi sakit? Bunda bisa habis diomelin Ayah!"
"Zaman sekarang masih takut suami! Bunda memang kolot!"
"Kamu nggak takut sama Ayah? Gimana kalau Ayah nggak mau kasih kamu uang jajan lagi?"
"Ayah mana tega? Ayah kan sayang sama Tia!"
"Makanya Tia harus pulang sama Bunda. Kalau Ayah tahu Bunda ngebiarin Tia jalan-jalan pas lagi hujan badai begini, Ayah pasti marah. Ayo, Tia, buruan pulang!"
"Shit! Sebel banget punya nyokap resek begini!
"Tia! Jangan ngomong kasar!"
Ibu dan anak itu sama sekali tidak menyadari kehadiran Lisa yang wajahnya makin lama makin muak mendengar percakapan itu. Sehari-hari Tia memang sombong dan menyebalkan, tapi Lisa tidak menyangka dia juga bertingkah seperti itu di depan orangtuannya. Lisa bisa tahan melihat ulah Tia selama ini, tapi Lisa paling benci dengan anak-anak durhaka. Anak-anak yang tidak tahu betapa beruntungnya mereka lantaran masih memiliki orangtua yang bersedia mengurus mereka.
Anak-anak durhaka yang nggak tahu balas budi begini sebaiknya nggak ada. Kalo mereka nggak ada, orangtuanya bisa fokus dengan anak-anak mereka yang lain, yang memiliki tabiat lebih baik. Atau barangkali orangtuanya bakalan mengangkat anak-anak dengan tabiat baik. Anak-anak durhaka kayak Tia sebaiknya mati aja!
Lisa menunggu dengan sabar hingga keduanya lenyap dari pandangan. Setelah yakin sudah sedirian, dia mengeluarkan buku stiker post-it, lalu menulis.
Leztia (Tia)
Ekonomi Perikanan.
Angkatan 2014
Lisa menyobek kertas Post-it itu, lalu menjejalkannya ke saku celana. Dia tahu bahwa dia seharusnya menunggu sampai hujan reda, tapi emosinya sudah memuncak, membuatnya tak bisa menahan diri. Tanpa mengindahkan hujan, Lisa berlari ke tengah-tengah plaza, yaitu kolam dengan air mancur yanh dikelilingi oleh gedung-gedung kampus, dan menghampiri papan mading yang diletakkan di sana. Nyaris tanpa melihat mading itu, dia mengeluarkan lembaran Post-it dan menempelkannya ke tepi papan mading yang memang rada kosong.
Lisa terus berjalan hingga tiba di depan gedung perpustakaan. Di depan gedung itu, dia memandangin sekeliling dan merasa lega tidak ada orang yang memperhatikannya. Sekali lagi, dia berhasil melakukannya tanpa ketahuan. Benar-benar profesional.
Bukan hanya itu, meski sekarang tidak ada yang terjadi, Lisa tahu sesuatu sudah dilakukan. Besok atau lusa, Tia akan mati, dan orangtuanya akan terbebas dari beban itu. Seandainya mereka tahu, mereka pasti akan sangat berterima kasih pada Lisa. Namun, Lisa harus merahasiakan semuanya. Itulah syarat yang dibuat dengan Malaikat Kematian, malaikat yang akan membunuh Tia sesuai keinginan Lisa.
Sambil berjalan pergi, Lisa tersenyum. Cewek itu merasa seperti pembela kebenaran. Tugasnya adalah menentukan anak-anak mana yang pantas dilenyapkan anak-anak yang durhaka pada orangtuannya. Dia tidak membunuh anak-anak itu, jadi dia bukan psikopat. Yang dia lakukan hanya menuliskan nama anak-anak itu. Bukan salahnya jika anak-anak itu kemudian ditemukan tewas.
Bukan salahnya jika Malaikat Kematian benar-benar ada di dunia ini.