Aku menapaki trotoar kampus impianku, memandang kagum pada gedung-gedung megahnya yang berdiri kokoh dihadapanku.
Politeknik Negeri Samarinda, kampus bergengsi dikotaku yang sudah menjadi tujuan semua lulusan pelajar SMU sederajat diseluruh penjuru kota asalku. Bahkan dari kota-kota lainpun datang kemari untuk bisa melanjutkan pendidikan mereka dikampus ini.
"Dewi!"
Aku lantas menoleh kebelakang. Seketika hatiku jedak-jeduk tidak karuan saat tahu siapa yang memanggilku barusan.
"Oh my God!" Aku meringis didalam hati. Kenapa aku bisa bertemu kakak kelas culun itu lagi disini, setelah dua tahun terbebas dari gangguannya saat di SMU. Rasanya ingin berlari, tapi bagaimana bisa?
Didepan, pos security. Disamping kiri drinase selebar dua meter. Disamping kanan, kendaraan roda dua dan roda empat melaju tanpa memberi kesempatan bisa menyeberang. Keatas, tidak mungkin karena aku butuh sayap atau apapun yang bisa membawaku melarikan diri keatas sana.
"Kamu kuliah disini juga?" tanyanya dengan senyum mengembang, sambil menjejeri langkahku setelah melewati pos security.
"A-a, eh iya kak," sahutku gaguk, tanpa ada niatan bertanya balik.
"Jurusan apa?" tanyanya lagi.
"Akuntansi," bohongku. Ia tersenyum, dan seketika perutku mual melihatnya senyumnya itu.
"Maaf kak, aku duluan ya, ada kelas," ucapku berusaha menghindar. Tanpa menunggu dia menjawab aku gegas berlari meninggalkannya, menerobos mahasiswa-mahasiswi yang berjalan bergerombol dihalaman Mushola kampus.
"Huh, selamat!" Aku mengelus dada, lega. Setidaknya aku sudah terbebas dari kak Robin, kakak kelas IPA yang selalu muncul seperti hantu saat aku kelas sepuluh dulu.
"Ruang kelas masih sepi, hanya beberapa mahasiswa yang baru datang karena waktu mmasih menunjukan pukul tujuh lewat lima menit, dua puluh lima menit lagi pelajaran baru akan dimulai.
"Dewi, liat dong tugas gambar perspektif-mu? Udah jadi kan? Kata pak Anton hari ini sudah harus dikumpul," Zaenal mendekatiku, hanya dia temanku yang brewokan, seperti pemeran film mandarin si Jenggot Naga.
Aku meraih kertas karton putih ukuran A1 yang tersembul dari tas ranselku.
Zaenal langsung merebutnya dari tanganku dengan tidak sabar.
"Pelan-pelan Zaenal, kamu bisa merobek hasil kerjaku," peringatku, saat kulihat Zaenal membuka gulungan karton A1 dengan terburu-buru.
"WOW, KEREN!" Seketika Zaenal berdecak kagum melihat hasil gambarku. Beberapa mahasiswa lainnya langsung menyerbu kearah kami, merasa penasaran pada gambarku yang tengah dilihat oleh Zaenal.
"Bangunan kantor Gubernur Kalimantan Timur-nya terlihat seperti aslinya. Kamu kok pinter banget sih mengambil sudut pandang perspektifnya," puji Zaenal lagi, masih berdecak kagum melihat hasil gambarku, begitu pula beberapa mahasiswa yang ikut melihat.
"Biasa aja itu, gaambar kalian pasti lebih menakjubkan lagi," ucapku merendah. Karena dijurusan ini hanya aku yang dari SMU, sementara teman-temanku yang lain, mereka dari STM jurusan bangunan.
Kring! Kring! Kring!
Bel tanda masuk berbunyi. Tapi semua mahasiswa tidak langsung kembali kekursinya masing-masing. Mereka malah asik berkomentar tentang gambar perspektif bertema Kantor Gubernur Kalimantan Timur yang aku buat.
"Apa kalian tidak ada yang mendengar suara bel tanda pelajaran dimulai?!"
Suara lantang itu mengagetkan kami semua, terutama diriku.
"K-kak Robin?" gumamku heran, setahuku dia baru dua tingkat diatasku, tapi kenapa ada dikelasku, dan berpakaian safari dosen teknik.
"Cepat, kembali ke kursi kalian masing-masing sekarang juga!" dengan raut datar dan dingin.
Tanpa menunggu aba-aba untuk kedua kalinya, semua teman-teman yang mengerubuti aku sebelumnya gegas meninggalkan kursiku.
Aku tersentak kaget, dan juga merinding. Ini pertama kali aku melihat kak Robin bersikap seperti itu.
"Keluarkan diktat Geologi Tanah kalian masing-masing! Buka halaman 97, kontur tanah!" gemanya memenuhi ruangan kelas.
Tidak ada satupun yang berani menyanggah ataupun bertanya, kenapa pak Martoni, dosen Geologi Tanah yang biasanya mengajar tidak masuk hari ini.