Namaku Raka, seorang pria berusia 27 tahun yang selalu bekerja keras di sebuah perusahaan, pikirku begitu. Pagi itu, seperti biasa, aku bangun lebih awal untuk bersiap-siap pergi ke kantor. Kehidupan yang kujalani penuh dengan rutinitas yang melelahkan, namun aku selalu mencoba untuk bertahan demi mimpi dan harapan yang kugenggam.
Di kantor, tekanan demi tekanan menghampiriku. Tugas-tugas yang seakan tak ada habisnya menumpuk di mejaku, ditambah lagi dengan atasan yang selalu menuntut lebih. Rekan-rekan kerjaku tampak acuh, seakan-akan aku tidak pernah ada di sana. Setiap hari terasa seperti perjuangan yang berat, namun aku berusaha untuk tetap bertahan dan menyelesaikan pekerjaanku dengan baik.
Di tengah kesibukan kantor, aku tidak pernah merasa kesepian. Meskipun tidak ada teman yang bisa diajak berbagi cerita atau sekadar bercanda untuk mengusir penat. Setiap kali ada kesempatan, aku menyendiri di sudut ruangan, meresapi kesunyian yang sejenak bisa membuatku merasa tenang.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Hari itu, aku menerima panggilan dari salah satu senior di kantor, Fajar. Suaranya terdengar dingin dan penuh ejekan. Ia memintaku datang ke ruang rapat, dengan alasan ada sesuatu yang perlu dibahas. Aku merasa ada yang tidak beres, namun aku tetap pergi ke sana.
Ketika aku masuk ke ruang rapat, yang kulihat bukanlah sebuah pertemuan biasa. Fajar dan beberapa senior lainnya sudah menungguku dengan senyum licik di wajah mereka. Sebelum aku sempat bertanya apa yang sedang terjadi, mereka mulai mengeluarkan kata-kata kasar dan ejekan yang menghina.
“Raka, kau pikir bisa terus bertahan dengan kerja kerasmu yang tidak seberapa itu?” kata Fajar dengan nada mengejek. Aku hanya bisa diam.
Hari itu, setelah seharian bekerja keras dan menghadapi berbagai tekanan, aku merasa sangat lelah. Dalam perjalanan pulang, aku mencoba menghibur diri dengan mendengarkan musik favoritku, berharap bisa sedikit melupakan semua masalah yang dihadapiku. Namun, sebuah kejutan yang tidak menyenangkan sudah menantiku.
Saat tiba di parkiran kantor, aku mendapati beberapa senior yang sering merundungku sudah berkumpul di sana, dengan badan mereka yang tinggi - tinggi. Mereka menatapku dengan senyum licik di wajah mereka. Aku merasa jantungku berdebar lebih cepat, instingku mengatakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Hei, Raka! Mau ke mana? Kami ada kejutan untukmu,” kata Fajar dengan nada mengejek.
Sebelum aku sempat menjawab atau bereaksi, mereka menarikku dengan paksa dan membawaku ke sebuah mobil. Mereka membawaku ke sebuah tempat yang sepi, jauh dari keramaian kota. Tempat itu berada di pinggiran kota, sebuah lahan kosong yang dikelilingi oleh hutan kecil. Di sana, tidak ada satu pun orang yang bisa melihat atau mendengar apa yang akan terjadi.
Aku sudah bisa menebak apa yang akan mereka lakukan, karena ini bukan pertama kali mereka melakukannya padaku.
Ketika sampai di tempat tersebut, mereka mendorongku keluar dari mobil dan aku jatuh tersungkur di tanah yang berlumpur. Sebelum aku sempat bangkit, sebuah telur tiba-tiba melayang dan pecah di kepalaku. Telur mentah itu menetes ke wajah dan bajuku, membuatku terkejut dan merasa dipermalukan. Belum sempat aku menghapus telur yang mengalir di wajahku, seember lumpur dituangkan ke atas kepalaku, mengotori seluruh tubuhku.
“Ini dia, pahlawan kita yang selalu bekerja keras!” teriak salah satu senior dengan nada sarkastik, diikuti oleh tawa teman-temannya.
Aku mencoba melangkah mundur, namun mereka sudah mengelilingiku. Tak ada jalan keluar. Mereka terus melempariku dengan telur dan lumpur, membuatku merasa semakin tak berdaya. Telingaku kemudian ditarik dengan kasar, dan aku dipaksa duduk di atas genangan lumpur. Mereka menuangkan air kotor ke telingaku, membuatku sulit bernapas dan mendengar.
“Kau pikir bisa lari dari ini semua? Ini baru permulaan!” Fajar melanjutkan, wajahnya semakin mendekat ke wajahku yang penuh lumpur.
Aku hanya bisa diam, menahan tangis dan rasa malu yang luar biasa. Aku tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Setiap usaha untuk bangkit hanya membuatku lebih ditekan. Aku merasa seakan-akan dunia ini tidak adil, mengapa diriku harus mengalami semua ini.
Setelah puas merundung, para senior itu akhirnya pergi, meninggalkanku yang duduk sendiri di tengah tempat sepi itu, basah dan kotor. Malam semakin larut, namun aku tidak punya energi untuk bergerak. Aku merasa hancur, baik secara fisik maupun mental. Perlahan, aku mulai merenungkan hidupku. Segala kerja keras dan pengorbanan seolah tidak ada artinya di tengah lingkungan yang begitu kejam.
Sambil duduk di sana, aku berpikir untuk pergi. Meninggalkan semuanya dan mencari tempat di mana aku bisa hidup tenang tanpa tekanan dan rundungan. Aku merasa butuh tempat yang jauh, di mana hanya ada aku sendiri. Sebuah tempat di mana aku bisa memulai hidup baru, jauh dari segala beban dan masalah. Aku membayangkan tempat yang indah, mungkin sebuah pulau di tengah samudra di mana cakrawala menyatu dengan indahnya lautan. Sebuah tempat di mana aku bisa merasakan kebebasan yang sejati, jauh dari hiruk pikuk dan kejamnya dunia yang aku tinggali sekarang.
Keesokan harinya, dengan tubuh yang masih terasa sakit dan hati yang hancur, aku memutuskan untuk berbicara dengan ibuku. Aku menceritakan semua yang terjadi, tentang bagaimana aku tidak tahan lagi dengan situasi di kantor dan bagaimana aku merasa tidak punya pilihan lain selain pergi.
“Bu, aku butuh waktu untuk sendiri. Aku tidak tahan lagi di sini. Aku ingin pergi ke tempat yang jauh, di mana aku bisa tenang dan memikirkan langkah selanjutnya dalam hidupku,” kataku dengan suara serak, menahan air mata yang hampir jatuh.
Ibuku, meskipun merasa sangat khawatir, mencoba untuk memahami dan mendukung keputusanku. “Nak, kalau kamu merasa itu yang terbaik, Ibu mendukungmu. Tapi ingat, ke mana pun kamu pergi, Ibu selalu ada untukmu. Jangan ragu untuk kembali jika kamu butuh bantuan.”
Dengan restu dari ibuku, aku mulai merenungkan perjalananku. Aku berencana untuk pergi jauh, ke tempat yang benar-benar berbeda dari kehidupanku sekarang. Tempat di mana hanya ada ketenangan dan keindahan alam yang murni. Namun, aku tahu bahwa keputusan ini tidak bisa diambil dengan tergesa-gesa. Aku butuh waktu untuk merencanakan semuanya dengan baik.
Hari-hari berlalu dengan lambat. Aku mencoba menyelesaikan sisa pekerjaanku di kantor dengan profesionalisme, meskipun hatiku sudah tidak lagi berada di sana. Setiap kali aku melihat para senior yang telah merundungku, rasa takut dan marah kembali menghantuiku. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada rencanaku untuk pergi.
Di malam hari, aku sering duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang penuh bintang. Di sana, aku merenung tentang hidupku, tentang impianku yang belum tercapai, dan tentang kebebasan yang aku dambakan. Aku membayangkan diriku berada di tengah samudra, di atas perahu kecil yang terapung tenang, dengan cakrawala yang menyatu dengan lautan biru. Di tempat itu, aku merasa bisa menemukan kedamaian yang selama ini hilang dari hidupku.
Langkah pertama yang harus aku lakukan adalah membuat paspor. Meskipun seumur hidup belum pernah bepergian ke luar negeri, aku tahu bahwa perjalanan ini membutuhkan dokumen resmi untuk bisa pergi sejauh yang kuinginkan. Aku pun segera mengurus segala persyaratan yang diperlukan. Dengan membawa berkas-berkas penting seperti KTP, akta kelahiran, dan pas foto, aku pergi ke kantor imigrasi.
Proses pembuatan paspor cukup memakan waktu. Aku harus mengantre, mengisi formulir, dan melalui beberapa tahap verifikasi. Namun, aku tetap sabar dan tekun, mengingat tujuan besar yang ingin kucapai. Setelah beberapa minggu menunggu, akhirnya pasporku jadi. Dengan paspor di tangan, aku merasakan satu langkah besar telah kulalui.
Langkah berikutnya adalah memesan tiket pesawat. Setelah melakukan riset, aku memutuskan untuk terbang ke Chili, negara terdekat yang memiliki akses ke samudra Pasifik. Dari sana, aku bisa menyewa perahu dan memulai perjalananku di lautan luas. Aku membuka situs web perjalanan dan mencari tiket dengan harga yang terjangkau. Aku memesan tiket penerbangan dari Jakarta ke Santiago, Chili, dengan transit di beberapa negara. Meskipun perjalanan ini akan memakan waktu lama, aku tidak peduli. Yang penting adalah aku bisa mencapai tujuanku.
Setelah tiket pesawat sudah dipesan, aku mulai memikirkan perbekalan yang akan kubawa. Perjalanan di tengah samudra tidak akan mudah, dan aku perlu mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Aku membuat daftar barang-barang yang akan dibutuhkan, seperti makanan kaleng, air minum, obat-obatan, pakaian, dan peralatan bertahan hidup. Aku pergi ke beberapa toko untuk membeli semua perbekalan tersebut. Aku juga memesan beberapa barang secara online untuk memastikan aku mendapatkan yang terbaik.
Aku kemudian mencari informasi tentang penyewaan perahu di Chili. Aku menemukan beberapa penyedia layanan yang menawarkan perahu lumayan besar yang bisa disewa untuk jangka waktu lama. Aku menghubungi salah satu penyedia layanan tersebut dan melakukan negosiasi harga serta fasilitas yang akan kudapatkan. Aku memastikan bahwa perahu yang kuswa cukup besar untuk diriku sendiri dan semua perbekalan yang kubawa. Perahu itu juga harus dilengkapi dengan alat navigasi, GPS, dan perlengkapan keselamatan yang memadai.
Sambil menunggu hari keberangkatanku, aku menghabiskan waktu untuk belajar lebih banyak tentang navigasi laut. Aku membaca buku-buku tentang pelayaran, menonton video tutorial, dan bergabung dengan forum-forum online yang membahas tentang kehidupan di laut. Meskipun aku tidak memiliki pengalaman sebelumnya, aku merasa yakin bahwa dengan persiapan yang matang, aku bisa menghadapi segala tantangan yang akan datang.
Hari keberangkatan akhirnya tiba. Dengan hati yang penuh tekad dan harapan, aku berpamitan kepada ibuku. “Bu, aku akan pergi sekarang. Terima kasih atas semua dukungan dan doamu. Aku akan menjaga diriku dengan baik,” kataku sambil memeluk ibuku erat.
“Ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Nak. Hati-hati di jalan dan jangan lupa untuk selalu berkomunikasi jika memungkinkan,” jawab ibuku dengan suara bergetar.
Aku membawa koper besar yang berisi semua perbekalanku dan menuju bandara. Di bandara, aku melewati proses check-in, pemeriksaan keamanan, dan akhirnya naik ke pesawat yang akan membawaku menuju Chili. Selama perjalanan, aku merasa campur aduk antara rasa cemas dan antusias. Aku tahu bahwa perjalananku ini tidak akan mudah, namun aku juga merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk menemukan kebebasan dan kedamaian yang selama ini kucari.
Setelah beberapa kali transit dan berjam-jam di udara, aku akhirnya tiba di Santiago, Chili. Aku merasakan udara yang berbeda, suasana yang baru, dan bahasa yang asing di telingaku. Dengan bantuan peta dan aplikasi penerjemah, aku mencari tahu cara menuju pelabuhan tempat aku akan menyewa perahu.
Setibanya di pelabuhan, aku bertemu dengan agen penyewaan perahu yang sudah kuhubungi sebelumnya. Mereka menunjukkan perahu yang akan kusewa. Perahu itu cukup besar dan kokoh, dengan ruang kabin yang nyaman, dapur kecil, dan perlengkapan navigasi yang lengkap. Aku merasa lega melihat perahu tersebut, karena aku tahu bahwa perjalananku akan memakan waktu lama di tengah lautan.
Setelah menandatangani kontrak penyewaan dan memastikan semua perbekalanku sudah dimuat ke dalam perahu, aku berdiri di dermaga, menatap luasnya samudra Pasifik. Di hadapanku terbentang lautan biru yang tampak tak berujung, dengan cakrawala yang menyatu indah dengan langit. Perasaan takut dan keraguan sempat menghampiriku, namun aku menguatkan tekadku.
“Ini adalah saatnya,” pikirku. Dengan keberanian yang baru, aku menaiki perahu dan mulai menyalakan mesin. Perlahan, perahu itu bergerak meninggalkan dermaga, menuju ke tengah samudra yang luas.
----
Empat hari telah berlalu sejak aku meninggalkan dermaga di Santiago. Perjalanan di laut luas ini memberikan pengalaman yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Di siang hari, aku menikmati pemandangan laut biru yang tampak tak berujung, sementara malam hari ditemani dengan bintang-bintang yang bersinar terang di langit. Rasanya, segala tekanan dan rasa sakit yang kurasakan selama ini mulai menghilang, tergantikan oleh kedamaian dan kebebasan yang kurindukan.
Namun, pada hari kelima, cuaca mulai berubah. Langit yang awalnya cerah perlahan-lahan dipenuhi oleh awan gelap. Angin bertiup kencang, membuat perahu kecilku bergoyang lebih keras dari biasanya. Aku merasa sedikit cemas, namun mencoba tetap tenang. "Ini pasti hanya badai kecil," pikirku. Tetapi, awan hitam yang semakin tebal dan angin yang semakin kencang berkata sebaliknya.
Malam itu, badai besar datang tanpa ampun. Ombak tinggi menggulung dan menghantam perahuku dengan kekuatan yang menakutkan. Perahu yang kukendarai bergoyang hebat, membuatku sulit untuk berdiri atau bahkan tetap duduk dengan stabil. Alat GPS yang menjadi panduanku jatuh ke lantai dan pecah, sementara handphone yang kugenggam terlepas dari tanganku dan terseret ombak ke laut. Aku panik, tak tahu harus berbuat apa.
Angin kencang dan hujan deras membuat visibilitas nyaris nol. Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan perahu, namun sia-sia. Tubuhku diguncang-guncang, dan aku mulai merasa pusing. Rasa takut menyelimuti diriku. Dalam kegaduhan badai, aku kehilangan kesadaran, tubuhku terjatuh dan pingsan.
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Ketika akhirnya aku terbangun, suasana di sekitarku berubah total. Tidak ada lagi badai atau gelombang tinggi. Aku terbangun di atas perahuku yang terapung tenang di tengah lautan yang luas. Langit biru cerah tanpa awan sedikit pun. Lautan di sekitarku juga sangat tenang, seolah-olah badai tadi malam hanyalah mimpi buruk belaka.
Aku duduk dan melihat sekeliling. Tempat ini sungguh berbeda dari sebelumnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan lain, tidak ada kapal lain, tidak ada burung yang terbang. Hanya aku, perahuku, dan lautan luas yang membentang sejauh mata memandang. Cakrawala terlihat begitu indah, seakan-akan menyatu dengan langit biru di kejauhan.
Aku mencoba mencari GPS atau handphone, namun keduanya hilang. Alat-alat navigasiku tak lagi ada. Aku tidak tahu di mana tepatnya aku berada, dan tanpa alat-alat itu, aku tidak bisa mengetahui koordinatku. Namun, anehnya, aku tidak merasa panik. Sebaliknya, aku merasa sangat tenang.
Di tengah kesunyian dan ketenangan ini, aku menyadari bahwa mungkin inilah tempat yang selama ini kucari. Tempat di mana aku bisa merasakan kedamaian dan kebebasan sejati, jauh dari segala hiruk pikuk dan tekanan hidup di kota. Cakrawala yang menyatu dengan indahnya lautan memberikan pemandangan yang begitu menakjubkan, seolah-olah aku berada di dunia lain yang penuh ketenangan.
Aku menghabiskan waktu dengan duduk di dek perahu, menikmati setiap hembusan angin lembut dan suara gemericik air. Aku merasa begitu kecil di tengah lautan yang luas ini, namun juga merasa begitu bebas. Tidak ada satu pun masalah yang menghantui pikiranku, tidak ada satu pun tekanan yang membebani hatiku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa benar-benar bebas dan bahagia.
Hari-hari berikutnya kujalani dengan damai. Aku tidak tahu berapa lama aku akan berada di tempat ini, namun aku tidak peduli. Yang penting adalah aku menemukan tempat yang selama ini kucari, tempat di mana aku bisa merasakan kedamaian yang sejati. Aku merasa puas dan bersyukur, meskipun harus kehilangan alat navigasi dan perbekalan yang terbatas.
Aku sadar bahwa pada akhirnya aku harus kembali ke dunia nyata, namun untuk saat ini, aku ingin menikmati setiap detik yang kupunya di tempat ini. Tempat di mana cakrawala dan lautan menyatu dengan indah, memberikan pemandangan yang tak terlupakan dan kedamaian yang begitu mendalam. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, untuk benar-benar menikmati dan meresapi ketenangan yang kudapatkan.
Hari-hari di tengah samudra telah memberiku kedamaian yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Setiap pagi, aku terbangun dengan pemandangan indah di sekitarku, diiringi suara gemericik air yang menenangkan. Langit dan laut seakan menyatu menjadi satu warna biru yang sempurna. Namun, ketenangan ini tidak berlangsung lama.
Suatu pagi, saat aku sedang menikmati sarapan sederhana di atas dek, mesin perahuku tiba-tiba berhenti. Suara mesin yang biasanya menjadi latar belakang tenang mendadak hilang, digantikan oleh keheningan yang mencekam. Aku mencoba menyalakan kembali mesin, tetapi tidak berhasil. Mesin itu benar-benar mati.
Panikan mulai merayapi pikiranku. Tanpa mesin, aku hanya bergantung pada angin dan arus laut. Aku mencoba memeriksa mesin, namun pengetahuanku tentang mesin perahu sangat terbatas. Tak ada yang bisa kulakukan untuk memperbaikinya.
Setelah beberapa saat merenung dan mencoba tetap tenang, aku ingat ada gayung yang kusimpan di bawah dek. Gayung itu memang sudah kusiapkan sebagai alat darurat, meskipun aku tidak pernah berharap akan menggunakannya. Dengan semangat baru, aku mengambil gayung tersebut dan mulai mendayung.
Awalnya, aku merasa sedikit canggung dan tidak yakin dengan arah yang kutuju. Samudra luas ini tampak tak berujung, dan tanpa alat navigasi, aku hanya bisa mengandalkan insting dan arah matahari. Aku mendayung dengan ritme yang stabil, mencoba mengarahkan perahu ke arah yang kupikir paling aman dan logis.
Hari pertama mendayung sangat melelahkan. Aku menghabiskan sebagian besar waktu dengan beristirahat dan mengatur napas. Namun, meskipun capek, aku merasakan kepuasan tersendiri. Setidaknya, aku tidak menyerah begitu saja. Malam harinya, aku tidur di atas dek, ditemani oleh bintang-bintang yang berkilauan di langit.
Keesokan harinya, aku melanjutkan perjalanan dengan gayung. Setiap kali mendayung, aku merasakan otot-ototku semakin kuat dan terbiasa dengan gerakan tersebut. Meskipun lambat, aku merasa bahwa aku masih memiliki kendali atas nasibku sendiri. Setiap kali perahu bergerak maju, betapa pun kecil jaraknya, itu adalah kemajuan.
Waktu berlalu dengan lambat di tengah samudra. Hari-hari berganti menjadi minggu-minggu, dan aku mulai terbiasa dengan rutinitas baru ini. Setiap pagi, aku terbangun dengan semangat baru, meskipun tidak tahu ke mana arah tujuanku. Aku mendayung dengan tekad yang kuat, menikmati setiap momen kesunyian dan ketenangan di lautan luas ini.
Terkadang, aku merasa putus asa. Pikiran tentang bagaimana aku bisa kembali ke peradaban dan bertemu kembali dengan ibuku menghantuiku. Namun, aku mencoba untuk tidak larut dalam rasa putus asa. Aku ingat bahwa tujuan awal perjalananku adalah mencari kedamaian dan kebebasan. Di tengah samudra yang luas ini, aku merasa lebih hidup daripada sebelumnya.
Di satu titik, aku mulai menerima kenyataan bahwa aku mungkin tidak akan menemukan daratan dalam waktu dekat. Namun, hal itu tidak lagi membuatku takut. Sebaliknya, aku merasa bahwa di sinilah aku menemukan diriku yang sejati. Di tengah kesunyian dan ketenangan samudra, aku belajar banyak tentang ketahanan, keberanian, dan makna kehidupan.
Sudah beberapa minggu aku mendayung tanpa arah yang pasti di tengah samudra yang luas. Setiap hari adalah perjuangan untuk bertahan hidup, tapi aku tetap gigih mendayung dengan harapan bahwa suatu hari aku akan menemukan daratan. Dan akhirnya, harapan itu menjadi kenyataan. Di kejauhan, aku melihat sebuah pulau kecil. Dengan semangat yang baru, aku mendayung lebih cepat, berharap menemukan tempat untuk berlindung dan mencari air bersih.
Setelah beberapa jam mendayung, aku akhirnya tiba di tepi pulau tersebut. Aku meloncat dari perahu dan menariknya ke pantai. Saat aku menjejakkan kaki di pasir, perasaan lega dan haru menyelimuti diriku. Namun, kegembiraanku segera pudar ketika aku melihat keadaan pulau itu. Pulau ini tampak sangat kotor, dipenuhi sampah yang kemungkinan terbawa arus laut dari pulau-pulau lain atau kapal-kapal yang lewat. Botol plastik, kaleng, dan berbagai jenis limbah berserakan di sepanjang pantai.
Meskipun pulau ini tampak tak berpenghuni dan penuh sampah, aku tahu bahwa aku harus bertahan hidup. Langkah pertama yang kuambil adalah mengumpulkan kayu dan benda-benda yang bisa dibakar. Aku berharap bisa membuat sinyal api besar yang bisa dilihat oleh pesawat atau kapal yang mungkin melintas di dekat pulau ini. Namun, dalam hati kecilku, aku sadar bahwa kemungkinan pesawat melintas di atas samudra yang luas ini sangat kecil.
Aku mulai berjalan mengelilingi pulau untuk mencari bahan bakar. Aku menemukan banyak kayu kering yang terdampar di pantai, serta beberapa potongan plastik dan karet yang bisa membantu membuat api. Dengan penuh tekad, aku mengumpulkan semua barang yang bisa kubakar dan menyusunnya di tengah pulau, di tempat yang cukup terbuka agar asapnya bisa terlihat dari jauh.
Saat malam tiba, aku menyalakan api unggun besar dan berharap ada pesawat atau kapal yang melihat sinyal daruratku. Aku berdiri di tepi pantai, memandangi api yang berkobar, dengan harapan dan doa yang tak henti-hentinya terucap. Namun, malam berlalu tanpa tanda-tanda kehadiran siapa pun. Tidak ada cahaya dari pesawat yang melintas di langit, tidak ada suara kapal yang mendekat. Kegelapan malam hanya ditemani oleh suara ombak yang menghantam pantai.
Tapi kupikir aku tidak pernah mendengar sebuah penerbangan pesawat melalui samudra pasifik.
Hari-hari berikutnya di pulau ini adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Aku harus sangat berhati-hati dengan persediaan air minumku yang hanya tinggal satu galon. Aku tahu bahwa tanpa air bersih, aku tidak akan bisa bertahan lama. Aku mencari sumber air di pulau ini, namun yang kutemukan hanyalah genangan air asin yang tidak bisa diminum.
Rasa khawatir mulai menyelimuti diriku. Setiap kali aku meneguk air dari galon, aku merasakan ketakutan bahwa persediaan air ini akan habis sebelum aku bisa diselamatkan. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang dan berpikir positif. Aku mengingatkan diriku bahwa aku telah bertahan sejauh ini, dan aku tidak boleh menyerah sekarang.
Di tengah kesulitan ini, aku juga mencoba untuk menemukan cara lain untuk bertahan hidup. Aku memanfaatkan sampah-sampah yang ada di pulau ini, mencari benda-benda yang mungkin berguna. Aku menemukan beberapa kaleng bekas yang bisa kugunakan untuk menampung air hujan jika hujan turun. Aku juga mencari makanan di sekitar pulau, seperti buah-buahan atau ikan yang mungkin bisa kutangkap di laut.
Namun, semua usahaku tampak sia-sia. Tidak ada hujan yang turun, dan makanan yang kutemukan sangat terbatas. Setiap hari, aku merasa tubuhku semakin lemah karena kekurangan air dan makanan. Aku tahu bahwa aku harus menemukan cara untuk mendapatkan bantuan secepatnya, atau aku tidak akan bertahan lama di pulau ini.
Aku berdiri di tepi pantai, memandangi cakrawala dengan harapan yang mulai memudar. Namun, di tengah semua kesulitan ini, aku tetap berusaha untuk bertahan dan tidak menyerah. Aku tahu bahwa aku harus terus berjuang, apa pun yang terjadi.
Pulau ini mungkin tampak seperti tempat yang tidak ramah dan penuh sampah, namun bagiku, pulau ini adalah harapan terakhir untuk bertahan hidup. Dengan hati yang penuh tekad dan semangat yang tak pernah padam, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan terus berusaha mencari jalan keluar dari sini. Aku tidak akan menyerah, meskipun keadaan tampak begitu sulit dan penuh tantangan.