Punya kekasih seorang ustadzah? No! Never!
Itulah penolakan yang kerap aku lontarkan pada gadis berkerudung, yang menutup tubuhnya dengan baju kebesaran dan kepanjangan.
Aku suka wanita yang menonjolkan keindahan raganya dengan pakaian seksi. Yang mengurai rambut indahnya agar bisa kubelai kapan saja. Yang mau melemparkan tubuhnya padaku tanpa aku meminta–apalagi membayarnya.
Namaku El Shaka. Ganteng. Tajir. Populer. Tiga hal itulah yang membuatku selalu dikelilingi banyak wanita. Baik yang masih gadis, janda bahkan yang masih berstatus istri orang.
Di usiaku yang ke-28, aku masih kekeuh untuk tidak ingin segera menikah. Aku lebih enjoy dengan hidup bebas tanpa batas. Bermain dengan banyak wanita, tanpa terbebani istri apalagi anak.
Dengan yang namanya wanita, aku lebih suka menikmati tanpa harus menikahi, apalagi menafkahi. Memiliki hubungan dengan satu wanita jelas tak cukup untukku. Karena aku memang tergolong pria serakah–yang ingin memiliki semua tipe wanita cantik dan seksi di dunia ini.
Ya, sebut saja aku b a j i n g a n tak bermoral kalau soal memperlakukan wanita. Jujur, aku sangat suka meniduri mereka tanpa mau terikat dengan yang namanya komitmen. Apalagi melakukan perjanjian sakral di hadapan Tuhan, lalu dicatat di atas kertas bernama buku nikah. Big no!
Aku adalah pria bebas yang tak mau diatur dan dikendalikan oleh wanita. Sungguh, aku tak berkeberatan menyandang gelar bad boy setelah banyaknya mantan yang memblow up keburukanku di sosial media mereka.
Namun, semua itu adalah masa lalu. Aku sudah tidak lagi menjadi pria bebas selama enam bulan ini.
Sejak aku tak sengaja menabrak motor yang dikendarai oleh seorang gadis berkerudung ketika baru pulang dari sebuah klub malam, disitulah gelar play boy-ku dipertaruhkan.
Gadis itu sangat ayu, berkulit putih bersih, bermata besar jernih dan senyumnya manis menawan. Bibir tipis tanpa lipstik–merah alami, senada dengan pipinya yang merona ketika aku mengulurkan tangan untuk meminta maaf.
Tapi, aku tidak benar-benar menyentuh kulitnya karena gadis itu memakai sarung tangan. Sial memang! Padahal aku sudah membayangkan kalau hal itu akan menjadi momen romantis dan menggetarkan.
Saat itu, aku bahkan langsung lupa kalau aku tidak menyukai kostum kedodoran yang membungkus tubuh kecilnya. Aku terpesona begitu saja.
Huh, gadis itu terlalu cantik untuk dibiarkan tidak tersentuh oleh kenakalanku! Dan jangan panggil aku El Shaka jika tak mampu menaklukkannya.
"Mbak … rumahnya dimana? Saya antar pulang aja ya! Tapi kita ke rumah sakit dulu untuk memastikan kalau mbak baik-baik saja, tidak ada patah tulang atau luka yang nggak kelihatan! Soal kerusakan motor, nanti saya ganti semua kerugiannya!" Aku membantu memegangi motornya ketika gadis itu naik dan mulai menyalakan mesin motornya.
Gadis itu hanya tersenyum kecil, "Saya nggak apa-apa, Mas! Salah saya yang lupa menyalakan lampu sein. Motor juga tidak ada yang rusak, jadi saya permisi pulang dulu. Permisi … oh ya terima kasih!"
Aku berusaha melupakan kejadian itu selama beberapa hari karena tidak sempat berkenalan. Tapi, takdir cinta ternyata tidak semudah itu berpaling dariku, aku bertemu lagi dengan gadis berkerudung merah itu di sebuah minimarket pinggir jalan–ketika aku baru saja keluar kantor.
"Mbak, dunia ini ternyata sempit ya? Kita ketemu lagi, jodoh kayaknya hahaha!" Aku menyapa duluan dengan ramah di depan kasir–sekaligus memaksa membayar semua belanjaannya.
Tentu saja ia menolak keras, tapi bukan El Shaka kalau tidak mampu menundukkan ego wanita dengan segala taktiknya.
"Terima kasih!" kata Laila di akhir pembicaraan.
Hem, aku bukan hanya tahu nama lengkapnya loh! Aku tahu tempat tinggal, tempat kerja, hobby dan beberapa kegiatan rutinnya. Aku juga diberi nomor ponselnya, cihui!
Semua itu aku dapat dari obrolan di kafe depan minimarket tempat kami belanja. Sekali lagi aku berhasil memaksa Laila, bergaya mentraktir minum. Alasanku sebagai permintaan maaf karena pernah menabraknya.
Yang paling mengerikan adalah, sejak saat itu aku terus saja menghubungi Laila dan bertamu ke rumahnya setiap malam Minggu. Aku mendadak waras karena pesona lembut Laila yang selalu bisa menarikku untuk mengejarnya.
Ya Tuhan, kenapa dari sekian banyak wanita aku justru lemah jika dihadapkan dengan Laila? Aku jadi takut kalau ini adalah takdir cinta yang tak pernah aku harapkan terjadi.
Yep! Kalau aku jatuh cinta pada wanita yang menjadi tipeku … itu bukan takdir namanya, karena ada campur tangan manusia dan keinginannya. Faktanya aku dibuat jatuh cinta pada Laila–tipe wanita yang aku hindari seumur hidupku.
Dan butuh waktu enam bulan untuk meyakinkan Laila kalau aku serius ingin menikahinya. Aku melamarnya bulan lalu sebagai syarat untuk bisa sekedar menggandeng tangannya–yang ternyata sehalus sutra. Gila 'kan mahalnya nih cewek?
Apa kalian berharap aku tidur dengannya sebelum resmi menjadi suami istri? Tidak 'kan?
Sebenarnya aku juga berharap demikian! Tapi harapan tak pernah jadi kenyataan selama enam bulan terakhir. Entahlah, dengan Laila … hal yang seharusnya mudah dilakukan malah menjadi suatu kemustahilan.
Tak ada yang lebih buruk dari di-bully habis-habisan oleh teman-teman karena aku berpacaran dengan Laila! Ustadzah yang kata mereka tak bisa aku sentuh bagian dalamnya!
Mari kita buktikan saja sekarang!
"Laila sayang, kamu udah dipingit loh minggu depan! Masa iya aku nggak dikasih modal buat nahan rindu sebelum nikahan? Kasih kiss dikit kek, apa p e t t i n g ringan kek! Aku udah berharap banget bisa berduaan begini sama kamu …."
Aku merayu Laila ketika situasi rumahnya sedang sepi. Kami hanya berdua di ruang tamu, tidak mungkin terlihat dari jalan karena pagar rumahnya tertutup.
Biasanya aku tidak pernah diberi kesempatan untuk duduk berdua saja, selalu ada ponakan atau keluarganya yang menjadi satpam ketika aku mengunjungi Laila. Parah.
"Mas Shaka m e s u m, ih! Lagian kita ini udah mau nikah … kiss-nya sekalian aja nanti pas malam pertama kenapa sih?"
Aku mengangkat kedua tangan di belakang kepala seperti orang yang akan melakukan squat jump, "Dikit aja, Bebi! Tangan di atas deh! Kiss bibir doang no tambahan apapun, boleh ya … please! Kita ketemu lagi masih lama, bisa mati kangen aku nanti!"
"Mas, orang mau beli buah di pasar kalau pas nyicip rasanya kecut biasanya nggak jadi beli loh!" ujar Laila mengumpamakan dirinya.
"Hubungannya apa, La?"
"Ya aku ini nggak bisa ciuman, Mas! Nanti kamu kecewa kalau coba sekarang, trus akhirnya batalin rencana pernikahan kita! Kan gawat banget itu, mana undangan dah nyebar lagi!"
Aku tercengang mendengar penuturannya, "Heh, jadi kamu menolak ciuman selama ini karena nggak bisa? Sama sekali nggak bisa? Kamu nggak pernah ciuman?"
Laila menjawab masih dengan perumpamaan, "Buah kecut yang tidak dicicip tapi terlanjur dibeli bakal tetap dimakan kalau udah sampai di rumah. Kalau tak bisa dimakan langsung, diakalin sama pembelinya. Misalnya dibuat jus atau manisan. Intinya banyak cara untuk memakan buah itu!"
"Hahaha … jadi kamu mau aku makan dengan banyak cara dan banyak gaya kalau kita udah nikah?"
"Ih … apaan sih?"
Cubitan keras Laila di lengan kiri menyadarkanku dari pikiran nakal yang terlanjur berkelana jauh. Ya sudahlah, aku memutuskan untuk mengalah saja daripada debat kusir soal buah-buahan semakin panjang.
"Ya udah aku pulang kalau gitu, kamu jangan tidur malam-malam!" pesanku sembari memasukkan anak rambut yang sedikit keluar dari balik kerudungnya. Aku berdiri, minta diantar ke halaman.
"Loh … kiss-nya nggak jadi?" tanya Laila bingung, ikut berdiri sembari merapikan kerudungnya.
Ya ampun! Gadisku ini benar-benar menguji kesabaran dan keimanan.
"Besok aja kalau udah resmi jadi hak milik!" tukasku, menahan diri untuk tidak langsung nyosor ke bibir tipisnya.
"Tapi aku udah terlanjur mau, Mas! Ada benarnya juga kalau tes ini dilakukan sebelum nikah! Nanti kalau Mas Shaka kecewa … pernikahan kita masih bisa dibatalin, jadi nggak ada pihak yang dirugikan" ungkap Laila serius. Ekspresinya kini tampak siap dan tabah dengan segala resiko yang akan terjadi.
"Nggak usah, Bebi!" tolakku, sebelum pertahanan runtuh total.
Laila memegang tanganku, "Sebel, ih! Jadi bibirku harus gimana kalau mau ciuman? Begini atau begini?"
Aku terbahak-bahak melihat Laila melebarkan dan memonyongkan bibirnya. "Bebi … kamu serius mau dicium?"
"Eh salah ya itu tadi? Yang bener mulutnya harus mangap? Iya nggak sih? Mas Shaka … tega banget aku malah dicuekin! Ayo cium aku sekarang!"
Tanpa berkata-kata aku menarik Laila yang tingginya hanya sebatas bahuku ke dalam pelukan singkat. "Bebi, aku percaya buah yang aku beli ini rasanya sangat manis, jadi aku tidak perlu mencicipi untuk membuktikan!"
Jiah … ternyata teman-temanku benar, aku memang tak bisa menyentuh Laila lebih banyak dari yang seharusnya. Tapi, takdir cinta ini lah yang ternyata malah membuat aku bahagia.
Laila menunduk, merenggangkan pelukan. "Terima kasih sudah bersabar sampai titik ini, Mas! Aku love banget sama Mas Shaka!"
"Love you too, Calon Istri!"
T A M A T
***