Kini tepat di sore hari aku duduk di depan rumahku menanti kedatangan mereka, tak lama ku menunggu mereka datang juga akhirnya. “Rafa, tara kalian lama sekali tadi, jadi nggak?”. “Jadi, ayo..” ucap rafa dan tara yang hampir bersamaan. Rafa dan tara mereka adalah sahabatku sejak kecil, mereka juga kakak beradik yang kompak tapi terkadang mereka bertengkar dan diantara mereka yang selalu mengalah adalah rafa yang mungkin karena rafa kakak dari tara dan mungkin itulah yang membuat mereka kompak dan akrab. Jika aku sangat menyayangi mereka terlebih tara yang selalu membuatku tertawa dengan leluconnya apalagi rafa dengan tawa khasnya yang membuat persahabatan kami tak pernah pudar.
“Ratna, kau sedang buat apa. Bukannya kita mau ke danau” ujar tara yang melihatku sedang melipat kertas. “Aku sedang membuat perahu kertas nanti kalau sudah sampai danau aku taruh di danau itu pasti asik”. Tara yang saat itu memperhatikanku hanya tersenyum hangat padaku. Kuakui diantara rafa dan tara yang paling dekat denganku adalah tara, dia begitu asik dan lucu ketika mengajaku mengobrol apalagi bercanda, dan jika rafa kulihat dia tak begitu sering bercanda hanya saja dia sedikit kaku dan agak terlihat dingin dengan orang lain.
Setelah selesai kubuat perahu dari kertas, aku bersama tara menaruhnya ke permukaan air danau dan seperti biasa kami bercanda bersama.
—
Kini kuberdiri di hamparan rumput nan luas yang di depannya terdapat danau yang pernah kudatangi semasa kecil dulu bersama kedua sahabatku rafa dan tara. Mungkin mereka sudah ssama sepertiku sekarang. Kuingat dulu disaat tara menghiburku dengan tawa khasnya disaatku bersedih terlebih yang membuatku tertawa hingga kini ketika kumengingat tara mengatakan aku pacarnya di depan teman-temannya dulu. Berbeda dengan rafa yang terkadang kaku saat berbicara denganku dan memang dia pendiam tidak seperti tara yang suka ngomong terus.
“Hai, apa kabar?” ucap seseorang yang kini berdiri di sampingku. Ku menoleh ke samping sembari tersenyum simpul. “Baik, rafa kau sekarang agak berbeda ya tidak seperti dulu”. “Maksudmu berbeda, bukannya aku sama seperti dulu?”. “Kau tak begitu kaku denganku, dulu kau kaku jika berbicara denganku meski sudah sahabatan”. Kulihat dia hanya tertawa sedikit ketika mendengar perkataanku sedang aku hanya tersenyum. “Maaf dulu aku kaku denganmu karena memang begitu sifatku, kau pasti tahu kan?”. “E…ya, tara dimana kok tidak bersama dengan kau?” tanyaku heran pada rafa. “Tara sekarang tidak disini dia sedang ada di luar kota bersama nenek, dan aku yang masih sini, maaf ya pasti kau rindu dengan tara”. aku hanya meng ‘o’ kan jawabanku pada rafa. Seketika itu juga ponselku berbunyi yang ternyata ada sms di dalamnya, setelah kubaca ternyata isi smsnya mengharuskanku pulang ke rumah ke rumah secepatnya.
Lagi dan lagi kulihat masalahku makin banyak, kini ibuku sakit parah sedang ayahku terus saja mempermainkan ibu dengan pergi bersama perempuan lain. Aku berusaha membuat ibu untuk tak memikirkan ayahku lagi takut ibu semakin parah sakitnya. Tapi tak menunggu lama ayahku pulang bersama perempuan tak tahu diri itu, ibu marah yang akhirnya pergi dari rumah dan pulang ke rumah nenek. Ku tak sangka ayah setega ini pada ibu yang selalu menyayanginya.
Tanpa pikir panjang ku pergi ke danau itu lagi karena disana tak begitu ramai suasananya nyaman untuk ku berpikir dengan masalah ini. “Aaaaaa!!!”. Kuteriak dengan amat keras yang tak sadar membuat air mataku berlinang deras membasah pipiku, yang akhirnya membuatku jatuh terduduk beralaskan rumput, rasanya ingin aku pergi dari sini tapi kenapa aku tidak bisa, aku harus menemani ibuku yang sedang bersedih menyemangatinya kini.
“Hikss.. hikss kenapa ayah jahat dengan ibu, hikss..”. Tak sangka ada seseorang memegang kedua bahuku kuberanikan diri untuk menatap orang itu yang ternyata rafa yang kini tengah di hadapanku. “Kau kenapa, kau pasti ada masalah ya. Ceritakan insya Allah aku akan membantumu” ucapnya sembari membantuku berdiri dan dan duduk di salah satu bangku di tempat itu. “Kau tahu aku tidak ingin melihatmu seperti ini, aku ingin kau masih menjadi ratna yang tidak rapuh seperti ini, ayo ceritakan apa masalahmu”. Kutatap matanya mata itu begitu teduh, aku belum pernah melihat rafa seperti ini, rafa yang begitu perhatian.
“Ayahku menyakiti ibu dengan membawa perempuan lain ke rumah sedang ibuku marah dan membuat sakit parah, aku tidak tahu kenapa ayah berubah tidak seperti dulu begitu menyayangi ibu dan aku, dia berbeda, jika aku melawannya malah dibentak, aku bingung hikss.. hikss”. “Kau tahu mungkin aku tidak bisa menyelesaikan masalahmu tapi saranku kau selalu ada untuk ibumu dan kau harus berusaha membuat ayahmu menyayangimu dan ibumu mungkin dengan perhatian pada ayahmu atau lebih memperhatikannya”. Kulihat lagi senyumnya yang hangat yang membuatku terus menatap matanya lekat. “Dan sekarang aku tidak ingin melihatmu menangis lagi, kau tahu sebenarnya aku selalu ingin menjagamu, membuatmu tersenyum bahagia, aku memang tak seperti tara adikku yang selalu membuat lelucon lucu untukmu hingga membuatmu tertawa, tapi aku akan berusaha membuatmu nyaman, bahagia dan tak menangis seperti ini, dan sekarang kau harus tersenyum”.
Tak kusangka ucapannya barusan membuatku mati kutu tak bisa berkata apapun hanya senyumku yang masih menyelimuti wajahku kini. “Makasih ya, aku tak sangka kau sebaik ini padaku”. Dia tersenyum lagi padaku. “Sama-sama. Kita kan udah sahabatan dari kecil dulu dan tak ada salahnya aku membantumu disaat kau ada masalah” ucapnya lagi. “Ehmm.. besok kau ada acara tidak, aku mau mengajakmu jalan, kan sudah lama kita tidak bertemu lagi”. “Kayanya tak ada, ya sudah akan kuusahain besok. Kita ketemuan dimana?”. “Dialun-alun kota aja, besok ya jam 4 sore”. Aku hanya menganggukan kepalaku perlahan yang kemudian kupamit untuk pulang ke rumah.
Sesampai di rumah kulihat ibu masih terdiam di ruang tamu, ku duduk di sebelah ibu, yang kemudian ibu menoleh ke arahku dan tersenyum hangat padaku. “Ratna, kamu dari mana nak, ibu lihat kamu habis nangis matamu sembab lho”. “Tidak kok bu, ratna tidak nangis. Buktinya ratna tersenyum sama ibu. Oya besok ratna boleh tidak jalan sama rafa?” tanyaku pada ibu. “Rafa, rafa siapa?” tanya ibu yang sepertinya agak lupa. “Rafa kakaknya tara yang sahabatan sama ratna sejak kecil dulu, masa ibu lupa kan dulu mereka sering main ke rumah”. Ibunya kemudian tertawa sebentar dan mengingat akan hal dulu. “Ooo, rafa. Sepertinya ibu boleh kamu besok jalan sama rafa, cie.. anak ibu mau kencan”. “Ibu, ratna tidak kencan kok hanya sekedar ketemuan aja kan udah lama nggak ketemu”. “Yayaya”.
Malam harinya tak sangka aku merasa tidak sabar untuk bertemu rafa besok, entah kenapa rasanya aku ingin sekali bertemunya meski tadi siang sudah bertemu rafa di dekat danau. Entah ada perasaan nyaman apa ketika di dekat rafa meski kutahu selama ini aku hanya lebih dekat dengan tara dibanding rafa walau kutahu rafa dan tara sudah bersahabat denganku sedari kecil.
Tak lama hari yang kunantikan tiba juga saatnya, kini aku sudah duduk di sebelah rafa di dekat alun-alun kota. Kami saling mengobrol bertukar pikiran dan bercerita pengalaman kami masing-masing sejak kami berpisah lama. Tapi tak sangka seseorang datang dan duduk di sebelah rafa. “Hai, masih ingat tidak siapa aku?” sapanya tersenyum padaku. “Tara, kau baru datang kesini, kata rafa kau masih di rumah nenekmu”. “Ya sih, tapi aku baru datang tadi pagi, karena aku ingin ketemu kak rafa sama kau ratna. Sudah lama ya kita tidak kumpul bersama seperti ini”. Ucapnya sembari merangkul tangannya kesalah satu bahu rafa sambil tersenyum hangat padaku dan rafa yang kemudian membuat kami membalas senyumnya. “Ya, aku juga rindu dengan hal ini, mungkin karena kita berpisah lama?” ucap rafa selanjutnya. Aku hanya tersenyum simpul pada mereka.
Cerpen Karangan: Frida Alawiyah Blog / Facebook: Frida Al_awiyahrifa Hai, nama saya frida alawiyah Maaf kalau ada salah kata dalam cerpennya.