Belasan tahun lalu, dunia diambang kehancuran, perang dimana-mana, memporak-porandakan Kerajaan dan wilayah-wilayah besar lainnya.
Perang itu melibatkan semua ras yang ada di dunia. Iblis, Elf, Demi Human, Manusia, dan Dwarf. Mereka ada yang bersekutu, ada juga yang maju tanpa bantuan siapapun.
Semua itu terjadi karena keserakahan, manipulasi, dan rencana busuk yang dilakukan oleh Raja Iblis untuk menghancurkan dunia hingga akarnya. Dia melakukan itu atas dasar ego yang menginginkan seluruh dunia berada dalam genggamannya.
Rencananya hampir berhasil, beberapa ras mulai menyerang satu sama lain, menghancurkan tanpa pandang bulu, dan melupakan masa-masa atau perjanjian yang pernah mereka lakukan di masa lalu.
Tidak ada siapapun yang mengetahui alasan di balik peperangan ini, tidak, lebih tepatnya, apa yang telah Raja Iblis lakukan? Bahkan dia sampai membuat ras Dwarf turun langsung ke medan pertempuran, siapapun mengetahui bahwa mereka adalah makhluk pengrajin, berperan sebagai produsen, bukan konsumen.
Dengan alat-alat canggih yang mereka miliki, kemenangan dapat terlihat jelas, bahkan para Elf saja sampai kewalahan dalam mengatasi serangan dari senjata mereka.
Namun, itu tidak berlaku bagi ras Manusia yang memiliki beberapa pejuang hebat, salah satunya adalah Ed, penyihir serba bisa yang tidak terbatas pada satu esensi.
Ed adalah satu dari milyaran orang yang bisa menggunakan berbagai esensi dalam satu kendali tubuh. Dengan kekuatan yang dia miliki, umat manusia berhasil memukul mundur para gerombolan gila yang terus-menerus menyerang benteng pertahanan.
Itu terus berlanjut hingga beberapa tahun, dan pada akhirnya, dengan bantuan Ed, manusia berhasil menaklukkan peperangan, menghancurkan Raja Iblis dan membuatnya tidak dapat bereinkarnasi kembali.
Ya, itu semua berkat Ed. Secara ajaib, dia dapat menggunakan esensi kegelapan dan cahaya dengan sempurna. Padahal menurut semua penyihir, hal seperti itu adalah sesuatu yang mendekati kata "Mitos", alias tidak mungkin dapat dilakukan, mengingat keduanya saja memiliki energi yang bertolak belakang.
Kegelapan dan cahaya selalu dikenal sebagai musuh bebuyutan, mereka muncul untuk menghancurkan satu sama lain, membuktikan siapa yang lebih kuat. Contoh kuatnya adalah sosok Raja Iblis dan Pahlawan yang dianugerahi oleh Dewa.
Akan tetapi, itu tidak berlaku bagi Ed, dengan menggabungkan keduanya, dia bisa menciptakan sebuah esensi baru yang dapat menyerap kedua energi itu layaknya black hole di luar angkasa. Tidak hanya itu, dengan menggunakannya, Ed dapat memanipulasi suatu massa, mengubah gaya tarik, atau bahkan sampai mengatur gravitasi bumi.
Itu sangat kuat, bukan? Memiliki kekuatan seperti itu merupakan idaman setiap orang.
Namun, Ed tidak berpikir demikian. Karena suatu hal, dia mulai melupakan statusnya sebagai pahlawan dan penyihir terhebat, membangun sebuah tempat rahasia yang dilapisi ilusi 4 dimensi, mengurung diri hingga puluhan tahun.
Tidak ada yang mengetahui alasan di balik tindakannya tersebut, sehingga beberapa orang memutuskan untuk mencari tahu dengan melakukan ekspedisi ke area yang sekiranya akan ditempati oleh Ed.
Walaupun hasilnya tetap nihil. Tidak ada satupun yang dapat mengetahui keberadaannya. Paling tidak, sebelum Alex turun tangan dan berhasil mengetahui keberadaannya hanya dalam kurun waktu beberapa bulan saja.
Di sebuah hutan yang sering dilalui, ramai oleh habitat, Ed membangun sebuah gubuk dengan ukuran yang sederhana, berbahan kayu, berdesain kuno. Di sekelilingnya terdapat barier sihir yang selama ini telah menyembunyikan keberadaannya.
Tidak terganggu oleh "Kenormalan" yang dilihatnya, Alex mengetuk pintu, tidak memanggil nama, tapi itu efektif untuk membuat Ed membuka pintunya.
"… Kau…"
Pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria muda berambut hitam, kulit cerah, mata merah, dan pakaian yang lusuh. Jika dilihat seperti ini, usianya diperkirakan sekitar 20 tahun-an.
Tapi nyatanya, dia lebih tua dari itu.
"Hai, kawan! Apa kabar?" Alex mengangkat tangannya, tersenyum santai dengan mata mengantuk.
"Ck." Ed membuang muka, meludah ke samping, raut wajah terlihat kesal, "Bagaimana kau bisa mengetahui keberadaan ku?"
Mendengarnya, Alex menyunggingkan senyuman, "Kau adalah penyihir yang menggunakan logika. Menggunakan tempat yang tidak terduga untuk dijadikan sebagai tempat persembunyian adalah rencana dari seorang jenius. Dan asal kau tahu, kita ini sama…" ujar Alex sambil menunjuk keningnya.
"Hentikan lelucon buruk mu itu." tegas Ed semakin kesal, " Akan ku ubah pertanyaannya. Untuk apa kau datang kemari?"
"Tidak sabaran, ya? Kenapa kita tidak membicarakannya di dalam saja? Melihat bagaimana tempat ini disihir menjadi lebih asri sedikit menggangguku…" ungkapnya sambil menoleh ke samping, melihat perkebunan yang sudah panen, disertai tanaman-tanaman indah yang menjalar dengan bebas.
Walaupun kesal, Ed mempersilahkan Alex untuk masuk. Dia berjalan masuk, mengabaikan Alex yang kemudian mengekor di belakangnya.
Mereka tiba di ruangan sederhana, terdapat sebuah meja berbentuk persegi panjang dengan empat kursi, masing-masing sisi memiliki dua kursi.
Alex meraih salah satunya, duduk secara perlahan, dan melihat Ed pergi ke ruangan lain untuk mengambil teh yang kebetulan sudah dia siapkan untuk tujuan lain.
Tidak butuh waktu lama, Ed datang sambil membawa dua cangkir kecil dan teko berukuran normal. Dia menuangkan teh ke salah satu gelas, kemudian mendorong teko ke arah Alex, menyuruhnya untuk menuangkan tehnya sendiri.
"Heh? Setidaknya layanilah tamu mu ini, terlebih kita adalah sahabat sejak kecil! Apakah kau tega membiarkanku untuk menuangkan teh sendiri setelah menempuh perjalanan yang begitu panjang?"
Ed mengambil kursi di seberang Alex, kembali berdecak kesal, wajahnya terlihat sangat hina. "Kau bukan tamu ku, dan kita bukanlah sahabat. Jangan terlalu mengada-ada. Dan juga, kedatangan mu ini didasarkan atas inisiatif sendiri, berhenti mengatakan omong kosong."
"Hmm…" Alex memperhatikan setiap perubahan dalam wajah Ed, membuatnya tersadar akan sesuatu, "Kau benar-benar tidak memaafkan ku, ya? Itu masuk akal, sih…" ucapnya sambil menuangkan teh secara perlahan.
"Memaafkan mu sama halnya dengan menggali kuburan ku sendiri." Ed menyandar ke kursi, "Tidak mungkin aku akan melakukannya."
"Heh? Tapi kau sudah melakukan itu. Bahkan masih meninggalkan bekasnya, lho. Apa kau lupa untuk menutupnya kembali?" sahut Alex dengan cepat, senyumannya terlihat misterius, membangkitkan emosi baru di dalam diri Ed.
"Kau datang ke sini untuk mencari masalah denganku?" tanya Ed, tiba-tiba berubah menjadi menakutkan.
"Aku tidak ada berbicara seperti itu. Tapi…" Alex memberi jeda, kemudian melebarkan senyumannya, "aku bersedia melakukan itu jika kau mau."
"Kau!—"
Ketika tensi memuncak, suara lembut tiba-tiba terdengar, menghancurkan suasana yang hampir menjadi kacau balau hanya karena sedikit provokasi.
"Ed? Siapa dia?"
Secara bersamaan, mereka menoleh, memiliki ekspresi yang berbeda ketika melihat sesosok wanita muda sedang berdiri dengan tangan memegang piring kecil berisikan camilan kecil.
Tidak seperti Ed yang langsung berlari menghampirinya, Alex justru terdiam, matanya membulat, mulut sedikit terbuka. Dia terkejut, sekaligus bahagia melihat sosok wanita itu, walaupun dia yakin ini adalah ilusi lain yang dibuat oleh Ed.
"Hen, kenapa kamu keluar? Sudah aku bilang, diam saja di kamar!"
"Memangnya kenapa? Aku tidak sakit, dan aku penasaran dengan tamu yang datang! Ini adalah kali pertama kita mendapatkan tamu!"
Terjadi perdebatan kecil di antara keduanya, terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berselisih paham. Ed dengan sikap yang bingung, dan Henna dengan sifat yang keras kepala.
Sementara itu, ketika mereka sedang berdebat, Alex secara tidak sadar mengatakan sesuatu, membuat keduanya berhenti berdebat dan sama-sama menoleh ke arah Alex.
"Henna…?"
"Sial, ini akan merepotkan." Ed kembali tidak senang, perlahan dia mencengkram pundak Henna sambil berbisik, "Dengarkan aku, sekarang kamu pergi ke kamar, gunakan rune yang sudah ku lukis, dan tunggu sampai aku kembali! Oke?"
"Apa yang terjadi? Siapa dia, Ed?"
"Maaf, aku akan menjawabnya lain kali. Sekarang, lebih baik kamu segera pergi sebelum terjadi sesuatu yang merepotkan!" lanjut Ed yang memutar dan mendorong tubuh Henna untuk pergi menjauh.
Dan di saat Henna sedang berjalan pergi dengan kebingungan, Alex berlari, hendak meraihnya. Namun, Ed dengan sigap menangkap tangan Alex, kemudian membawanya pergi keluar menggunakan sihir teleportasi.
Setibanya di luar ruangan, Ed melemparkan tubuh Alex dengan keras, "Ternyata itu tujuan utama mu, bajingan."
"Ed! Apa yang telah kau lakukan!? Kenapa Henna masih hidup!?"
"'Masih hidup' katamu…?" Ed terlihat kesal mendengar pertanyaan Alex, "Memangnya sejak kapan dia mati!" lanjutnya, berteriak dengan suara serak. Kini wajahnya terlihat sangat menakutkan.
"Kau… kau telah gila, Ed!" ungkap Alex yang perlahan bangkit. "Kau gila. Membangkitkan seseorang yang telah mati dengan tenang. Gila, bajingan gila. Aku tidak menyangka kau benar-benar melakukannya…"
Alex menggeleng, seolah kecewa dengan fakta yang telah dia dapatkan. Baginya, membangkitkan seseorang yang telah mati adalah hal tabu, tidak boleh dilakukan walaupun itu dalam situasi yang genting.
Namun, Ed memiliki pendapat lain. Baginya, Henna adalah separuh nafas yang dia miliki, membangkitkannya bukanlah sebuah kesalahan, justru itu adalah kewajiban yang harus dia lakukan!
"Kau tidak mengetahui apapun. Aku bingung, kenapa kau masih belum mengetahui kebenarannya? Padahal kau adalah anak dari bajingan itu!!"
Tidak dapat mengendalikan emosi, Ed meraih kerah baju Alex, tatapannya begitu tajam dan mematikan, bahkan sampai membuat bulu kuduk Alex berdiri dengan cepat.
"Karena bajingan itu, Henna mati! Dan kau masih berpikir bahwa kematiannya merupakan kematian yang menenangkan!? Dimana otakmu bajingan!!!!!!"
Saat itu, mendapatkan amarah dari sahabatnya, Ed, Alex tersadar, dia telah melupakan sesuatu. Tidak, dia telah ketinggalan sesuatu, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Ed sampai melakukan hal gila seperti ini? Dan bahkan, dia terlihat sangat marah, begitu marah hingga dapat membuat siapapun pingsan hanya dengan melihatnya.
Seperti yang dia pikirkan, sesuatu telah terjadi, lebih tepatnya, lima belas tahun yang lalu.
Setelah perang usai dengan kemenangan telak dari pihak manusia, dunia kembali damai. Beberapa wilayah mulai membangun hubungan diplomatik, dan beberapa berjuang untuk mengembalikan wujud dari wilayahnya yang sudah hancur tak tersisa.
Sama halnya seperti yang lain, Ed merasa bahagia, sangat bahagia hingga membuatnya selalu tersenyum sepanjang hari. Selama itu, dia mengabaikan tatapan aneh orang-orang di sekitarnya, hingga mereka kembali pulang ke kerajaan, tempat di mana mereka pergi.
Dan alasan di balik senyuman aneh di wajah Ed tidak lain dan tidak bukan karena hubungannya dengan Henna akan segera diresmikan, alias menikah!
Kebahagiaan yang dirasakan masih tidak cukup, dia ingin segera pergi menemui Henna yang sedang berada di istana, selama peperangan, dia dijanjikan keamanan oleh Raja, memenuhi keinginan Ed yang dengan tulus memintanya.
Karena peperangan ini begitu chaos, Ed sangat khawatir Henna akan dalam bahaya jika tidak dalam perlindungan yang pasti, terlebih dirinya tidak memiliki keahlian beladiri, membuat Ed semakin khawatir.
Pikirnya, jika dalam penjagaan Raja, Henna akan baik-baik saja. Namun nyatanya, itu tidak terjadi.
Setibanya mereka di istana, Ed mendapatkan kabar duka dari Raja terkait kematian Henna yang disebabkan oleh penyakit. Ed begitu terpukul mendengarnya, dengan tegar dia mendatangi kuburan Henna, menangis dalam diam, dan menguburkan cincin pernikahan di kuburannya.
Setidaknya, itu yang bisa dia lakukan.
Ed mencoba untuk tetap tegar, kembali hidup dengan bahagia, dan melupakan kematian Henna agar tidak terlalu menganggu pikirannya.
Akan tetapi, itu tidak berhasil. Ed sudah melalui berminggu-minggu hari membosankan tanpa sosok Henna di sampingnya. Di hari rencana mereka akan menikah, Ed mengunjungi kuburannya, menceritakan tentang perjalanan yang telah dia lakukan selama menjalani hidup sebagai penyihir.
Setelahnya, dia kembali, bayangan tentang Henna kembali muncul menghujam kepalanya, membuat Ed menjadi tidak tenang dan berakhir menggali ingatan tentang Henna untuk mencari kebenaran terkait kematiannya.
Selama berbulan-bulan, Ed mencoba mencaritahu informasi yang setidaknya dapat membantu, saat itu dia sangat yakin bahwa kematian Henna tidak disebabkan oleh penyakit, mengingat Henna sama sekali tidak pernah bercerita tentang penyakit yang dideritanya.
Dengan banyaknya tenaga yang telah dia kerahkan, perjuangan Ed akhirnya membuahkan hasil. Sempat mengalami kebuntuan, namun Ed segera mengubah metodenya, dan dengan mudah mendapatkan informasi yang selama ini dia inginkan.
"Semua staf kerajaan tidak ada yang berani menjawab pertanyaan ku! Tapi, akhirnya aku bertemu dengan satu orang, dia adalah orang penting yang berakhir menyerah setelah diberikan gambaran tentang kematian."
"Sambil gemetaran, dia mengatakan bahwa kematian Henna disebabkan oleh Raja. Selama kepergian ku, Raja bermain-main dengan Henna, memperlakukannya seperti budak, hingga membuat Henna mati mengenaskan. Dan apa yang kau katakan? Aku gila? Kupikir kalianlah yang gila!"
Ed kembali meninggikan suaranya, dia memukul tembok di sampingnya, tidak menimbulkan dampak yang besar, tapi menciptakan gelombang kejut yang hampir membuat Alex melayang jika saja dia tidak berhasil menahannya dengan cepat.
"Setelah mengetahuinya, aku tidak melakukan balas dendam, melainkan membawa pergi mayat Henna yang telah mengering seperti mumi." lanjut Ed setelah jeda yang cukup panjang, "Dengan wawasan yang kumiliki, aku berhasil membangkitkan Henna, menghapus sebagian ingatannya, dan membangun sebuah keluarga kecil di tempat yang tenang sekaligus aman."
Saat itu, Alex dapat melihat senyuman kecil terlukiskan di wajah Ed, membuatnya tersadar akan kekeliruan yang telah dia lakukan. Rasanya menyebalkan, tapi inilah kenyataan yang harus dihadapinya.
***
Tidak ingin mengganggu hubungan keluarga mereka yang harmonis, Alex memutuskan untuk pergi. Tapi sebelum itu, dia berkenalan dengan Henna, melihatnya tersenyum lembut dengan mata yang menyipit.
Entah sejak kapan perasaan ini muncul. Namun sekarang hal itu sudah tidak penting lagi, Henna sudah bahagia, terlambat baginya untuk mengungkapkan perasaan yang telah lama bersarang di hatinya.
Dengan langkah mantap, Alex keluar dari barier ilusi, tersenyum tipis dan menghela nafas berat. Sambil memandangi langit cerah, dia bergumam, "Huh, sepertinya sebentar lagi aku akan menjadi buronan. Yah, itu tidak masalah selagi penjahatnya tidak berkeliaran dengan bebas lagi. Dan juga…" Alex menoleh ke belakang, "Kuharap mereka tetap bahagia."