"Apakah jatuh cinta adalah sebuah dosa?" Mentari bertanya pada sosok tinggi yang menatapnya dingin dengan wajah datar. Matanya sendu, menatap cowok itu yang sama sekali tidak bergeming.
"Tidak! Jawabannya tidak!" gadis itu menjawab sendiri pertanyaannya dengan sedikit berteriak. "Jadi, jangan larang aku untuk mencintaimu. Kamu kira, kamu Tuhan bisa ngatur hati orang?" kekehnya, menghapus bulir air mata yang jatuh tanpa diminta.
"Oke, hari ini kamu boleh nolak aku. Besok aku akan berusaha lagi." Seperti namanya, Mentari, ia selalu saja memiliki semangat baru. "Bye, Nathan. Aku pulang dulu, ya ... jangan lupa mimpiin aku." Lambaian tangannya sama sekali tak dibalas oleh cowok bernama Nathan itu.
Nathan mengangkat alis, Mentari kembali menghampirinya. "Jangan kangen, ya. Besok kita jumpa lagi, kok." Setelah mengatakan itu, Mentari berlari dengan senyuman mengembang di bibirnya. Ia dengan malu-malu memberikan kiss bye sebelum benar-benar pergi.
"Dasar cewek aneh!" decit Nathan, memasang earphone di kedua telinganya lalu melanjutkan langkah. Bisanya, ada cewek yang mengungkapkan cinta pada cowok yang baru saja ditemui.
Mentari menjatuhkan dirinya di atas kasur, membentangkan kedua tangan, lalu berguling-guling. Ia gemas sekali dengan kelakuan pacaran itu. Iya! Nathan adalah pacarnya. Mereka sudah merajut kasih selama 5 tahun dan hampir memasuki tahun ke 6, waktu yang terbilang cukup lama bukan.
Dan kenapa Nathan seolah tidak mengenal Mentari, itu karena kecelakaan itu. Kecelakaan yang sudah mengambil ingatan Nathan, ingatannya tentang Mentari.
"Tidak apa-apa, aku akan membuatmu jatuh cinta kembali. Aku akan mengembalikan ingatan manismu tentang kita." Mata Mentari perlahan terpejam dengar bibir merekah indah, gadis itu kembali mengingat momen manisnya bersama Nathan, sang kekasih, yang pernah mereka rajut bersama.
*****
Mentari tak hentinya tersenyum tak kala ia mendapatkan proyek tugas kuliah yang satu kelompok dengan Nathan. Wajahnya amat ceria. Walau hanya saling diam dan sekedar lirikan, ia sudah merasa bahagia bisa menghabiskan waktu bersama Nathan.
Hari sudah menunjukkan waktu makan siang, Mentari tentu saja tahu Nathan tidak akan ke kantin. Cowok itu tidak suka keramaian.
"Aku bawa bekal makan siang, loh." Mentari mengeluarkan kotak makan dari tasnya. Nathan tidak melirik, sama sekali tidak berminat.
"Taraaa ... nasi goreng telur mata sapi."
Deg! Jantung Nathan berdegup dua kali lipat. Cowok itu memegang dadanya yang berdebar. Ia merasa tak asing dengan momen ini. Duduk dibawa pohon, angin berembus sejuk, suara ceria Mentari, dan ... nasi goreng kesukaannya. Itu semua seolah pernah ia alami. Tapi, kapan?
"Aaaaa." Nathan menatap bingung pada Mentari yang menyodorkannya suapan, tapi tak urung ia memakan suapan itu. Entahlah, mulutnya secara refleks terbuka begitu saja. Seolah, itu memang kebiasaannya.
Mentari tersenyum senang melihat Nathan menikmati nasi goreng buatannya, ia jadi kembali mengingat momen mereka yang telah berlalu. Ah, semoga saja ingatan Nathan cepat kembali. Batin gadis itu, berdo’a dengan penuh harap.
Setelah menghabiskan makan siang bersama, keduanya kini masih betah duduk di bawah pohon besar itu. Mentari membuka galeri ponselnya, memperlihatkan fotonya dan Nathan yang bercengkerama hangat. Sejenak, ia menatap jari manisnya yang tampak polos. Pikirannya mulai berandai.
'Andai kecelakaan itu tidak terjadi, pasti kita sudah bertunangan.'
'Andai kecelakaan itu tidak terjadi, kau tidak akan mungkin duduk berjauhan denganku.'
'Andai kecelakaan itu tidak terjadi, kita pasti sudah baha—'
"Ada apa?" tanya Nathan, membuyarkan lamunan Mentari.
"Apanya?"
"Kamu?"
"Emang, kenapa sama, aku?"
"Nggak!"
"Ih! Kamu kebiasaan, deh. Ngomong sepotong-sepotong, terus marah sendiri."
Cowok itu berpikir dalam. Benarkan? Perasaan, baru kali ini ia mengobrol dengan gadis aneh ini.
*****
Mentari kira, hubungannya dengan Nathan sudah mengalami perkembangan yang signifikan. Nyatanya cowok itu kembali bersikap dingin kepadanya, keduanya seolah tidak pernah bertemu, tidak pernah saling bertegur sapa. Nathan kembali menganggap Mentari sebagai orang asing lagi. Hubungan pertemanan yang dengan susah payah Mentari bangun kemarin, semuanya sia-sia saja.
"Amnesia terdiri dari beberapa jenis. Ada amnesia yang membuat penderitanya hilang ingatan seluruhnya, ada yang hanya hilang ingatan separuh, dan ada juga yang membuat penderitanya hilang ingatan setiap hari."
"Kecelakaan yang terjadi pada pasangan Anda, mengakibatkan dia mengalami amnesia jangka pendek. Efeknya, beliau tidak bisa mengingat kegiatan apa yang dia alami hari sebelumnya." Tubuh Mentari menegang, mendengar penjelasan dokter.
"Ja-jadi, pasangan saya amnesia setiap hari, Dok?" bibirnya bergetar menanyakan itu.
"Sederhananya, seperti itu." Bahu gadis itu merosot tak kala dokter membenarkan, ia berjalan keluar dari ruangan dokter dengan langkah lunglai. Pantas saja Nathan selalu lupa akan dirinya esok harinya.
"Gimana?" Mentari menggeleng, menatap sahabatnya itu.
"Tari, untuk apa kamu perjuangin cowok yang nggak bisa lagi diharapkan seperti Nathan? Udah, kamu lupain aja si Nathan. Cari yang lain, kamu pantas bahagia." Nia tidak rela sahabatnya dibuat sakit hati seperti ini oleh orang yang sama sekali tidak mengingatnya.
"Nggak bisa, Ni. Aku sayang Nathan dan nggak bisa lupain dia begitu aja." Nia mendengus tidak suka. Mentari yang ia kenal tidak seperti ini, ia selalu ceria, semangat, dan energik. Mentari yang sekarang terlihat lemah, murung, dan selalu sendu.
"Nggak apa-apa, aku akan buat dia jatuh cinta lagi dan lagi seperti janjiku." Mentari berusaha menyunggingkan senyum, Nia hanya bisa menghela napas.
"Kamu mau 'kan bantu aku." Ia menggenggam tangan Nia, sahabatnya. Nia hanya bisa mengangguk, "Tapi, sampai kapan, Tari?" Mentari hanya membalasnya dengan senyuman lagi.
*****
Mentari pagi disambut hangat oleh bumi. Besar harapan Mentari juga, agar disambut hangat oleh Nathan.
Nathan membuka pintu apartemennya, ia langsung dikagetkan oleh gadis yang entah siapa. Cowok itu mengernyit dalam, berusaha mengingat sesuatu. Namun, sama sekali tidak ada memori gadis itu di dalam ingatannya.
"Siapa, ya?" tanyanya, membuat Mentari membeku. Namun, sesaat kemudian ia menampilkan senyum manisnya.
"Kenalin, aku Mentari. Pendamping hidup kamu." Nathan mengernyit mendengar kalimat terakhir.
Tari terkekeh, "Maksud aku, kita berhadapan apartemen, loh." Mentari menunjuk ke belakang, apartemen mereka memang saling berhadapan.
"Btw, mau ke mana?"
Nathan menggaruk kepalanya, ia juga tidak tahu.
"Kalau gitu, ikut aku, ya." Tanpa menunggu persetujuan, Mentari langsung menarik Nathan begitu saja.
*****
Mentari dan Nathan menghabiskan waktu bersama, keduanya tampak saling menikmati momen itu. Berjalan di alun-alun kota, genggaman tangan, lalu melemparkan senyum.
Tentu saja genggaman tangan itu atas paksaan Mentari, dan hanya Mentari yang memberikan senyuman manis untuk Nathan. Cowok itu hanya berekspresi datar dengan tatapan dingin. Sebenarnya, ia ingin menepis tangan Mentari. Namun, tak bisa. Hatinya mengatakan jangan. Aneh sekali!
"Duduk di sana, yuk." Tunjuk Mentari di kursi panjang yang berada di pojok taman, ia pun dengan segera menarik Nathan. Gadis itu berceloteh ria dengan senyuman terpatri di bibirnya, suaranya lembut, auranya menyenangkan. Nathan menatapnya lekat, tanpa sadar bibirnya menyunggingkan senyum.
Deg! Jantung Mentari rasanya ingin melompat. Untuk pertama kalinya Nathan kembali memberikan senyumannya yang menawan itu pada Mentari. Dan gadis itu selalu saja terpesona.
"Wajahmu merah," tunjuk Nathan, membuat Tari segera menunduk. Ia salah tingkat.
"Eh, aku mau ke sana bentar. Tunggu, ya." Mentari segera bangkit, ia ingin melarikan dirinya sejenak untuk mengontrol degupan jantungnya.
"Ke mana?" Nathan terlihat tidak rela, ia merasa terikat dengan gadis itu walaupun sama sekali tidak mengenalinya.
Gadis itu kembali dengan wajah yang membuat Nathan terpesona, "Nih, buat kamu." Ia menyodorkan matcha latte, minuman kesukaan Nathan.
"Kamu nggak mau? Ini 'kan minuman kesukaan kamu." Nathan mendongak memandang wajah Mentari, gadis itu menyisipkan anak rambutnya ke belakang telinga.
"Kok, tahu?"
"Semua tentangmu, aku tahu." Ucap Mentari, duduk di samping Nathan setelah cowok itu menerima minuman yang ia sodorkan.
"Kenapa begitu? Kamu adalah gadis asing yang baruku temui tadi pagi, sedikit pun tentangmu aku tidak tahu." Nathan memaparkan apa adanya. Mentari sebenarnya merasa sakit. Namun, ia tetap menampilkan senyumnya.
Kenyataan bahwa orang yang kamu cintai tidak mengingatmu itu rasanya sakit, tapi tak sebanding dengan rasa cinta yang kamu miliki. Begitulah Mentari, ia bertahan karena rasa cintanya yang tulus pada Nathan.
"Kamu mau mengenalku?" Nathan mengangguk. Mentari tersenyum senang, "Semua tentangku, ada di buku ini." Gadis itu memberikan buku diary yang ada dalam tasnya kepada Nathan. Itu ia lakukan agar membantu Nathan mengingat hal-hal yang pernah mereka lakukan.
"Setelah bangun tidur kamu harus baca, ya. Kamu juga boleh kok nulis apa aja di buku itu." Kata Mentari pada Nathan yang menatapnya lekat, gadis itu kembali salah tingkah. Sekarang buka dia yang membuat Nathan jatuh cinta setiap hari, tapi Nathan lah yang membuatnya jatuh cinta setiap saat.
"Kenapa? Kamu suka aku, ya?" Tari bertanya bercanda saja, tapi malah mendapatkan anggukan dari Nathan.
"A-apa?" tanya gadis itu gugup.
"Iya, aku suka kamu. Aku merasa nyaman bersamamu." Nathan mengungkapkan isi hatinya.
Mata Mentari berkaca-kaca, ia tidak bisa membendung tangis harunya. Segera ia memeluk cowok yang sangat ia cintai, menangis sesenggukan dalam dekapan hangat yang selama ini ia rindukan.
Nathan membalas pelukan Mentari walau ada rasa ragu, ia mendekapnya sembari mengusap punggungnya yang bergetar. Tangisan Mentari membuat hatinya teriris, sakit seperti tersayat pisau.
*****
Nathan terbangun dari tidurnya dengan tatapan dingin dan kosong. Ia berjalan memasuki kamar mandi, membasuh wajahnya di sana. Ada catatan kecil tertempel di sudut cermin. 'Nathan Andara' itu pasti namanya. Dan di sampingnya, terdapat selembar foto yang salah satu dari jejeran orang-orang adalah wajahnya.
Ia tahu ia memiliki keluarga, tapi tidak mengenal mereka. Lebih tepatnya ia tidak mengingat momen bersama mereka. Nathan memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing, ia pun keluar dari kamar mandi itu.
Tubuhnya kembali terduduk di tepi ranjang, matanya tak sengaja melirik buku diary. Penasaran, ia pun meraih buku tersebut.
Dibukanya lembar pertama, di sana tertempel fotonya bersama gadis cantik yang tampak ceria.
"Mentari," gumam cowok itu. Ia mengernyit, sama sekali tidak mengingat sosok ini. "Belahan jiwamu." Ujarnya, lanjut membaca.
Deg! Hatinya berdegup kencang, seolah membenarkan. Ia lanjut membuat lembar per lembar buku diary. Semakin lama ia membaca dan melihat. Selama itu juga lah potongan-potongan kenangan menari di kepalanya.
"Arggh." Nathan memegang kepalanya pusing, ia tertunduk dengan mata terpejam.
"Mentari!" Nathan duduk dengan tegak. Lalu segera bersiap untuk menemui gadis itu.
Ketika ia membuat pintu, Mentari menyambutnya dengan senyuman hangat seperti yang tertulis dalam buku diary. Nathan membalas senyumannya, lalu merengkuh gadis itu. Mentari tampak kebingungan. Namun, ia senang dengan perlakuan Nathan.
"Kamu mengingatku?"
"Hm," dehem Nathan, membuat Mentari membalas pelukannya dengan erat. Ya, walaupun tidak semua Nathan ingat tentang Mentari. Tapi, ia tahu Mentari adalah kekasihnya, belahan jiwanya.
Setiap pagi berangsur seperti itu secara terus menerus tanpa adanya perkembangan berarti, Nathan hanya mengingat Mentari adalah kekasihnya, perempuan yang ia cintai dan mencintainya dengan tulus.
Mentari tidak masalah, bahkan dengan begitu saja ia sudah sangat senang. Ia yakin akan adanya waktu di mana Nathan akan mengingat semua momen yang pernah mereka lalui.
Dan di suatu pagi itu, Nathan membuka pintu apartemen dengan tidak sabar. Tidak sabar akan bertemu Mentari belahan jiwanya, ia sudah membaca buku diary dan mengingat beberapa momen mereka.
Senyumannya mengendur tak kala tidak mendapati Mentari di sana, ia mendekati pintu apartemen di depannya. Sesuai yang tertulis dari buku, apartemen Mentari ada di depan apartemennya.
Nathan mendekat pada pintu itu secara perlahan, degupan jantung mengiringi setiap langkah. Dadanya tiba-tiba sesak tak kala semakin mendekati pintu berwarna coklat itu. Nathan menghela napas, bersiap mengetuk.
"Eh, Den Nathan." Kepalan tangan Nathan yang bersiap mengetuk, mengambang di udara. Ia menoleh ke sumber suara.
"Ngapain, Den?" tanya orang itu yang merupakan penjaga keamanan apartemen.
"Cari Mentari, Pak." Jawab Nathan. Penjaga keamanan itu tampak bingung.
"Loh, bukannya neng Tari kecelakaan, Den."
"Ka-kapan?" bibir Nathan bergetar, terlihat tidak percaya.
"Satu minggu yang lalu, Den. Den Nathan sendiri yang cerita sama saya, kalau neng Mentari kecelakaan ditabrak mobil. Sampai sekarang belum sadar, 'kan?" penjaga keamanan itu malah balik bertanya.
"Ti-tidak, nggak mungkin." Nathan jatuh luruh ke lantai, menggeleng kepalanya kuat. Penjaga keamanan berlari mendekat, menanyakan keadaan Nathan.
Nathan sama sekali tidak menghiraukannya, ia seolah tidak mendengar apa-apa. Keadaannya tampak kacau, sangat kacau. Ia memegang kepalanya erat, ingatan-ingatan bertebaran di kepalanya dengan cepat. Sama persis seperti adegan film berwarna hitam putih yang sedang di rekap ulang.
Air mata Nathan tak mampu dibendung lagi, lelaki dewasa itu menangis sesenggukan dengan kepala tertunduk.
Penjaga keamanan tampak bingung, ia tak tahu harus melakukan apa. Ingin menayangkan keadaan, nyatanya pemuda ini jelas tidak baik-baik saja. Akhirnya ia pun ikut terduduk dan menepuk punggung Nathan.
Nathan memegang kepalanya, pusing kembali menyerang. Matanya berkunang-kunang, perlahan, semuanya kabur.
*****
Nathan memandang Mentari, begitu pula Mentari yang memandang Nathan dengan malu-malu.
Hari ini adalah hari jadi mereka yang ke-6 tahun, pancaran kebahagiaan tampak di wajah keduanya. Dan selama itu pula, hati Mentari masih sabar menunggu kesembuhan Nathan. Menunggu semua ingatannya kembali.
"Nathan, ada balon." Mentari menunjuk balon warna-warni yang dijual seberang jalan.
"Tunggu di sini, aku akan membelikannya untukmu." Nathan sudah bangkit. Namun, dicegat gadis itu.
"Nggak, biar aku aja. Kamu duduk sini." Mentari langsung berlari menyeberangi jalan. Nathan tersenyum melihat Mentari yang antusias menunjukkan balonnya. Gadis itu bersiap menyeberang jalan.
Dari arah berlawanan sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, rem yang diinjak tidak berfungsi. Mentari menoleh dengan wajah terkejut. Suara dentuman keras terdengar bercampur dengan suara jeritan. Darah bercipratan dan tubuh ramping itu berguling-guling di aspal jalanan.
Teriakan tertahan dengan mata menatap nanar tak bisa menghentikan kejadian yang begitu cepat itu.
*****
"Mentari!" Nathan terbangun dengan punggung tegak, napasnya terengah memindai keberadaannya.
"Den Nathan sudah sadar," penjaga keamanan membawakan Nathan secangkir air putih.
Nathan tak menghiraukan, fokusnya sekarang pada belahan jiwanya, sang kekasih hati, Mentari. Ia segera bangkit, meraih sesuatu di laci nakas dan berlari keluar apartemen menuju rumah sakit. Penjaga keamanan menghela napas, tidak bisa menahan.
"Tari, tunggu aku." Nathan menggenggam erat kotak kecil di tangannya.
Nathan memelankan langkah, di depan ruang rawat Mentari terlihat Nia, orang tua dan beberapa keluarga Mentari yang lain tengah menangis. Perasaan Nathan tiba-tiba tak karuan, dadanya sesak, dan hatinya sakit. ‘Mentari!’ hanya satu nama itu yang selalu ada dibenaknya.
"Nia, apa yang terjadi?" pertanyaan Nathan malah dijawab tangisan memilukan dari orang-orang. Tidak puas, Nathan langsung saja merangsek masuk ke kamar rawat Mentari.
"Atas nama Mentari Adiprana, 22 tah—"
"Nggak, nggak mungkin, Tari nggak mungkin tinggalin aku!" Nathan mendorong dokter yang ingin memberitahu kematian Mentari. Pria itu menatap wajah pucat kekasihnya yang tak lagi dialiri darah.
"Tari." Nathan meraih tangan Mentari, menyimpannya di pipi. Tidak peduli air mata mengalir, tidak peduli banyak yang melihat. Ia mencium tangan dingin itu berulang kali. Jutaan permintaan maaf ia rapalkan dengan bibir bergetar.
"Aku bawa cincin pertunangan kita," Nathan membuka kotak merah yang sedari tadi ia genggam. "Lihatlah, sangat pas di jari manismu. Ayo bangun, bukankan kamu ingin bertunang denganku." Nathan mencium jari manis Mentari yang tersemat cincin. Dokter memalingkan wajah, mengusap air matanya.
"Tari, aku tahu kamu lelah, kecewa, dan marah padaku. Tapi ... nggak gini, kamu tidak boleh meninggalkan aku begini." Nathan menarik napasnya dalam.
"Tari, kamu pernah berjanji padaku. Menjadi mentari yang memberikanku sinar. Kamu berjanji menjadi mentari yang akan selalu datang setelah malam berlalu."
"Tari—" Nathan menangis sesenggukan, tubuh Mentari tak bergerak walau sedikit pun.
"Tari ... kamu akan selalu menjadi mentariku." Nathan mencium kening Mentari dengan lama.
Bukan Rindu ataupun jarak yang paling menyakitkan, tetapi kehilangan seseorang yang amat kita cintai! Kehilangan dalam arti yang sesungguhnya.
"Tari, katamu Tuhan baik. Tapi, kenapa dia menciptakan cinta, jika tidak menyatukan kita?"
*****
TAMAT
✨ Yuk, mampir juga di novelku 'My Son Is My Strength & Sang Antagonis' yang sudah tamat.